Oleh: Nur Hidayati (Lisma Jembrana-Bali)
Semakin hari semakin tak terbendung lagi berita bobroknya generasi. Maraknya tawuran di kalangan pelajar, perundungan di sekolah, bunuh diri karena putus cinta, dan masih banyak bukti yang lainnya. Itu semua tak terlepas dari kegagalan sistem pendidikan yang ada.
Jika ada satu sistem yang gagal, maka sistem yang lainnya pun ikut bertanggungjawab. Terutama yang berkaitan langsung dengan sistem pendidikan. Setidaknya, ada 3 faktor penyebab sulitnya mewujudkan generasi taat syari'at di masa kini, yaitu kurikulum pendidikan, peran guru dan lingkungan di sekitarnya.
Pertama, kurikulum pendidikan di Indonesia nyatanya sudah berganti lebih dari 10 kali. Perubahan kurikulum didasari oleh banyak sebab, bahkan dapat berubah sesuai keinginan pembuatnya. Tak ayal jika perubahan ini bisa juga dengan memasukkan unsur-unsur liberal di dalamnya yakni memisahkan agama dari kehidupan.
Kurikulum yang sekuler akan membuat peserta didik semakin jauh dari norma agama. Apalagi yang dipakai sekarang adalah kurikulum merdeka yang diartikan bahwa para peserta didik bebas untuk memilih dan menentukan minat dan bakatnya tanpa mempertimbangkan hukum syara'.
Kedua, peran guru. Saat ini peran guru bukan hanya mengajar, tetapi juga disibukkan dengan berbagai urusan administrasi di sekolah. Alhasil, sedikit sekali guru yang menyampaikan pemahaman agama kepada para anak didiknya. Padahal seorang guru adalah panutan yang selalu dicontoh oleh anak didiknya. Untuk itu seorang guru haruslah paham betul tentang agama.
Ketiga adalah faktor lingkungan. Walaupun anak-anak sudah diajarkan pemahaman agama dengan baik di rumah, tetapi jika dia berada di lingkungan yang rusak, maka belum tentu anak tersebut akan tetap menjadi anak yang baik. Interaksi dengan teman-temannya atau tetangga di sekitar rumahnya juga bisa membawa pengaruh buruk jika mereka belum paham dengan Islam.
Maka dari itu, butuh peran yang lebih besar untuk mengatur semua elemen supaya memiliki pemikiran dan perasaan yang sama kepada Islam. Maka institusi Negara lah yang paling bertanggungjawab untuk membuat sistem itu.
Dalam sistem Islam, pendidikan dimulai dari keluarga, terutama ibu. Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan setiap keluarga sehingga ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya bisa fokus memperhatikan kebutuhan anak-anak dan memberikan pendidikan agama yang baik bagi mereka tanpa harus memikirkan cara bagaimana harus membantu mencari nafkah.
Sedangkan dalam sistem sekuler saat ini, negara abai akan rakyatnya. Pada akhirnya orang tua lebih fokus bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, sedangkan bimbingan dan pendidikan diserahkan kepada pihak sekolah atau tempat mengaji saja.
Dalam masyarakat Islam, generasi diwajibkan untuk beramar makruf nahi mungkar sehingga jika ada kesalahan di antara mereka, masalah itu bisa segera diselesaikan. Maka muncullah organisasi-organisasi pemuda dengan pemikiran Islam yang siap mengkritik kebijakan negara karena telah abai memenuhi kebutuhan rakyat. Namun ternyata, para generasi muda yang kritis itu, malah dibungkam dan dicap radikal.
Dalam sistem Khilafah tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu sains. Kurikulum yang dibuat dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi selalu sama, yakni berbasis akidah Islam. Tidak boleh ada yang menyimpang dari akidah Islam. Semua sarana dan prasarana pendidikan disediakan oleh negara sehingga tidak membebani rakyat. Maka setelah menyelesaikan pendidikannya, para pemuda tidak lagi terombang-ambing harus berbuat apa dan bekerja apa. Semua ilmu yang didapatkan selalu bermanfaat bagi kehidupannya secara nyata.
Wallahu a'lam bish showab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar