Oleh : Ummu Nadira
Putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep melangsungkan pernikahan dengan Erina Sofia Gudono pada Jumat (10/12/2022). Adapun prosesi pernikahan beserta pestanya dilakukan di Solo, Jawa Tengah dan Royal Ambarrukmo, Sleman (KOMPAS.com).
Hajatan terakhir keluarga Jokowi tersebut menjadi pusat perhatian banyak orang. Mulai dari mahar, pakaian seragam,aksesoris dari desainer ternama bahkan ribuan Personel dikerahkan untuk mengawasi acara pernikahan.
Ada sebanyak 10.800 personel gabungan dari unsur TNI dan Polri diterjunkan untuk melakukan pengamanan jalannya acara," kata Pangkobwilhan II Marsdya TNI Andyawan Martono, Kamis (8/12/2022).
Ratusan kamera CCTV terpasang di sejumlah titik untuk memantau resepsi pernikahan. Dalam prosesi selama dua hari itu, tugas kenegaraan tampaknya teralihkan ke acara “mantenan anak pimpinan”.
Kabar gelaran pernikahan anak orang nomor satu di Indonesia yang berlangsung sejak Sabtu—Minggu (10—11 Desember 2022) ini pun mengalihkan kabar seputar kondisi rakyat yang terdampak bencana, terkena PHK, serta masih banyak problematik lainnya. Ironis, pernikahan megah ini tersaji saat rakyat sedang bersusah hati.
Bisa dikatakan pernikahan ini terheboh se-Indonesia. Selain sebagai anak penguasa, pernikahan tersebut menyita perhatian banyak pihak, dari pejabat negara hingga rakyat jelata. Bahkan, sejumlah menteri tampak sibuk terlibat dalam serangkaian prosesi pernikahan tersebut, seperti Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Mensesneg Pratikno, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Sejenak, publik dibuat lupa dengan sederet masalah bangsa yang belum kelar dan rampung dikerjakan oleh para pejabat negeri ini. Waktu seakan-akan terhenti dan berfokus pada pesta pernikahan anak penguasa negeri. Semuanya larut dalam gempita pesta super meriah itu.
Sementara itu, di wilayah lain, masih ada 5.389 pengungsi Cianjur yang menunggu datangnya bantuan akibat gempa beberapa waktu lalu. Juga terdapat lebih dari 2.000 warga Semeru yang mengungsi akibat erupsi. Ada pula rakyat yang merasa waswas manakala PHK mengancam sumber nafkah mereka. Sungguh masih banyak masalah di negeri ini yang membutuhkan penyelesaian dari kebijakan penguasa.
Penguasa negeri ini tampaknya harus belajar berempati. Patutkah menebar pesta ketika rakyatnya tengah berduka? Layakkah menyiarkan hajatan mewah manakala masyarakat sedang bersusah payah mempertahankan diri di tengah impitan ekonomi?
Fenomena pejabat pamer kemewahan bukanlah hal baru dalam sistem kapitalisme. Tidak jarang pula, pejabat dikenal—katanya—merakyat, nyatanya gaya hidupnya tidaklah sederhana. Barang-barang bermerek kerap melekat dalam tampilan mereka, meski sudah ada regulasi perihal larangan pejabat publik bergaya hidup mewah.
Kehidupan kapitalistik memang mengajarkan demikian. Pejabat harus terhormat dengan fasilitas kedinasan yang memadai.
Sangat berbeda jauh dengan kepemimpinan di dalam islam. Salah satu penguasa sederhana dan amanah dapat kita contoh adalah sang Khulafaurasyidin kelima, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Meski masa kekuasaannya singkat, ia mengukir banyak prestasi sebagai kepala negara. Kehidupannya jauh dari kemewahan. Ketika ia diamanahi menjadi pemimpin kaum muslim, kehidupan serba mewah itu ia tinggalkan.
Suatu malam, ketika Khalifah Umar sibuk merampungkan tugas di ruang kerjanya, tiba-tiba putranya datang untuk menemuinya. Umar pun mempersilakannya untuk mendekat. Kemudian umar menanyakan apa keperluan anak nya,ada yang ingin dibicarakan sang anak mengenai urusan keluarga. Seketika langsung umar mematikan lampu ruang kerja nya. Sang anak pun bertanya mengapa ayah mematikan lampu itu? Sang ayah berkata “Anakku, lampu itu Ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara, sedangkan perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga kita,” jawab Umar. Umar pun meminta pembantunya untuk mengambil lampu dari luar dan menyalakannya. “Sekarang, lampu milik keluarga kita telah dinyalakan. Minyaknya dibeli dari uang kita sendiri. Silakan lanjutkan pembicaraan kita,” ujar Umar.
Selain Umar bin Abdul Aziz, kesederhanaan hidup seorang pemimpin juga bisa kita lihat dari Khalifah Umar bin Khaththab. Saking sederhananya, konon pakaian yang dikenakannya memiliki empat belas tambalan, padahal beliau menjabat sebagai khalifah kaum muslim.
Suatu hari, sang anak, Abdullah bin Umar, menangis di hadapannya. Sang putra bercerita ia diejek teman-temannya lantaran bajunya penuh dengan tambalan. Ia pun meminta dibelikan baju baru kepada sang ayah.
Khalifah Umar pun bergegas ke Baitulmal guna meminjam dana guna membelikan baju baru untuk anaknya. Tersebab tidak berjumpa dengan pejabat kas negara, ia pun menuliskannya melalui surat. Apa balasan surat tersebut? Pejabat kas negara itu berkata, “Wahai Amirulmukminin, adakah akhir bulan nanti ada jaminan Anda masih hidup untuk melunasinya?” Sontak, pertanyaan tersebut membuat Khalifah menangis dan mengurungkan niatnya.
Demikianlah, sosok-sosok terbaik sepanjang sejarah peradaban Islam dalam memberikan keteladanan ideal tentang kepemimpinan amanah dan kesederhanaan hidup saat menjadi penguasa.
Jangankan pernikahan megah nan mewah, untuk membeli baju saja mereka harus berpikir layak tidaknya seorang kepala negara mendapat fasilitas tersebut jika masih ada rakyatnya yang kelaparan dan susah. Hanya saja, pemimpin ideal seperti ini hanya akan lahir dari sistem ideal, yaitu sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar