Derita Rakyat yang Dipalak dengan Pajak


Oleh : Ayu Annisa Azzahro 

Diawal tahun ini rakyat semakin menjerit tatkala pemerintah secara resmi mengatur tarif baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan berlaku pertanggal 1 Januari 2023. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian pengaturan di bidang PPh. Perubahan tarif pajak ini sejalan dengan dirilisnya UU nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 

Pemerintah juga memberlakukan tarif PPh karyawan secara progresif. Yang artinya, makin besar penghasilan wajib pajak, maka makin besar pula pajak yang akan dikenakan. 

Adapun tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dibagi menjadi lima layer. Pertama, penghasilan sampai dengan Rp. 60 juta dikenakan tarif pajak PPh sebesar 5%. Kedua, penghasilan lebih dari Rp. 60 juta hingga Rp. 250 juta dikenakan tarif pajak PPh 15%. Ketiga, penghasilan lebih dari Rp. 250 juta hingga Rp. 500 juta dikenakan tarif pajak PPh 25%. Keempat, penghasilan di atas Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 5 miliar dikenakan tarif pajak PPh 30%. Dan kelima, penghasilan di atas Rp. 5 miliar tarif pajaknya hingga 35%.

Sungguh ironi di tengah-tengah himpitan ekonomi rakyat dibuat menjerit dengan palakan berupa pajak ini. Lebih parahnya pemerintah mengklaim bahwa pajak ini tidaklah membebani rakyat sama sekali. 

Pemerintah mempertegas bahwa tujuan PPh ini untuk meningkatkan pendapatan negara. Serta mengatakan bahwa pajak ini nantinya akan kembali untuk rakyat yang akan didistribusikan berupa pembiayaan disektor publik seperti, listrik, BBM, LPG dan lainnya. Begitu pula rumah sakit, sekolah, puskesmas itu menggunakan uang yang diperoleh dari pungutan pajak. Nyatanya pajak yang katanya akan kembali kepada rakyat tidak benar-benar membuat rakyat sejahtera melainkan makin menderita. Sebab fasilitas dan sektor-sektor yang ada biayanya mahal dan makin melilit rakyat. 

Ini dikarenakan pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara serta pajak ini menjadi alat 'memalak' rakyat. Ini terlihat jelas dari pungutan pajak yang kian melonjak. 

Tentu ini berbeda dengan sistem ekonomi islam dalam naungan khilafah. Pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara. Sumber pendapatan negara islam ada banyak. Dari jizyah, kharaj, ghanimah, fa'i, rikaz, usyur begitu pula pendapatan negara yang diperoleh dari kepemilikan umum yang meliputi tambang emas, perak, besi, air, padang gembalaan, BBM, lapangan hingga sungai. Yang sumber-sumber pendapat negara tersebut akan dikelola oleh Baitul Mal untuk menjamin pemenuhan kebutuhan individu berupa; sandang, pangan dan papan. Lalu kebutuhan pokok masyarakat yang meliputi; pendidikan, kesehatan dan keamanan yang gartis. Pengeluran Baitul Mal selanjutnya adalah untuk pembangunan sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan rakyat seperti; masjid, rumah sakit, jalan, jembatan, terminal hingga rel kereta api. 

Tugas negara dalam naungan khilafah yakni hanyalah mengelola dan mendistirbusikannya agar sampai kepada rakyat secara merata dan adil.

Sedangkan pajak sendiri di dalam negara Islam hanya akan diambil ketika negara benar-benar dalam keadaan kekurangan. Pajak ini pun akan diambil hanya dari kalangan rakyat yang kaya saja dan bersifat temporal atau sementara. Sedangkan dalam keadaan normal negara tidak memungut pajak sama sekali kepada rakyatnya.

Maka, demikianlah sistem ekonomi islam yang diatur oleh daulah khilafah. Rakyat tidak akan menjerit kesakitan akibat roda ekonomi yang tidak berjalan merata justru sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi memuncak, pemerataan ekonomi tetap terjaga rakyat pun makmur sejahtera.

Wallahu a'lam bishawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar