Menanti Sikap Penguasa Terkait L687


Oleh : Ummu Nida (Pengasuh Majelis Taklim)

L687 di negeri mayoritas muslim ini begitu mengkhawatirkan. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 57 tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodom, dan Pencabulan hukumnya haram, tapi ternyata fatwa ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Alih-alih berkurang, malahan perbuatan yang dilaknat Allah Swt. ini tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Negeri ini semestinya bercermin kepada Rusia, yang berani melarang keras L687 melenggang di negaranya.

Parlemen Rusia telah menyetujui RUU yang memperluas larangan propaganda L687. UU ini nantinya akan mengatur setiap tindakan atau informasi yang dianggap sebagai usaha untuk mengkampanyekan homoseksualitas, baik di depan umum, online, buku, iklan, atau dalam bentuk film, dan pelakunya akan disanksi dengan denda yang berat. Namun, undang-undang yang baru ini masih membutuhkan persetujuan dari majelis tinggi parlemen dan presiden Vladimir Putin. (Kompas.com, 25/11/2022)

Di dalam UU L687 yang baru ini, pelanggar didenda hingga 400rb rubel (Rp103 juta) dan jika pelakunya organisasi maka dendanya 5 juta rubel (Rp1, 3 miliar) karena menyebarkan L687. Sementara hukuman untuk warga asing bisa ditangkap dan diusir hingga 15 hari dari Rusia. Parlemen Rusia, Vyacheslav Volodin mengatakan, "Hal ini akan melindungi anak-anak kita dan masa depan negara kita dari kegelapan yang disebarkan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa."

Apa yang dilakukan Rusia patut diapresiasi. Sekalipun penduduknya bukan mayoritas muslim, negara ini menolak keras eksistensi L687. Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini, umat tengah menanti sikap penguasa terkait L687. Apakah berani bersikap tegas seperti Rusia atau penantian ini bak punguk merindukan rembulan? 

Dalam sistem kapitalisme liberalisme yang dianut Indonesia, pelaku L687 diberikan kebebasan secara masif dan sistemis untuk bertingkah laku bahkan mengajak orang lain agar berperilaku sama dengan dirinya. Tujuannya, agar jumlah komunitas L687 dan penyokongnya semakin besar. Propaganda L687 ini masuk melalui media-media yang dekat dengan keseharian kita, seperti film, tayangan televisi, buku-buku maupun media sosial yang akhir-akhir ini menjadi sahabat dekat generasi muda. Jumlah L687 sendiri di Indonesia tidak ada data pasti, namun dipastikan jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun.

Mirisnya, lembaga-lembaga internasional selain memberikan dana yang fantastis, mereka juga menyeru dunia untuk menerima keberadaan L687 ini atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, keberadaan kaum pelangi ini jelas-jelas mengancam kehidupan masyarakat. Sebab generasi tidak akan lahir dari hubungan sesama jenis, belum lagi perilaku mereka memicu munculnya penyakit menular seksual seperti HIV/Aids. L687 ini akan terus ada, jika negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme sekuler, yakni sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, manusia bebas membuat aturan mengikuti hawa nafsunya. Maka, satu-satunya solusi dari L687 adalah meninggalkan sistem kapitalisme yang rusak dan kembali kepada syariat Islam secara kafah.

Dalam Islam, perilaku L687 adalah jelas menyimpang dan haram. Perbuatan L687 adalah perbuatan dosa dan harus disanksi berat. Maka negara tidak boleh melindunginya dengan alasan apapun. Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homoseksual seperti kelakuan kaum nabi Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya." (HR Ahmad) 

Masyarakat pun harus melakukan amar makruf ketika terjadi kemungkaran oleh para pelaku L687 dengan cara mencegah, mengingatkan, menegur bahkan harus ikut memberi sanksi sosial. Sehingga L687 bisa dicegah dan dihentikan. Semua itu hanya bisa terwujud ketika hukum Islam diterapkan secara kafah dalam naungan khilafah. 

Oleh karena itu, umat wajib untuk terus berupaya untuk memahamkan masyarakat akan pentingnya penerapan hukum Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupan. Umat harus terus dipahamkan bahwa sistem kapitalisme sekuler yang saat ini diterapkan hanya mendatangkan kerusakan dari awal diterapkannya. 

Wallahu a'lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar