Hipokrit PBB Atas Nasib Pengungsi Rohingya di Aceh


Oleh : Ummu Fadillah

Dilansir dari Reuters bahwa Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) mendesak negara-negara pada Selasa untuk membantu Muslim Rohingya yang terdampar di laut setelah berminggu-minggu di Samudera Hindia yang menewaskan sedikitnya 20 orang tewas dan ratusan lainnya terdampar di Indonesia.

Hampir 500 Rohingya telah mencapai Indonesia dalam enam minggu terakhir, dan banyak yang tetap tidak merespon meski telah berulang kali memohon dan meminta bantuan,” kata UNHCR dalam sebuah pernyataan.

Rombongan pertama tiba di Pesisir Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, pada Minggu (25/12/2022). Kapal yang mengangkut 57 pengungsi Rohingya itu diduga bocor dan rusak lalu terbawa angin ke perairan Aceh. Keesokan harinya atau Senin (26/12), sebuah kapal yang berisi setidaknya 174 orang sampai di pesisir Desa Ujung Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.

Perwakilan UNHCR di Indonesia menekankan  bahwa pengungsi juga memiliki hak asasi manusia dan selayaknya bisa saling menolong.  Indonesia sesungguhnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk karena sampai saat ini belum meratifikasi 
Terusir dari tanah kelahiran, terkatung-katung di lautan, dan terdampar di negeri orang. Miris dan menyedihkan jika kita mengingat kondisi muslim Rohingya. Di negara asalnya, Myanmar menolak kewarganegaraan muslim Rohingya lantaran dianggap sebagai imigran ilegal dari Asia Selatan. Terbaru, dua kapal pengangkut warga Rohingya terdampar di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.

Anehnya PBB  tidak mendorong negara lain untuk membantu pengungsi Rohingya, atau bahkan memaksa  dan menekan negara lain mengingat posisi PBB di dunia .Di sisi lain PBB tidak menekan pemerintah asal pengungsi rohingya, yaitu Myanmar untuk menyelesaikan konflik dalam negeri yang membuat warga muslim rohingya diusir dri negerinya sendiri. Satu sisi PBB menyeru berbagi krisis kemanusiaan, di sisi lain, PBB tidak pernah bertindak keras dan tegas terhadap kejahatan Myanmar atas Rohingya. PBB juga tidak memberikan sikap keras terhadap pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan konflik dalam negeri yang membuat Rohingya terusir dari negerinya.

PBB selalu menyuarakan HAM, tetapi sesungguhnya gagal memperjuangkan hak kemanusiaan yang semestinya didapat warga Rohingya.

Inilah sikap hipokrit lembaga dunia ini.  Apalagi justru mendorong adanya solusi pragmatis dnegan menampung pengungsi dari Rohingya. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa solusi persoalan Rohingya tidak akan  terselesaikan secara tuntas,  dan pengungsi Rohingya akan terus terlunta-lunta 

Penampungan bukanlah solusi fundamental untuk Rohingya. Berbekal belas kasih dan kemanusiaan negara-negara ASEAN juga tidak akan cukup mampu menuntaskan persoalan Rohingya. Universal Declaration of Human Right 1948 yang isinya menyatakan setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan status kewarganegaraan terbukti gagal mencegah perlakuan diskriminatif Myanmar terhadap Rohingya. Stateless persons masih terjadi. Rohingya adalah bukti nyata sebagai etnis yang tidak mendapat pengakuan kewarganegaraan oleh negeri asalnya.

Muslim Rohingya membutuhkan pelindung dan perisai hakiki, yaitu junnah yang mampu menjaganya dari perlakuan diskriminasi, penindasan, dan penganiayaan. Rohingya dan negeri muslim lainnya memerlukan pemimpin dan rumah yang mampu menjamin nyawa manusia dan kehormatan Islam. 

Rohingya dan umat muslim dunia membutuhkan ikatan akidah dan ukhuah Islamiah yang menjadikan umat ini bersatu tanpa memandang sekat-sekat bangsa, suku, dan ras. Semua ini hanya akan terwujud dalam negara islam yang mempersatukan umat Islam dari berbagai bangsa, suku, ras, dan golongan; melindungi umat dari kejahatan; membela kaum yang terusir dan tertindas dari tanah kelahiran; serta menyatukan seluruh negeri Islam dari satu naungan. 

Khilafah akan membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dan kezaliman. Sebagaimana sabda Nabi ï·º, “Sesungguhnya al-imam itu (laksana) perisai, yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.”




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar