Tarif Pajak Baru di Tahun Baru


Oleh : Isti Amalia Ulfah, S.Kom.I (Ummahat Peduli Umat)

Sejak April 2022, pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen. Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM  mengatakan, tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada 2025, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Ia  juga mengungkapkan pemungutan PPN akan diberikan kepada jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif PPN. (Kompas.com)

Berganti tahun, kesengsaraan rakyat kian bertambah dengan hadirnya sejumlah kebijakan yang makin menzalimi mereka. Pemerintah secara resmi mengatur tarif baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan yang diberlakukan mulai 1 Januari 2023. Aturan tersebut tertuang dalam PP 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh.

Adapun objek yang dipajakinya adalah penghasilan dengan tarif yang bersifat progresif. Artinya, pajak yang dikenakan bakal lebih besar jika penghasilan wajib pajaknya juga lebih besar. Tarif pajak yang baru ini memuat lima lapisan, yaitu penghasilan hingga Rp60 juta terkena tarif PPh 5%, Rp60 juta—Rp 250 juta (15%), Rp250 juta—Rp500 juta (25%), Rp500 juta—Rp5 miliar (30%), dan di atas Rp5 miliar (35%).

Berbagai kebijakan tersebut merupakan hasil dari Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang bertujuan mengoptimalkan penerimaan pajak negara. Banyak pihak menilai kenaikan ini sangat zalim karena menjadikan rakyat sebagai objek perburuan pajak. Tak tanggung-tanggung pemerintah juga siap mengetuk tiap rumah untuk memungut pajak.

Hal tersebut tentu sangat ironis mengingat ada bahaya yang jelas-jelas membahayakan negeri ini adalah para koruptor, penguasaan SDA oleh asing dan privat dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Namun, tidak ada tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah tersebut yang telah berakar di negeri ini. Sebaliknya, Islam justru dijadikan kambing hitam untuk menutupi ketidakmampuan penguasa dan sistem dalam mengurus hajat hidup masyarakat.

SDA yang seharusnya menjadi sumber pendapatan malah  dikelola oleh asing maupun privat-lokal. Rakyat Indonesia tidak pernah benar-benar menikmati kekayaan negeri ini.  Menurut kacamata kapitalisme, pajak memiliki peranan penting bagi pembangunan nasional negara. Hampir 80 persen pendapatan negara bersumber dari hasil pemungutan pajak. Padahal jika dibandingkan, pendapatan dari pajak dengan SDA tidaklah sebanding, uang pungutan dari rakyat hanyalah ‘receh’ dibandingkan aliran uang yang masuk ke kantong-kantong para kapitalis. 

Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pada dasarnya pajak adalah oleh dan untuk rakyat. Pajak yang terkumpul digunakan untuk membiayai sektor publik, semisal listrik, BBM, dan LPG 3 kg, yang semua itu disubsidi menggunakan pajak. Fasilitas pendidikan, rumah sakit, dan puskesmas pun memakai uang pajak. Fasilitas Jalan raya, kereta api, internet, kapal selam, gaji prajurit, polisi, guru, hingga dokter, semua bersumber pajak.

Semua ini membuktikan watak sistem kapitalis yang berpihak pada para pemegang modal. Memimpikan hidup bebas pajak yang akan menyejahterakan rakyat adalah mimpi yang sulit untuk diwujudkan.

Oleh karenanya, pantaslah jika menyebut pajak sebagai alat palak penguasa terhadap rakyat. Ketika keuangan defisit, negara akan mengotak-atik regulasi pajak agar pendapatan dari pajak makin tinggi. Inilah tata kelola pajak dalam demokrasi, walaupun rakyatnya sengsara, tetap saja rakyat yang 'dipalak' membayar pajaknya.

Dalam Islam, penarikan pajak diberlakukan jika terjadi kekosongan kas dalam negara, dan itupun hanya dipungut dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. Jadi tidak diberlakukan kepada seluruh rakyat, seperti yang terjadi saat ini. Pajak ini pun hanya berfungsi sebagai stabilitas dan bersifat insidental. Maksudnya, ketika masalah keuangan negara berhasil diatasi, pajak pun dihentikan. Pajak dalam Islam bukanlah sebuah tindakan pemalakan seperti yang terjadi saat ini.

Secara tegas Islam telah mengatur urusan kepemilikan ini. Sumber daya alam yang melimpah merupakan milik rakyat dan dikelola oleh negara. Pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara untuk kepentingan rakyat semata. Haram hukumnya negara menyerahkan pengelolaan SDA kepada siapapun termasuk kepada swasta/asing.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw. dari Ibnu Abbas. Rasulullah bersabda: “Umat Islam berserikat dalam tiga hal yaitu Air rumput dan Api.” (HR. Ibnu Majah)

Demikianlah solusi dan kebijakan Islam dalam menyejahterakan rakyatnya. Dalam sistem Islam, rakyat tidak dibebani dengan pajak seperti negara kapitalis. Bahkan, rakyat dijamin kehidupannya oleh negara. Negara menyiapkan semua fasilitas yang ada dengan cuma-cuma. Sehingga, rakyat sejahtera dan hidup bahagia.

Wallahu a’lam bish shawwab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar