Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Tailing, limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan/penghancuran batu tambang yang mengandung bijih mineral, emas, perak dan tembaga dari PT Freeport Indonesia telah menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah Timika, Papua. John NR Gobay, anggota DPRD dari Kabupaten Mimika menjelaskan dari hasil kunjungan kerja ke Mimika dan laporan masyarakat ada masalah di areal Freeport, terkait pendangkalan yang terjadi di muara-muara sungai yang ada di areal Freeport dan di luar wilayah yang diizinkan untuk pembuangan limbah tailing. Masalah pendangkalan tersebut menyebabkan masyarakat di tiga distrik, yakni Agimuga, Jit, dan Mansari di Mimika mengalami dampak buruk akibat pembuangan limbah tailing di sungai-sungai tersebut, yakni masyarakat di sekitar sungai tersebut kehilangan mata pencarian. Gobay menambahkan bahwa beberapa pulau telah hilang karena tertutup oleh endapan tailing Freeport. Pendangkalan sungai itu juga telah meluas hingga wilayah Mimika Barat. Sekitar 23 desa di tiga kecamatan terkena dampak pembuangan tailing Freeport, yakni sungai tercemar, warga mengalami krisis air, hilangnya mata pencaharian, ikan mati massal, gangguan penyakit menular, pulau keramat hilang, sungai dan laut terdegradasi, serta desa-desa dikepung oleh limbah tailing. (voaindonesia.com, 02/02/2023)
Anggota Komisi IV DPR RI Sulaeman L Hamzah dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Kamis, mengatakan pihaknya telah menerima aspirasi dari DPRD Papua tentang pencemaran limbah tersebut. Komisi IV menyatakan akan melakukan peninjauan ke Papua untuk mengetahui dampak kerusakan lingkungan dari limbah yang disebabkan oleh Freeport. (antaranews,com, 02/02/2023)
Komisi IV DPR RI pun sepakat untuk melakukan advokasi atas dampak buruk kegiatan pembuangan limbah tailing yang dilakukan PT Freeport Indonesia terhadap masyarakat setempat dan lingkungan alamnya. Upaya advokasi ini dilakukan setelah Komisi DPR yang membidangi lingkungan hidup ini, pada hari Rabu (1/2) menerima pengaduan dari DPRD Provinsi Papua dan wakil masyarakat Mimika yang telah dirugikan oleh kegiatan pembuangan limbah tailing PT Freeport Indonesia. (voaindonesia.com, 02/02/2023)
Sungguh miris, Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), terutama tambang emas di Papua tetapi masyarakatnya tidak tersentuh oleh kekayaan alam yang begitu melimpah tersebut, bahkan bisa dikatakan jauh dari kata sejahtera. Ibarat ayam, mati dalam lumbung padi. Bagaimana tidak, kekayaan alam yang begitu melimpah tersebut tidak menjadikan masyarakatnya sejahtera tetapi hanya menjadi korban dari eksploitasi penjajahan SDA oleh asing. Alih-alih dapat emasnya, hanya limbah tailing yang ditinggalkannya.
Begitulah nasib masyarakat dalam sistem kapitalis, dimana negara menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kekayaan alam kepada individu, swasta atau asing.
Dalam pandangan Islam, tambang di Bumi Papua yang dikelola oleh PT Freeport merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh Negara sebagai wakil dari umat. Haram dikuasai oleh pihak asing. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan atas barang dan jasa dikelompokkan menjadi tiga yaitu milik individu, milik umum dan milik negara.
Kepemilikan Umum itu terdiri dari tiga kategori:
Pertama, sarana umum yang diperlukan oleh seluruh rakyat dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti air.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, air, padang rumput (hutan) dan api (energi). (HR Abu Dawud dan Ahmad). Harta tersebut tidak terbatas yang disebutkan pada hadis di atas, tetapi meliputi setiap benda yang di dalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.
Kedua, harta yang asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi, seperti jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, mereka bebas melewati.
Ketiga, barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari pendapatannya merupakan hasil milik bersama dan dapat dikelola oleh negara. Bisa juga negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya. Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas dapat digolongkan ke dalam milik pribadi.
Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum misalnya air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar dan seterusnya yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagai masyarakat.
Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi serta biaya yang besar, seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya maka wajib dikelola oleh negara. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas negara sebagai sumber pendapatan utama APBN untuk kepentingan rakyat.
Negara tidak boleh menjual hasil dari kepemilikan umum itu kepada rakyat atau untuk konsumsi rumah tangga demi meraih keuntungan. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Namun demikian, boleh saja negara menjualnya dengan mendapatkan untung yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Adapun jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, negara boleh mencari untung semaksimal mungkin.
Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan untuk : Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Kedua, dibagikan kepada kaum muslim atau seluruh rakyat. Dalam hal ini Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan.
Adapun barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, semisal emas, perak, tembaga, batubara dll, bisa dijual ke luar negeri dan keuntungannya, termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri, dibagi kepada seluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis dan pelayanan umum lainnya.
Syariat Islam memberi landasan atas penguasaan bumi yang harus sesuai dengan nilai-nilai dan fitrahnya yaitu sebuah keseimbangan. Jika syariat tidak lagi menjadi landasan untuk berpijak dan beraktivitas di muka bumi, maka yang terjadi adalah kerusakan. Allah SWT telah berfirman : "Kalau sekiranya kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah langit dan bumi dan apa yang ada di dalam keduanya..." (QS Al Mu'minun [23] : 71).
Syariat Islam memberi ikatan bagi pemeluknya, sebagai sistem untuk mengikat dan memberi. Mengikat umat untuk tidak melakukan kerusakan dan eksploitasi SDA secara semena-mena. Memberi yaitu kesejahteraan umum bagi umat.
Upaya penanggulangan pencemaran secara terpadu dan berbasis masyarakat meliputi perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi. Islam mempunyai konsep yang sangat jelas tentang pentingnya konservasi, penyelamatan dan pelestarian lingkungan.
Konsep Islam ini kemudian bisa digunakan sebagai dasar pijakan baik moral maupun spiritual dalam upaya penyelamatan lingkungan yang parah dan mengancam eksistensi. Permasalahan lingkungan bukan hanya masalah ekologi tetapi menyangkut teologi. Semua itu bisa diwujudkan bila negara menerapkan Islam secara keseluruhan.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar