KAMUFLASE PENINGKATAN EKONOMI MELALUI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pada Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-94,  tanggal 22 Desember 2022, Kementerian  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), mengambil tema utama yaitu "Perempuan Berdaya, Indonesia Maju". Selain tema utama, ditetapkan sub-sub tema untuk mendukung tema utama tersebut. 

Sub-sub tema tersebut adalah:  Sub Tema 1 Kewirausahaan Perempuan: Mempercepat Kesetaraan, Mempercepat Pemulihan. Sub Tema 2 Perempuan dan Digital Economy. Sub Tema 3 Perempuan dan Kepemimpinan. SubTema 4 Perempuan Terlindungi Perempuan Berdaya. (Tirto.id, 13/12/2022)

Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan, perjuangan mewujudkan kesetaraan gender masih jauh dari yang dicita-citakan para tokoh perempuan. Sampai kini perempuan masih dikategorikan sebagai kelompok rentan yang tertinggal dalam berbagai bidang pembangunan.

Menurut Bintang, ketertinggalan itu bukanlah karena perempuan lemah atau tidak memiliki kemampuan, tetapi karena masih kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat yang menghambat langkah. Padahal, perempuan merupakan potensi bangsa yang sangat berharga. Dari jumlahnya saja, perempuan mengisi hampir setengah dari populasi Indonesia, dan sekitar 70 persen perempuan Indonesia masuk dalam usia produktif. Jika kita mampu memberikan kesetaraan bagi perempuan, maka dampak positifnya pun akan dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. (tirto.id, 22/12/22)

Benarkah kesetaraan bagi perempuan dengan memberdayakan perempuan secara ekonomi akan berdampak baik bagi perempuan dan keluarga mereka?

Dalam sistem sekuler saat ini, menjadikan perempuan tidak paham akan hak-haknya, sehingga tuntutannya sering salah arah. Kesetaraan gender telah mengaburkan banyak perempuan akan perannya sebagai seorang ibu. Ketika perempuan didorong untuk bekerja, bahkan menjadi tulang punggung keuangan keluarga, justru itu membebani perempuan dengan sesuatu yang seharusnya bukan menjadi tugasnya. Kemandirian perempuan untuk memenuhi kebutuhan materinya bukanlah cara untuk menghilangkan penindasan atas perempuan atau menegakkan kehormatan bagi perempuan.

Dalam Islam, peran utama perempuan adalah sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt (ibu dan pengatur rumah), dan tidak menghalangi perannya di tengah masyarakat. Allah SWT berfirman: "Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi Munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat serta menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan  diberi Rahmat oleh Allah. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. At-Taubah [9]: 71)

Allah telah menetapkan bahwa perempuan memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam melakukan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Mereka tolong menolong dalam menegakkan aktivitas yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat. Syariah Islam telah memberikan pedoman pada perempuan untuk bisa menjalankan perannya sebagai bagian dari keluarga maupun bagian dari masyarakat. Kaum perempuan dibebaskan dari kewajiban shalat berjamaah di masjid, bekerja, berjihad dan hukum-hukum lain yang akan berpotensi menelantarkan fungsi keibuannya. Shalat di rumah adalah lebih baik bagi perempuan. Mencari nafkah dibebankan kepada suami atau walinya. Begitupula perlindungan dan keamanannya.

Demikian juga penetapan hukum perwalian laki-laki atas perempuan. Perwalian tidak hanya sebatas hak untuk menikahkan saja, namun para wali (laki-laki) berkewajiban juga untuk melindungi, mendidik dan memberikan nafkah bagi perempuan dan anak yang berada dibawah perwaliannya. Perempuan yang belum menikah, walinya yang utama adalah ayahnya. Perempuan yang sudah menikah, tugas walinya diambil alih oleh suaminya. Bila ayah atau suami  tidak ada, perwalian akan berpindah kepada kerabat laki-laki dari pihak ayah sesuai dengan kedekatan hubungan kekerabatannya. Jika kerabat laki-laki ada tetapi tidak mampu, atau suami, ayah ada tetapi juga tidak mampu atau para janda miskin, maka negara akan menjamin secara langsung bagi perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun  yang akan menafkahinya.

Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa saja yang meninggalkan Kalla (orang yang lemah, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orangtua), maka dia menjadi kewajiban kami." (HR Muslim)

Berkaitan dengan peran perempuan di ruang publik, syariat telah menetapkan hukum yang bertujuan  untuk menjaga dan melindungi kemuliaan perempuan. Hukum jilbab, safar dan larangan khalwat sejatinya adalah untuk melindungi perempuan dari berbagai fitnah saat beraktivitas di luar rumah dan menjauhkan dari gangguan.

Dalam Islam, bekerja bagi seorang perempuan benar-benar hanya sekedar pilihan, bukan tuntutan ekonomi atau sosial. Jika menginginkan, boleh melakukan. Jika tidak menginginkan, boleh untuk tidak melakukannya. Tidak ada perempuan yang terpaksa bekerja mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Perempuan bekerja hanya untuk mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat, sementara tanggung jawab sebagai istri dan ibu akan tetap terlaksana. 

Pemberdayaan perempuan harus diarahkan dengan mengoptimalkan seluruh peran-perannya sesuai dengan Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam, bukan pada kemandirian dan kesetaraan, apalagi sebagai tulang punggung perekonomian keluarga. Karena itu tidak seharusnya kaum muslim ikut mengadopsi, mempropagandakan dan memperjuangkan ide kesetaraan. Karena kemuliaan perempuan akan terwujud jika kaum perempuan menjalankan syariat Islam secara utuh.

Wallahu a'lam bi-ash-shawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar