Bersiap Menghadapi Bencana, Sembari Menuai Keberkahan


Oleh : Ai Oke Wita Tarlita, S.Pt.

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Indonesia sebagai salah satu negara yang termasuk ke dalam kawasan wilayah Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi daerah yang rawan terjadi bencana, termasuk gempa bumi.
Oleh karena itu pendidikan mitigasi bencana harus diajarkan sejak dini, para pelajar perlu dibekali pengetahuan agar mereka mengetahui langkah yang harus dilakukan saat terjadi bencana alam. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir dampak yang akan terjadi.

Apa saja kegiatan mitigasi bencana?
Beberapa kegiatan mitigasi bencana di antaranya:
1. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
2. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
3. Pengembangan budaya sadar bencana;
4. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
5. Identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;

Kejadian gempa di Cianjur beberapa waktu lalu meski ini belum termasuk gempa besar yang berpotensi tsunami, namun cukup parah dampaknya di beberapa desa di sekitar epicentrum. Banyak rumah yang roboh dan menimpa manusia di dalamnya. Sementara ini jumlah korban dan kerusakan masih terus dihitung. Namun diduga akan mencapai puluhan korban jiwa dan kerugian milyaran.

Cianjur memang sudah lama dikenal sebagai daerah rawan gempa. Cianjur dilalui sesar Cimandiri, yaitu patahan geser aktif sepanjang 100 kilometer. Sesar ini memanjang dari muara Sungai Cimandiri di Pelabuhanratu, Kab. Sukabumi, hingga ke timur laut melewati Kab. Cianjur, Kab. Bandung Barat, hingga Kab. Subang. (sumber : Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar Peneliti Pusat Riset Geospasial  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)).

Dalam sekitar seabad terakhir, ada tujuh gempa besar di sepanjang Sesar Cimandiri, yaitu gempa Pelabuhan Ratu (1900), gempa Padalarang (1910), gempa Conggeang (1948), gempa Tanjungsari (1972), gempa Cibadak (1973), gempa Gandasoli (1982), dan gempa Sukabumi (2001).

Daerah rawan gempa dapat dipetakan, namun gempa itu sendiri tidak dapat diprediksi kapan datangnya, apalagi dicegah atau dihalangi. Manusia di daerah rawan gempa harus hidup dengan gempa. Namun mereka dapat mengurangi risiko dengan membangun infrastruktur dan bangunan yang tahan gempa.

Ini karena gempa sebenarnya tidak membunuh, selama tak ada jembatan patah, tebing longsor atau bangunan ambruk yang melibatkan manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, perlu ada aturan tentang bangunan dan rumah-rumah yang tahan gempa.  Sayangnya, kondisi ekonomi sering memaksa warga miskin membangun rumah ala kadarnya. Boro-boro untuk bahan bangunan tahan gempa, untuk kebutuhan perut saja masih harus mengencangkan ikat pinggang agar cukup juga untuk memenuhi kebutuhan asasi yang lainnya.

Salah satu tugas pemerintah adalah memastikan seluruh infrastruktur dan bangunan publik (kantor pemerintahan, rumah sakit, sekolah) memenuhi spesifikasi tahan gempa. Yang harus disiapkan juga adalah infrastruktur sosial dan mental spiritual.

Kita menyadari hidup di daerah rawan bencana, namun amat jarang ada latihan tanggap darurat bencana. Walhasil pada saat terjadi bencana seperti ini, respon pertama warga sering tidak tepat.


Solusi Tuntas

Lagi-lagi tak ada tempat lain membicarakan solusi setiap problematika umat saat ini, kecuali Islam yang sudah terbukti mampu menyolusi. Islam mengatasi persoalan bencana dengan serius. Dengan memberikan pembinaan pada masyarakat bagaimana menjaga alam dengan baik dan sesuai syariat. Islam juga memberdayakan para ilmuwan dalam mengantisipasi dan mitigasi bencana agar dapat meminimalisir korban. Islam menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku perusak hutan. Islam melarang negara memprivatisasi dan meliberalisasi SDA. 

Islam melakukan dua hal untuk menanggulangi bencana alam, yakni prefentif dan kuratif. Upaya kebijakan preventif merupakan pencegahan terjadinya bencana. Dengan melakukan aktivitas pembangunan fisik. Seperti Pembangunan kanal, tanggul, mengatur aliran sungai, menjaga kebersihan sungai dari sampah, reboisasi dan lain sebagainya. 

Adapun upaya kebijakan kuratif, yakni ketika telah terjadinya bencana. Upaya yang dilakukan ketika terjadinya bencana yakni meminimalisir korban dan kerugian lainnya yang diakibatkan bencana. Caranya, dengan melakukan cepat tanggap dalam mengevakuasi korban, membuka akses jalan, memblokade banjir dan membentuk pos-pos untuk melayani kebutuhan korban bencana.

Selain itu butuh penguasa yang amanah. Penguasa yang menjalankan seperangkat aturan negara semata-mata untuk kemaslahatan umat. Penguasa amanah tidak mungkin lahir dalam sistem kapitalisme sekuler yang bertentangan dengan Islam. Penguasa amanah hanya dilahirkan oleh sistem Islam. Rasulullah Saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Untuk itu umat Islam harus kembali menegakkan sistem Islam dalam bernegara. Membangun paradigma sesuai dengan akidah Islam pemikiran Islam kaffah dalam bingkai khilafah. Dengan begitu persoalan bencana alam akan dapat dituntaskan. 

Wallahu A'laam bi ash shawwab.[]





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar