Revisi RUU KUHP, Bukti Standar Ganda Demokrasi


Oleh : Intan A.L (Ibu Rumah Tangga)

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) resmi disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan pada hari Selasa tanggal 6/12/2022 dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP (kalbar.kemenkumham.go.id, 6/12/2022). 

RKUHP mendapatkan banyak sorotan karena dianggap memberikan peluang kekuasaan yang bersifat otoriter. Itu ditunjukkan pada beberapa pasal yang  dianggap multitafsir dan bisa disalahgunakan demi kepentingan segelintir orang. 

Adapun beberapa pasal ‘karet’ yang dianggap mengancam kebebasan berpendapat masyarakat seperti pasal 218 yang menyebutkan, setiap orang di muka umum yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda Rp200 juta. Dalam hal tindak pidana berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, bisa dipidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp200 juta. Terlebih, tindak pidana tersebut hanya bisa dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina (delik aduan). 

Hal itu mengindikasikan bahwa ukuran merasa terhina dan tidaknya diserahkan kepada pihak yang merasa dihina yang artinya bersifat relatif. Bahkan jika hinaan itu  adalah kritikan akan kinerja mereka sebagai penguasa. Hal itu berpotensi membungkam beragam bentuk penilaian atas kinerja penguasa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sebab posisinya sebagai delik aduan beresiko dimanfaatkan sebagai alat kriminalisasi yang legal. Padahal, faktanya polisi kerap tebang pilih dan sulit bersikap proporsional jika laporan bersumber dari pihak yang mempunyai relasi dengan pejabat negara. Sehingga cenderung memihak pada mereka yang berkepentingan lalu mempersulit pihak yang berseberangan dengan mereka yang berkepentingan.

Hukum seperti ini jelas sangat berbeda dengan iklim demokratis yang mengedepankan hak untuk bebas dalam berpendapat. Oleh sebab itu, banyak pengamat dan tokoh masyarakat yang menentang isi revisi RKUHP ini, karena semakin menunjukkan muka dua demokrasi, hukum yang lemah pada yang berkuasa dan keras pada rakyat biasa. Hal ini hanya terjadi pada sistem demokrasi yang memvalidasi bentuk hukum seperti ini. Sebab mekanisme musyawarah dalam menentukan kebijakan, dipegang kuat oleh kaum mayoritas. Sedangkan kaum mayoritas dalam lingkup kekuasaan kebanyakan berpihak pada kepentingan dan keuntungan kelompok dibandingkan pada kepentingan rakyat. 

Keadilan dan penegakan hukum yang rasional hanya bisa dilakukan tatkala sistem ini dirubah. Sehingga mereka yang berusaha memanfaatkan sistem rusak tidak akan bisa dengan mudah mengotak-atiknya demi keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Sistem alternatif menuju perubahan ke arah lebih baik itu adalah Islam. Sebab Islam adalah hukum yang bersumber dari pencipta manusia dan seluruh alam. Kepatuhan pada syariat adalah bentuk keimanan dan merupakan komitmen dalam membawa umat pada kemaslahatan jamaah. Islam memberikan kebebasan berpendapat pada semua warga negaranya. Pendapat yang membawa kebaikan tanpa pandang bulu, baik ditujukan kepada pejabat maupun khalifah yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya umat menyambut kembali sistem yang penuh kebaikan ini dalam kehidupan baik secara pribadi, bermasyarakat dan bernegara.

Wallahu a'lam bi shshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar