Benarkah Perempuan Butuh Kesetaraan Gender?


Oleh : Ela Mustikawati (Aktivis Pendidikan)

Organisasi Perempuan Mahardhika melakukan aksi nasional untuk memperingati 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan. Aksi ini digelar di 4 kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Banjarmasin, Makassar, dan Samarinda.

"Hingga saat ini kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi dan mewujud dalam berbagai bentuk," kata Mutiara Ika, Ketua Perempuan Mahardhika dalam keterangan tertulis, Minggu, 27 November 2022.

Setiap bulan November digelar  peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, (16HKtP) 25 November – 10 Desember.  Kampanye di Indonesia sudah berlangsung sejak 2001, namun kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi, bahkan ketika UU TPKS sudah disahkan. Tempo.co 

Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan.
Pembunuhan terhadap perempuan atau femisida adalah bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem terhadap perempuan belum direspons secara komprehensif oleh negara.  Akibatnya, hak perempuan korban atas keadilan dan kebenaran serta hak keluarga korban pemulihan tidak terpenuhi. Kondisi ini merupakan simpulan dari pengembangan pengetahuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang femisida: bentuk, ranah, hubungan korban dengan pelaku, dampaknya terhadap keluarga yang ditinggalkan serta perundang-undangan dan kebijakan yang ada.

Jadi, ketertindasan yang dialami kaum perempuan saat ini bukan karena tidak adanya kesetaraan. Saat ini kita hidup dalam sistem sekuler, sistem hidup yang memisahkan agama dari kehidupan? Dalam sistem ini, seluruh manusia bebas melakukan apa pun. Bebas berinteraksi, bebas berpakaian, bebas berekspresi, bebas umbar aurat, bebas mengumbar syahwat. Alhasil, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu pemerkosaan, pelecehan seksual, dan lain-lain. Dalam sistem ini juga dijalankan sistem ekonomi yang kapitalistik. Sistem ekonomi yang pro sekali terhadap para pemilik modal alias kaum kapitalis. 

Jadilah, para kapitalis itu diberi keleluasaan menguasai aset-aset strategis negara. Karena sudah dikuasai sekelompok orang, rakyat jelatalah yang gigit jari melihat kekayaan negara digarong sekelompok orang. Kaum lelaki juga perempuan, sama-sama merasakan dampak penguasaan para kapitalis ini. Ketertindasan manusia saat ini penyebab tunggalnya penerapan sistem kapitalisme itu. Bukan karena ketidaksetaraan gender. Jadi, perjuangan pejuang emansipasi tidak dikoreksi. Niatnya ingin membebaskan perempuan, yang ada justru menjerumuskan kaum perempuan pada lingkaran masalah yang tidakk ada akhirnya. 

Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan sudah diciptakan dengan potensinya masing-masing. Kaum perempuan punya sifat lemah lembut dan tabiatnya ingin dilindungi. Sementara itu, kaum lelaki cenderung tegas dan memiliki karakter sebagai pelindung. Default sejak lahir, potensi keduanya berjalan alami, melekat sejak Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Jadi, potensi yang ada pada lelaki itu sama sekali enggak diciptakan untuk menindas kaum perempuan. Pegiat emansipasi kerap menganggap bahwa kekerasan yang dialami kaum perempuan, atau pelecehan seksual yang terjadi itu karena disebabkan  ketimpangan gender, yaitu penguasaan laki-laki atas perempuan.

Menurut mereka, agar kasus kekerasan tidak berulang dan pelecehan seksual tidak terjadi, perempuan harus setara dengan laki-laki. Jika laki-laki bisa bekerja di luar rumah, perempuan harus bisa juga. Jika laki-laki bisa menduduki jabatan mentereng, perempuan juga harus menduduki jabatan tersebut. Begitu seterusnya agar tidak ada ketimpangan gender.

Pegiat gender memandang semua masalah yang dialami perempuan disebabkan faktor tunggal, yakni ketidaksetaraan. Itu rumus baku perjuangan mereka. Namun, dalam tataran fakta, tidak sedikit kekerasan yang dialami kaum perempuan disebabkan karena faktor lain, bukan karena superioritas para bapak–bapak atas ibu-ibu.

Tingginya angka pelecehan seksual pada kaum hawa disebabkan banyak faktor. Misalnya karena pergaulan yang sudah kadung bebas, iffah/kemuliaan kaum perempuan tergadaikan, tayangan yang mengumbar aurat hingga syahwat para lelaki jadi tidak terkendali, dan berbagai faktor lainnya. 

Solusinya jelas bukan dengan menyerukan kaum perempuan terjun ke ranah publik semata untuk mewujudkan kesetaraan gender. Cara pandang yang shahih adalah cara pandang berdasarkan Islam,  yang menjadikan akidah islam sebagai asas dan dunia adalah tempat beramal yang akan dipertanggungjawabkan di akherat, cara pandang yang shahih ini juga akan memberikan kekuatan pada regulasi yang dibuat.

Logika feminisme yang menganggap masuknya perempuan ke ranah publik adalah solusi, justru menuai masalah. Sudah begitu, pejuang emansipasi pun harus menelan pil pahit realitas kiprah politik yang mereka geluti. Di satu sisi kaum perempuan memiliki power, tetapi di sisi lain, perempuan juga mempunyai permasalahan yang komplek. Dahaga untuk mengaplikasikan fitrah keperempuanan seakan menemui tembok penghalang, sementara ego keperempuanan sama sekali tidak menemukan alasannya lagi untuk ditonjolkan.

Bagaimanapun, perempuan butuh dilindungi, pandangan Islam mengenai kiprah perempuan di ranah publik sebagai sebuah sistem hidup, Islam memiliki lensa yang khas, lengkap dengan aturannya yang unik mengenai perempuan.

Allah Swt. menurunkan perintah untuk menutup aurat (jilbab plus khimar/kerudung) dengan maksud untuk memuliakan perempuan dengan pakaian takwa tersebut. Islam juga memerintahkan perempuan untuk menjaga pergaulan (tidak berkhalwat/berdua-duaan dengan non mahram, tidak tabaruj/berhias di hadapan lelaki asing) agar terjaga kehormatan mereka.

Allah juga memerintahkan perempuan untuk meminta izin pada wali ketika hendak keluar rumah. Allah pun mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah dan mendudukkan mereka sebagai pemimpin (qawwam)  ini bukan bermaksud untuk menomorduakan perempuan. Sebaliknya, ini adalah bukti betapa Islam sangat memuliakan kaum perempuan.

Allah adalah yang Maha Tahu tentang yang terbaik bagi hamba-Nya. Allah pula yang paling paham apa yang bisa mewujudkan keharmonisan kehidupan para makhluk-Nya. Islam menjelaskan pemberdayaan perempuan di sektor domestik maupun publik. Islam meletakkan peran domestik perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya. Tidak seperti yang digambarkan oleh kaum feminis selama ini, bahwa ibu bukanlah profesi berkelas, sebab tidak menghasilkan materi.

Islam justru menjadikan amanah tersebut sebagai kunci keberhasilan keluarga dan masyarakat. Dari didikan seorang ibulah, generasi cemerlang harapan masa depan suatu bangsa terwujud. Singkatnya, ibu adalah sekolah pertama bagi si anak. 

Sementara itu, di sektor publik, Islam menggariskan kewajiban kepada perempuan untuk turut serta melakukan amar makruf nahi mungkar, tidak hanya dibebankan kepada laki-laki. Sebab, perempuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari umat. Allah Swt. berfirman, “Hendaklah ada di antara kalian satu golongan umat, yang menyeru kebaikan (Islam), memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran.” (QS Ali Imran: 104)

Wallahu a’lam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar