Menyudahi Kekerasan terhadap Perempuan, Mungkinkah?


Oleh : Ummu Hanan (Pegiat Literasi)

Isu seputar kekerasan perempuan kembali hangat dibicarakan. Salah satu kelompok yang terlihat konsen terhadap isu ini adalah Organisasi Perempuan Mahardika. Bentuk kepedulian mereka diwujudkan dalam peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKtp) di 4 kota di Indonesia. Menurut organisasi ini kekerasan terhadap perempuan masih kerap terjadi dengan bentuk yang ragam, salah satunya pada pekerja perempuan. Kondisi tidak adanya jaminan bagi perempuan untuk mendapat kepastian pekerjaan dengan menjadi pegawai tetap, khususnya pada sektor padat karya dengan orientasi ekspor (metro-tempo-co, 27/11/2022).
Munculnya gerakan 16 HAKtp sarat dengan nilai feminisme. Gerakan ini konon berfokus pada perbaikan nasib perempuan melalui terwujudnya kesetaraan gender. Para pegiat gender menilai bahwa persoalan terhadap perempuan terjadi akibat adanya bias gender dengan dominasi yang kuat dari kaum pria. Budaya masyarakat yang lekat dengan nilai patriarki juga acapkali dituding sebagai penyebab utama diskriminasi pada perempuan. Karena itu, para feminis terus memperjuangkan terciptanya kesetaraan dan salah bentuknya dengan menyuarakan gerakan 16 hari tanpa kekerasan terhadap perempuan atau 16 HAKtp.
Membahas soal nasib perempuan tidak dapat dilepaskan dari sistem kehidupan yang diadopsi di tengah masyarakat. Bagaimanapun keadaannya, perempuan hanyalah satu bagian dari masyarakat secara keseluruhan yang senantiasa saling berinteraksi. Sama seperti kaum pria, perempuan juga membutuhkan pemenuhan atas seluruh kebutuhan mereka mulai dari perkara yang primer, sekunder hingga tersier. Nasib perempuan di tengah masyarakat juga terkait erat dengan suasana kehidupan yang tegak di dalamnya, apakah suasana tersebut kondusif bagi penjagaan atas kehormatan dirinya atau justru sebaliknya.
Hari ini perempuan dihadapkan pada kondisi yang serba sulit. Suasana kehidupan kapitalistik nan sekular telah menghempaskan banyak kaum perempuan dari wilayah domestik mereka. Buruknya pemenuhan kebutuhan hidup makin memunculkan masalah multi dimensi yang tak berkesudahan. Himpitan ekonomi menjadi salah satu persoalan yang dihadapi hampir oleh siapapun, termasuk kaum perempuan. Inilah yang akhirnya menyebabkan mereka terpaksa melibatkan diri dalam pertaruhan mencari nafkah dan bergulat di sektor publik. Tak peduli bagaimana imbas yang akan dihadapi terhadap diri dan keluarga, para perempuan memilih berjibaku dengan cuan yang tidak seberapa.
Keberadaan perempuan di sektor publik telah membuka peluang bagi terjadinya eksploitasi atas diri mereka. Terlebih dalam sistem kapitalisme ukuran kebahagiaan dilihat dari seberapa banyak kemanfaatan (materi yang diperoleh). Perempuan yang hidup dalam sistem bathil ini akan selalu dituntut untuk melakukan amal yang bukan menjadi tanggungjawabnya, seperti mencari nafkah.  Ketika para perempuan bekerja sebaga buruh misalnya, akan sangat mungkin mereka melakukan pekerjaan diluar dari kapasitasnya sebagai perempuan, terkait jam kerja dan beban tugas. Disinilah peluang terjadinya kekerasan muncul. Tidak sedikit dari para buruh perempuan yang memilih untuk tetap “dieksploitasi” semacam ini dengan alasan mereka tak punya pilihan.
Kekerasan terhadap perempuan tidak perlu terjadi jika kedudukan mereka dimuliakan. Perempuan dalam pandangan Islam memiliki posisi yang istimewa di wilayah domestik mereka. Syariat Islam menjadikan hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah, perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam menetapkan perempuan sebagai pihak yang wajib untuk dipenuhi kebutuhan nafkahnya, bukan malah menjadi tulang punggung keluarga. Islam mewajibkan para laki-laki yang menjadi wali, atau suami untuk memenuhi nafkah dengan layak. Adapun ketika kondisi para pencari nafkah ini terdapat uzur maka kewajiban nafkah akan ditanggung oleh negara.
Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan sistemik. Menuntaskan persoalan ini butuh keseriusan seluruh pihak untuk melihat secara utuh rusaknya sistem kapitalisme. Sistem ini terbukti telah berkontribusi merusak kehormatan perempuan dengan mengeksploitasi mereka. Kekerasan terhadap perempuan sejatinya hanya akan terurai dengan penerapan aturan yang memuliakan perempuan, itulah sistem Islam. Syariat Islam mampu meletakkan kedudukan perempuan dengan benar dengan menjadikan diri mereka kehormatan yang harus dijaga. Wallahu’am.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar