MIGRASI TV ANALOG KE TV DIGITAL


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Per 2 November 2022, Indonesia memasuki era baru siaran pertelevisian. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) secara resmi menghentikan siaran TV Analog atau Analog Switch Off (ASO) diganti dengan siaran TV Digital.
 
Kebijakan penghentian siaran analog tersebut bukanlah kebijakan baru. Migrasi siaran analog ke digital merupakan perintah UU Cipta Kerja untuk dilakukan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya aturan tersebut.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran mengungkapkan kewajiban penghentian siaran televisi analog paling lambat 2 November 2022 pukul 24.00 WIB (Pasal 97 ayat (1) b).

Peraturan Menkominfo No. 11 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran juga mengungkapkan kewajiban semua lembaga penyiaran untuk menyetop siaran analog pada 2 November 2022

Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan 98 persen masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sudah siap beralih dari siaran televisi analog ke digital.

Beliau  mengatakan pula bahwa siaran televisi analog ke digital tersebut merupakan arahan dari The International Telecommunication Union (ITU) yang merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bidang teknologi informasi dan komunikasi.

Mahfud MD juga menegaskan jika masih ada stasiun TV yang menyiarkan saluran secara analog maka akan dianggap ilegal dan bertentangan dengan hukum. (republika.co.id, 04/11/2022)

Ada 230 kabupaten dan kota yang sudah migrasi ke siaran digital, antara lain adalah Jabodetabek, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Meranti, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Malaka, Kabupaten Belu, Kota Sorong dan Kabupaten Sorong.

Namun, penghentian siaran TV analog atau analog switch off (ASO) ini masih belum bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat, seperti misalnya masyarakat Gorontalo. Sebab, sebagian besar masyarakat daerah serambi Madinah masih menggunakan TV analog karena salah satu alasannya adalah belum tersedianya alat Set Top Box. (liputan6.com, 05/11/2022).

Penghentian secara serentak siaran TV analog ini dinilai menyulitkan masyarakat karena ada komponen yang harus dibeli, yaitu Set Top Box (STB) untuk dapat mengakses TV Digital. 

Hal itu tentu menambah beban bagi masyarakat kelas bawah. Jangankan untuk membeli STB, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-haripun masih terasa sangat berat pasca pandemi Covid-19 yang melanda, karena pertumbuhan ekonomi masyarakat belumlah kembali pulih seutuhnya. 

Jangankan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, masyarakat justru merasakan beban yang bertambah karena kebijakan lain yang semakin menyengsarakan rakyat. Kenaikan BBM, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan bahan pangan dan kebutuhan lainnya, tingginya pemutusan hubungan kerja secara massal, merupakan sebagian beban yang kini dirasakan masyarakat.

Kita tidak dapat menghindar dari kemajuan teknologi. Dan memang terdapat kelebihan dari perubahan ini, seperti adanya jangkauan yang lebih luas untuk menyerap informasi. Tetapi dampak negatif  seperti pornografi, kekerasan, LGBT, dll juga pasti akan terdampak pada masyarakat kita yang mayoritas  muslim jika pemerintah tidak benar-benar melakukan kontrol terhadap semua siaran yang dapat diakses masyarakat melalui TV digital.

Sebenarnya pemerintah tidak harus langsung mematikan siarannya, karena bisa dilakukan secara bertahap. Bisa jadi  menghentikan dulu  penjualan alat TV analog karena masyarakat yang belum memiliki Set Top Box tidak bisa menonton.TV digital bisa  di launching dulu sampai masyarakat benar-benar siap beralih. Kalau alat TV analog sudah tidak diproduksi lagi, otomatis masyarakat pasti pindah ke digital.

Perubahan secara langsung yang menyusahkan masyarakat ini bisa dikatakan suntik mati analog  yang berbanding terbalik keadaanya dengan para korporasi. Dengan dihapuskannya TV analog, otomatis masyarakat akan membutuhkan Set Top Box (STB), yang mana akan mendorong produksi untuk pengadaan STB. Tentu saja ini akan sangat menguntungkan korporasi. Perubahan ini sekaligus juga menunjukkan bahwa UU cipta kerja tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tampak keberpihakan penguasa kepada korporasi dan bukan pada rakyat. Inilah kondisi saat ini, semua kehidupan dari  politik, ekonomi, media, dll semua berbasis sekuler kapitalistik. Dalam sistem kapitalis, keuntungan adalah menjadi tujuan utama dalam segala kebijakan. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan sistem Islam. 

Dalam sistem Islam, jaringan telekomunikasi seperti telepon, internet, pertelevisian dll termasuk jenis infrastruktur keras non fisik yaitu fasilitas umum yang dibutuhkan semua orang, sehingga termasuk kategori marafiq al-jama'ah adalah merupakan bagian infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh  manusia dan wajib disediakan oleh negara. Karena ini fasilitas umum, maka penggunaannya pun gratis tanpa dipungut biaya. Dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah karya al-'Allamah Syekh 'Abd al-Qadim Zallum, untuk membiayai proyek infrastruktur tersebut dengan cara memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang, pengeluarannya khusus untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada hak memproteksi kecuali milik Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud).

Karena itu segala kebijakan semata-mata hanya untuk kemaslahatan rakyat sehingga negara tidak boleh memberikan kebijakan yang menyengsarakan rakyat, karena negara adalah pelayan bagi rakyatnya 

Wallahu a'lam bi ash-showab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar