Larangan Seks di Luar Nikah, Antara Kepentingan Ekonomi dan Gaya Hidup Liberal


Oleh : Hanum Hanindita, S.Si
 
Media asing berbondong-bondong menyoroti pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menjadi KUHP 6 Desember lalu. Pasalnya dalam UU tersebut ada aturan baru yang melarang seks di luar nikah untuk penduduk lokal dan pelancong. Bahkan ada hukuman penjara jika melanggar. Berdasarkan KUHP baru, perzinaan akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II, mencapai Rp 10 juta (cnbcindonesia.com).

Media asing yang angkat suara diantaranya adalah South China Morning Post (SCMP) dari Hongkong, media Eropa Euro News, SBS dari Australia, dan BBC International dari Inggris. Secara garis besar mereka menyatakan  bahwa UU ini akan dikhawatirkan menjauhi atau menakuti para turis asing untuk datang ke Indonesia dan bisa mengancam keberlangsungan pariwisata, bahkan merusak investasi. Gelombang protes publik terus terjadi dan KUHP yang baru saja disahkan akan diadukan ke Mahkamah Konstitusi. 


Pengesahan KUHP Antara Gaya Hidup Bebas dan Kepentingan Ekonomi

Dalam KUHP itu sendiri, banyak pasal karet yang standarnya tidak jelas. Berbagai argumen dan kontroversi terjadi dalam sidang terkait Pasal 411-412 tentang perzinaan. Isi pasal tersebut adalah segala bentuk perselingkuhan/setiap orang yang melakukan zina dengan istri/suami orang lain akan dipidana 1 tahun. Dan segala tindak pidana berdasarkan aduan dari suami, istri, anak atau orang tua yang bersangkutan. Ini artinya pasal tentang zina tidak memilik standar dan aturan yang jelas. Segala tindakan pidana diproses jika ada delik aduan. Artinya, jika tidak ada aduan berarti segala tindakan dosa ini tidak bisa diproses secara hukum pidana. Hal ini secara tidak langsung berarti membolehkan perzinaan, bahkan negara pun mentoleransi. Yang demikian akan memicu semakin menjamurnya perilaku zina dalam kehidupan masyarakat. 

Ketakutan akan larinya turis asing dari Indonesia dan merusak iklim investasi adalah narasi yang jelas menunjukkan keberpihakan kepada perilaku sesat yang diharamkan agama, dan menggambarkan dengan jelas bagaimana aturan dalam sistem sekuler kapitalis. Turis-turis asing yang datang sudah pasti juga membawa kebiasaan gaya hidup bebas mereka yang tidak kenal aturan agama dalam kehidupan. Selain itu banyaknya bisnis-bisnis hotel, klub malam, miras, tempat hiburan yang memang menarik wisatawan asing untuk datang. Tentu ini menggiurkan untuk para pelaku bisnis.  

Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan sekulernya cara berpikir anggota dewan karena memasukkan zina dalam delik aduan dan membatasi pelapor hanya keluarga dekat.  Sebenarnya Undang-Undang ini mengarah kepada dilegalkannya seks bebas hanya bahasanya didesign agar terkesan bahwa zina adalah tindak pidana. Sebab jika memang penguasa serius dalam menghentikan perzinaan dan menindak pelaku zina, tidak akan mungkin ada batasan dalam melakukan pengaduan. Indonesia tentunya tidak ingin kehilangan investor dan mengalami kerugian materil, sehingga isi pasal perzinaan tidak tegas melarang perbuatan maksiat tersebut. Bisa Kita lihat, baru memasukkan dalam tindak pidana namun tanpa delik aduan tidak bisa diperkarakan saja, pihak asing sudah banyak yang keberatan. Apalagi jika seks di luar nikah betul-betul dilarang secara total. Kebebasan ini ujungnya akan tetap memihak pemilik modal untuk terus berinvestasi di Indonesia dan membawa keuntungan ekonomi dari bidang pariwisata ataupun tempat-tempat hiburan.

Dampak lain yang juga tidak bisa disepelekan dari disahkannya UU ini adalah liberalisasi seksual yang akan semakin parah di Indonesia. Mayoritas turis asing yang datang ke Indonesia, memang berasal dari wilayah-wilayah yang kehidupannya bebas dan sekuler. Banyaknya wisatawan asing yang berbondong-bondong melancong, turut serta membawa pemikiran dan perilaku yang permisif, diantaranya seks di luar nikah, kumpul kebo, LGBTQ, miras, dan lain-lain. Belum lagi pemikiran-pemikiran bebas lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Tentu di Indonesia akan semakin terjajah dengan tsaqofah mereka.


Demokrasi adalah Akar Munculnya UU Bermasalah

Akar dari munculnya UU bermasalah sejatinya ada pada sistem sekuler demokrasi yang diterapkan. Demokrasi mengadopsi empat kebebasan sebagai asas menetapkan aturan. Wujud dari kebebasan mutlak ada dalam hal: agama, berpendapat, kepemilikan, dan berperilaku. Agama tidak boleh untuk mengatur masalah publik. Akhirnya kaum Muslim hanya terikat dengan aturan Allah (itu pun kalau dia mau) dalam masalah-masalah individu, ritual, dan moral saja. Dalam masalah publik mereka terikat dengan asas manfaat sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Demokrasi juga menyuburkan liberalisasi Islam dan kebebasan. Akibat kebebasan berpendapat, ide-ide liberal yang ‘menyerang’ Islam semakin berkembang. Akibat kebebasan berperilaku, tersebar luaslah pornografi dan pornoaksi. Akibat kebebasan kepemilikan seseorang dibolehkan memiliki dan mengembangkan harta dengan sarana dan cara apapun, misalnya dengan cara penjajahan, perampasan, pencurian, penimbunan, riba, penipuan, perjudian, prostitusi, eksploitasi seksualitas para wanita, produksi miras, dan sebagainya.

Sistem demokrasi atas dasar liberalisasi telah memberikan ruang pada manusia untuk membuat Undang-Undang yang mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai keinginan sendiri. Tidak dilihat hasilnya maslahat atau mudharat bagi kehidupan manusia. Tidak menutup kemungkinan KUHP atau Undang-Undang lain dapat diubah kapan saja mengikuti kepentingan para penguasa. Inilah yang terjadi jika membuat aturan hanya berlandaskan akal manusia. Keberadaan lembaga pengawas, juga tidak menjamin undang-undang yang dihasilkan bebas dari kepentingan penguasa. Inilah gambaran kezaliman yang nyata saat demokrasi, liberalisasi dan sekulerisasi dijadikan aturan mengatur aspek kehidupan. Semuanya menjadi bertentangan dan menabrak Islam.


Hilangkan Akar Masalah, Islam Solusinya

Untuk menghentikan munculnya UU bermasalah,  Kita harus sepakat bahwa akar dari UU bermasalah ialah demokrasi. Jika masih mempertahankan sumber masalah takkan memberi perubahan hakiki yang diharapkan. Apalagi mewujudkan keadilan yang senantiasa disuarakan. Energi hanya habis sia-sia dan masalah tidak kunjung usai.  Islam menegaskan bahwa manusia tidak layak membuat aturan hidup. Allahlah Yang berhak membuat aturan hidup . Sebagaimana firman Allah Swt: “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (QS al an’am : 57)

Dari sinilah, terbukti bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, yang tidak akan mampu menciptakan hukum atau undang-undang yang melahirkan maslahat bagi seluruh umat. Kelemahan ini pun menjadi dasar bahwa manusia membutuhkan aturan hidup yang sempurna. 
 
Oleh karena itu islam tidak memberi tempat sama sekali untuk demokrasi. Pasalnya, demokrasi menetapkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Prinsip ini sangat bertentangan dengan Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan milik Allah SWT, bukan di tangan rakyat. Artinya, Allah SWT sajalah sebagai pembuat hukum. Sementara manusia hanya pelaksana. Bahkan dalam sistem demokrasi yang saat ini diterapkan, istilah “rakyat” yang dimaksud bukanlah rakyat secara keseluruhan tetapi “rakyat elite” tertentu. 

Pemberlakuan hukum buatan manusia berarti menggunakan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT. Ini berarti pemberlakuan hukum kufur. Allah Swt berfirman, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin” (Q.S Al Maidah: 50)

Islam menetapkan bahwa ketika seseorang beramal dan berpendapat harus menyesuaikan dengan dalil-dalil syariah. Islam mengharuskan kaum Muslim untuk menyatakan kebenaran di mana saja dan kapan saja. Begitu juga terkait semua perbuatan seorang Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT, Sang pencipta manusia dan kehidupan. Dari penjelasan itu semua, maka dapat dipahami bahwa umat membutuhkan sistem Islam yaitu Khilafah yang tegak di atas akidah yang benar. 

Sistem Islam akan memprioritaskan pelayanan untuk kebutuhan umat. Setiap pemimpin wajib menjalankan amanah dengan penuh iman dan takwa. Para pemimpin pun sadar betul segala bentuk kepemimpinannya harus dipertanggungjawabkan. Standar hukum yang digunakan saat melakukan tugasnya sebagai pemimpin pun jelas, yaitu syariat Islam, yang ditetapkan oleh Allah SWT, Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang dibutuhkan bagi seluruh makhluk, termasuk manusia.  Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jasiyah: 18)

Sistem Islam akan melahirkan UU atau aturan yang mendatangkan kemaslahatan untuk seluruh manusia dengan sifatnya yang pasti. Bukan seperti halnya UU yang lahir dalam demokrasi saat ini, darinya berpeluang menjadi pasal karet, sarat akan berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, melanggengkan kebebasan tanpa batas, menguntungkan secara aspek ekonomi bagi kapitalis, serta melahirkan kezaliman-kezaliman lainnya yang luar biasa.  Hanya kehancuranlah yang akan datang, saat syariat Islam ditanggalkan. Sistem Islamlah satu-satunya yang mampu menciptakan keamanan dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Tak ada pilihan lain dan umat membutuhkannya. Wallahu a’lam...




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar