Impor Beras di Negeri Agraris


Oleh: Yanti Nurhayati, S. Ip. (Muslimah Peduli Umat)

Indonesia menjadi negara dengan produksi padi terbesar di Asia Tenggara. Mengutip laporan ASEAN Statistical Publication 2021, produksi padi di Tanah Air mencapai 55,53 juta metrik ton pada 2020.

Produksi tersebut meningkat 1,6% dibandingkan pada tahun 2019 yang sebesar 54,64 juta metrik ton. Indonesia bahkan menjadi negara penghasil padi terbesar di kawasan dalam satu dekade terakhir. 

Meski luas panen dan produksinya cenderung menurun, pada Agustus 2022 Indonesia menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil mencapai swasembada beras selama periode 2019-2021.

Penghargaan yang bertajuk Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology itu diserahkan Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/8/2022).
(Katadata.co.id)

Namun suatu hal yang mencengangkan ketika ada pernyataan dari Bulog yang mengatakan bahwa, Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Perum Bulog) untuk upaya memenuhi pasokan cadangan beras pemerintah (CBP) salah satunya dengan impor.

Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas), menyampaikan saat ini pihaknya kesulitan menyerap beras dari petani karena stoknya tidak ada, mengingat saat ini masih dalam proses tanam.

“Kami harus segera mengambil langkah alternatif untuk memenuhi jumlah ini, kami tidak mungkin dalam waktu dekat dapat menyerap dalam jumlah besar karena selain stoknya tidak ada, harganya juga tidak memungkinkan,” kata Buwas dalam RDP Komisi IV DPR RI dengan Bapanas, Perum Bulog, ID Food dan PT Pupuk Indonesia, Rabu (16/11/2022)

Ternyata usut punya usut, para petani enggan menjual beras produksinya ke Perum Bulog karena harga di pasar jauh lebih tinggi dibandingkan harga beli yang ditetapkan BUMN tersebut sebesar Rp 9.700 per kg. Akibatnya, Bulog kesulitan untuk menambah cadangan beras pemerintah atau CBP yang semakin menipis.   Ketua Umum Perkumpulan Penggiling Padi dan Pengusaha Beras atau Perpadi, Sutarto Alimoeso, menuturkan petani saat ini lebih memilih untuk menyimpan berasnya atau menjualnya langsung di sawah dibandingkan dengan menjual berasnya ke Perum Bulog. "Sekarang petani juga lebih memilih untuk menyimpan. Menyimpan untuk apa? Untuk dijual misalnya saat menjelang lebaran, atau menjelang panen kedua. Umumnya petani sekarang menjual di sawah," ujar Sutarto kepada Katadata.co.id, pada Senin (22/11). 

Persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait. Negara harus memiliki political will untuk melakukan swasembada pangan. Jangan sekadar memberi solusi tambal sulam, sedangkan paradigma kapitalisme masih mencengkeram kuat tata kelola pangan di negeri ini. 

Mampukah Indonesia memenuhi kebutuhan kedelai tiap tahun tanpa kebijakan impor? Bisa, asalkan negara melakukan langkah berikut.
Pertama, memberdayakan sektor pertanian melalui intensifikasi (peningkatan produktifitas tanam) dan ekstensifikasi (membuka lahan baru dan menghidupkan lahan mati). Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Umar bin Khaththab, telah bersabda, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud)

Kedua, distribusi pangan yang berkeadilan dan tata kelola harga. Sektor pertanian adalah bagian penting dalam membangun kedaulatan dan ketahanan pangan. Perhatian besar negara terhadap pertanian akan memberikan pengaruh positif bagi para petani sebagai tulang punggung sektor pertanian. 

Pemerintah adalah sebagai penanggung jawab atas segala urusan rakyatnya terkait dengan keamanan dan kesejahteraan. Cara Islam mengelola ketahanan pangan merupakan cermin yang harus dicontoh saat ini, salahsatu cara tata kelola pangan untuk menjadikan negara bisa berswasembada pangan adalah dengan menerapkan politik ekonomi Islam Kaffah.

Wallahu'alam Bishawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar