Sumedang Harus Siap Bencana Hidrometeorologi


Oleh : Wina Apriani

Saat ini beberapa wilayah sudah memasuki musim hujan, salah satunya kabupaten Sumedang pun sebagai wilayah yang intensitas curah hujannya cukup tinggi. Selain itu pula bencana hidrometeorologi berupa longsor menjadi salah satu yang perlu diwaspadai oleh  pemerintah Kabupaten Sumedang seiring dengan meningkatnya intensitas hujan belakangan ini. Hal itu mengingat kondisi geografisnya yang didominasi pegunungan dan perbukitan.

Berdasarkan data dari BPBD Sumedang, tercatat sudah ada 5 kejadian longsor pada Oktober 2022 ini. Titik longsornya tersebar di 5 Kecamatan, yakni Cimanggung, Pamulihan, Sumedang Selatan, Sumedang Utara dan Ganeas. Sementara menurut Bupati Sumedang Donny Ahmad Munir didampingi Kepala BPBD Kabupaten Sumedang Atang Sutarno mengatakan, pembentukan Destana supaya setiap desa ada kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Destana bisa melakukan cegah dini, deteksi dini, lapor dini jika ada bencana alam. Sehingga bisa terhindar dari korban jiwa dan kerusakan yang lebih besar lagi. “Semua desa di Sumedang saat ini sudah dibentuk Destana oleh BPBD Pembentukan sekaligus pengukuhan Destana untuk Kecamatan Jatinangor digelar di Desa Jatiroke,” ujarnya. 

Bupati mengaku, wilayah Sumedang terdiri dari perbukitan dan pegunungan, sehingga perlu dilakukan memitigasi bencana. Sehingga, di setiap desa harus ada relawanya supaya menjadi desa tangguh tanggap bencana. “Jika ada bencana setidaknya bisa kita antisipasi dan ini akan menjadi program kami. Untuk wilayah Jatinangor yang menjadi langganan banjir harus dari hulu ke hilir, dan langkah kita sementara ini yakni mengadakan Normalisasi sungai, ada juga penyodetan sungai serta ada juga cekdam, namun tetap deteksi dini harus kita perhatikan seperti pemberitahuan dari BMKG,” tandasnya. (ESH).

Apa yang disampaikan diatas terkait bencana alam banjir maupun longsor memang harus diwaspadai khususnya oleh pemerintah Sumedang, bagaimana memang betul kondisi geografis Sumedang terdiri dari dominasi pegunungan dan perbukitan. Selain BPBD sudah membentuk destana untuk mempersiapkan kesiapan dan kesiagaan menghadapi bencana alam. Tapi belum  belum bisa menjadi jalan solusi yang signifikan khususnya untuk di Sumedang, faktanya tidak bisa kita pungkiri bahwa memang kesalahan berulang setiap tahunnya. 

Keberadaan bencana alam memang bukan untuk kita persalahkan. Melainkan kita harus bersikap rida, ikhlas, tabah, dan sabar menerimanya. Tetapi di sisi lain, semestinya kita bisa mengantisipasi faktor-faktor penyebabnya sehingga penanganan dan penanggulangannya bisa makin baik sekaligus tidak menjadi kesalahan yang terus berulang. Maka disinilah letak peran penguasa selaku penanggung jawab dan pengayom umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Jika penguasa kita melaksanakan mandat sebagaimana sabda Rasulullah saw. di dalam hadist tersebut, juga bersamaan dengan menerapkan sistem yang telah Rasul contohkan, insyaallah mekanisme penanggulangan bencana alam terbaik dapat terwujud. 

Jelas bagaimanapun  juga penanggulangannya semata bagian dari keterikatan terhadap hukum syariat yang memang mengharuskan penguasa mengurusi urusan rakyatnya. Sebaliknya, penguasa tidak semestinya mengelola urusan rakyat atas landasan manfaat. Namun, lihatlah yang terjadi. Penguasa justru memberi karpet merah pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang meniscayakan sejumlah biang kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, deforestasi, pembangunan infrastruktur (jalan tol, bandara, pelabuhan) besar-besaran, pertambangan, penghapusan IMB dan aturan Amdal demi kemudahan izin usaha, dan lain sebagainya, sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang juga ugal-ugalan.

Sebelumnya di Citengah pernah  terjadi banjir akibat sungai yang dibendung untuk dijadikan tempat wisata. Padahal secara bentang alam di sana diprediksi minim banjir karena ada sungai-sungai besar. Sampai sini coba kita pikirkan, bagaimana eksploitasi alam tersebut tidak menyebabkan bencana alam?. Coba kita pikirkan juga, bukankah teknologi pemanfaatan panas bumi itu bukan sesuatu yang aneh lagi saat ini? Lantas mengapa negeri kita tidak kunjung serius mengelolanya? Sampai kapan perkara investor akan terus menjadi dalih? Sudah saatnya penguasa dan pengusaha untuk tobat nasuhah, tobat sistemis. Sungguh, kita memerlukan tobat nasuhah secara nasional bahkan global. Bumi ini toh tidak hanya Indonesia. Bumi ini begitu luas, dan Allah Swt. memerintahkan manusia untuk mengelolanya menurut aturan-Nya, yakni aturan Islam, bukan aturan yang lain. 

Hendaklah kita renungkan dalil-dalil syara berikut ini. Rasulullah saw. bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani). Sementara itu, di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. juga berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa kerusakan di bumi baik di darat maupun di laut, di kota maupun desa disebabkan oleh perbuatan tangan manusia yang akibat hawa nafsu dan jauh dari tuntunan Allah. Karena itu, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan buruk mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar dengan menjaga kesesuaian perilakunya dengan aturan Allah.

Allah juga berfirman, “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.(9) Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.(10)” (TQS Az-Zumar [39] : 9-10). 

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobatan nasuhah (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (TQS At-Tahrim [66] : 8).

Sudah sangat Jelas sekali sejumlah dalil di atas mengharuskan manusia untuk berpikir dan bermuhasabah agar mengembalikan segala urusan pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya saw. Tentu saja hal ini dapat dilakukan dengan aktivitas tobatan nasuhah. Hal ini tidak lain adalah dengan tobat sistemis. Lantas mengapa kita masih juga mempertahankan sistem kehidupan yang rusak dan menyusahkan ini?. Sekarang saatnya mengibarkan Panji Rasulullah Saw, menjalankan syariah beliau bahwa sistem khilafah ala minhaj an-nubuwah yang akan memberikan keselamatan dan kemakmuran bagi para penduduk negeri.

Wallahu alam bi ash shawab [].



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar