Oleh : Ammylia Ummu Rabani (Muslimah Peduli Umat)
Bukan reog yang kini menggegerkan di Ponorogo. Namun, ratusan pelajar yang dinyatakan hamil di luar pernikahan. Sungguh miris mendapati kabar yang memilukan ini. Sehingga mereka berbondong-bondong mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan agama setempat.
Lazimnya pernikahan itu sebagai ibadah untuk melestarikan keturunan. Ini justru berkebalikan, mengajukan pernikahan karena telah hamil duluan. Potret generasi z yang keterlaluan.
Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Anwar Solikin mengiyakan fakta tersebut. Bahkan Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Brawijaya Antasari, Dinda Derdameisya mengatakan bahwa sebenarnya kasus ini terjadi karena krisis edukasi seksual.
Menurutnya, seharusnya edukasi seksual diajarkan di setiap perkembangan anak, dimulai usia prasekolah (TK).
Dia berpendapat bahwa edukasi seksual bukan saja berhubungan seksual tapi juga perbedaan antarperempuan dan laki-laki itu biasanya diajarkan dari usia TK, kemudian di antara perempuan dan laki-laki tidak boleh saling menyentuh kemaluannya, tips menghindarkan anak dari hubungan seksual sebelum pernikahan sampai menjaga tontonan bagi anak-anak (Republika.com/14/1/2023)
Namun, sayang tips-tips tersebut belum sampai menyentuh pada akar permasalahannya. Ratusan pelajar yang duduk di bangku pendidikan bukan justru menampilkan jati diri sebagai kaum yang terdidik karena ilmu yang dikenyam. Justru hadir sebagai korban dari kebablasan gaya pergaulan.
Mengingat landasan pendidikan yang diberlakukan hanya menekankan pada mahirnya numerasi dan literasi. Sistem pendidikan di negeri ini tidaklah menjadikan akidah sebagai landasannya.
Sehingga para pelajar hanya diarahkan dalam pencapaian nilai akademik saja, tapi lupa memahamkan hakikat dari menuntut ilmu.
Padahal hakikatnya di dalam Islam bahwa pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia. Ilmu yang dikenyam menghadirkan rasa takut kepada Penciptanya, bukan justru mengundang murkanya dengan ramai terseret dalam arus liberalisasi.
Dunia pendidikan di Indonesia memang khas dengan corak aturan Barat. Nafas belajarnya dengan memisahkan agama dari kehidupan. Pelajaran agama hanya dibatasi sekitar 2 jam dalam sepekan, bahkan diwacanakan akan dihapuskan.
Sementara pelajar butuh bekal yang mapan dalam menjalankan kehidupan dengan segala tantangan yang menghadang baik dari pemikiran juga arus pergaulan. Mengingat mereka kini hidup di tengah gempuran pemikiran asing yang menjauhkan mereka dari jati dirinya sebagai kaum terdidik dan generasi pembawa perubahan.
Sehingga kebutuhan mendesak landasan kehidupan yang harus untuk segera diwujudkan, tak terkecuali dalam aspek pendidikan haruslah berasaskan sesuatu yang sahih. Asas yang bersumber dari Zat Yang Mahakuasa nan Sempurna. Ialah Islam yang hadir sebagai agama sekaligus pandangan hidup yang mulia.
Islam yang mengajarkan uqdatul qubro (pertanyaan besar) sekaligus jawaban yang sesuai dengan kefitrahan kepada umat manusia. Dari mana kamu berasal? untuk apa hidup di dunia? akan ke mana setelah hidup di dunia?
Islam yang juga hadir sebagai sistem dalam kehidupan. Iya mengatur bagaimana tata pergaulan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, menuntun manusia agar menutup aurat, juga menundukkan pandangan, dan tidak tampil tabarruj (menor). Bahkan terdapat juga larangan bercampur baur yang tidak ada faedahnya, bahkan berdua-duaan tanpa disertai mahramnya.
Tidak cukup sampai di sana, Islam juga memberlakukan pencegahan dalam akses yang menghantarkan pada kemudaratan. Tayangan pornoaksi, pornografi, serta keberadaan komunitas LBGT dan gaul bebas akan diberantas dengan tegas. Mengingat hal demikian yang juga memicu kerusakan di tengah generasi.
Sebagaimana Islam mengharamkan pusara liberalisasi yang dihasilkan dari penerapan sistem kapitalisme-sekularisme. Jika pelanggaran masih tetap terlaksana saat Islam telah diterapkan, maka sistem sanksi pun tegas diberlakukan. Ada hukuman jilid 100x bagi pezina yang masih lajang dan hukuman rajam bagi yang telah menikah.
Hukum tersebut berfungsi sebagai jawazir (pembuat jera) dan jawabir (penebus dosa). Keberadaannya mesti dilaksanakan oleh kepemimpinan Islam sebagaimana yang diteladankan Rasulullah Saw dan Khafaur Rasyidin. Niscaya generasi terselamatkan dari pusara liberalisasi. Generasi akan hidup sesuai fitrahnya sebagai agen perubahan ke arah kebaikan, mengukir peradaban yang penuh kemuliaan. Tentunya dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Semoga segera terwujud dengan segenap perjuangan. Wallahu ‘alam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar