Oleh: Nuryanti (Jembrana-Bali)
Fenomena minyak goreng langka kembali terulang lagi di beberapa pasar tradisional, kali ini menyasar pada minyak goreng bermerek minyakita. Awalnya ditetapkan harga tertinggi minyakita sebesar Rp 14.000, kini menjadi Rp 20.000 dan langka. Padahal keberadaan minyak goreng merek minyakita adalah salah satu cara untuk menanggulangi terjadinya kelangkaan minyak.
Di samping itu minyak goreng merek minyakkita diproduksi bertujuan untuk menyasar ke masyarakat menengah ke bawah sebagai minyak goreng bersubsidi, dan pemasarannyapun hanya diperbolehkan adanya di pasar tradisional, bukan di supermarket ataupun online. Jika masyarakat membeli minyak goreng di online ataupun di supermarket, harusnya membeli minyak goreng premium seperti ucapan Menteri Perdagangan.
Kabarnya, pemerintah pun sudah mensuplay minyak goreng merek minyakita sebanyak 450.000 ton setiap bulannya, untuk menghindari terjadinya kelangkaan dan akan segera diturunkan ke pasar-pasar tradisional. Akan tetapi sebelum diturunkan, harus melewati beberapa persyaratan, yaitu tidak boleh membeli lebih dari 5 liter, tidak boleh diperjualbelikan, dan pembeli harus menunjukkan KTP. Alasan tersebut untuk menghindari terjadinya penimbunan.
Selain itu, Mendag mengatakan, masyarakat kita banyak beralih ke minyak goreng merek minyakita, karena kualitasnya tidak jauh beda dengan minyak goreng premium yang harganya lebih tinggi dari minyak goreng merek minyakita. Inilah sebabnya, minyakita menjadi primadona baru perminyakan.
Permasalahan kelangkaan minyak goreng yang terjadi, bukan hanya kali ini, bahkan bukan hanya minyak goreng saja, tetapi kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya juga terus terjadi kelangkaan, seperti beras, tepung terigu, garam dan lain sebagainya yang sering mengalami kelangkaan. Kelangkaan tersebut bukan terjadi begitu saja, tetapi karena ada kesalahan pengelolaan dalam proses regulasinya.
Hal ini mengisyaratkan adanya praktek kartel di dalamnya. Yaitu kongkalikong antara pengusaha dan produsen minyak kelapa sawit. Praktik seperti ini hanya menyengsarakan rakyat dan menguntungkan segelintir orang. Meskipun praktik kartel ini sudah diketahui dan ditindaklanjuti tetapi tidak bisa dihentikan begitu saja karena hukum yang berlaku tidak membuat jera si pelaku.
Hukum yang dibuat oleh manusia hanya berdasar pada keuntungan dan kemanfaatan yaitu sistem kapitalis. Sistem ini hanya berorientasi pada materi dan menjadikan pemilik modal menjadi penguasa. Siapa yang punya modal, dialah yang berkuasa dan negarapun tidak punya kekuatan untuk menghentikan dengan tegas atas hal ini.
Pada akhirnya, urusan ini menyengsarakan rakyat, membeli harus melalui beberapa persyaratan, seperti menunjukkan KTP, pembatasan jumlah pembelian dan tidak untuk diperjualbelikan hanya untuk dikonsumsi saja. Bahkan ditegaskan jika melanggar akan dikenakan sanksi. Inilah kenestapaan masyarakat yang hidup dalam sistem kapitalis.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Seorang Khalifah akan meriayah rakyatnya baik muslim maupun non muslim. Apalagi dalam urusan kebutuhan pokok yaitu minyak goreng. Negara akan mengusut permasalahan rakyat sampai keakar-akarnya, mencari akar permasalahan yang terjadi seperti kelangkaan dalam bentuk kebutuhan pokok masyarakat.
Khalifah akan menindaklanjuti dengan tegas segala bentuk kezaliman yang terjadi di masyarakat, kemudian akan dikenakan sanksi kepada pelaku sampai membuat jera dan tidak dicontoh oleh orang lain. Begitulah sistem Islam jika diterapkan di suatu negeri. Masalah apapun yang ada, akan terselesaikan tanpa menimbulkan masalah baru lagi.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar