Oleh: Ummu Hanan (Analis dan Aktivis Media Dakwah)
Pada Jumat (20/1), Komisi VIII DPR RI menggelar diskusi dengan Direktorat Jenderal Haji Kementerian Agama untuk membahas kenaikan biaya haji yang diusulkan Kemenag.
Sebelumnya, Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2023 sebesar Rp98,8 juta per calon jemaah.
Dari jumlah tersebut, setiap jemaah nantinya akan dibebani sebesar 70 persen atau sebesar Rp69 juta. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB Marwan Dasopang menyatakan keputusan final terkait biaya haji 2023 ditetapkan paling lambat 14 Februari. (www.cnnindonesia.com, 22/01/23)
Tentu saja usulan tersebut mencuri perhatian kaum muslimin di negeri ini, sehingga tidak sedikit warga masyarakat yang kontra terhadap hal tersebut.
Jangankan naik dengan besaran hampir 50% dari biaya tahun 2022, tahun sebelumnya pun ketika ada kenaikan sebesar kurang lebih Rp 5.000.000, masyarakat kita sudah merasa keberatan apalagi sekarang diusulkan untuk naik puluhan juta.
Adapun alasan pemerintah menaikan biaya penyelenggaraan haji di tahun ini adalah karena seluruh sektor penunjang ibadah haji seperti akomodasi yang naik.
Meskipun kenaikan ini menjadi ironi di tengah besarnya dana yang dihasilkan pemerintah dari hasil komponen nilai manfaat dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang konon pada tahun 2022 nilainya mencapai Rp166,01 triliun, namun inilah fakta kenaikan ongkos ibadah haji yang harus umat muslim tanah air hadapi.
Akan tetapi, biaya haji tahun ini (2023) konon mengalami penurunan sebesar 30% dari pemerintah Arab Saudi. Meskipun untuk ongkos haji jamaah internasional masih dalam tahap perundingan.
Lalu, mengapa untuk menjalankan ibadah yang menjadi salah satu rukun Islam ini harus demikian mahalnya?
Berbicara tentang biaya perjalanan haji, ada beberapa komponen biaya yang dibebankan langsung kepada jemaah, digunakan untuk membayar: 1) Biaya Penerbangan dari Embarkasi ke Arab Saudi (PP) sebesar Rp33.979.784,00; 2) Akomodasi Makkah Rp18.768.000,00; 3) Akomodasi Madinah Rp5.601.840,00; 4) Living Cost Rp4.080.000,00; 5) Visa Rp1.224.000,00; dan 6) Paket Layanan Masyair Rp5.540.109,60
Kebijakan formulasi komponen BPIH tersebut, ujar Menag, diambil dalam rangka menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang. Menurut Menag, pembebanan Bpih harus menjaga prinsip istitha’ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya.
Namun mengapa tahun ini seolah menjadi tahun yang membebani rakyat khususnya dalam biaya perjalanan haji?
Sebetulnya, mahalnya biaya haji di Indonesia tidak terlepas dari sistem hidup atau ideologi yang diterapkan hari ini, yakni kapitalisme sekularisme. Sistem ini jelas memengaruhi pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim. Asas dari kapitalisme adalah materi, standar kebahagiaannya adalah materi. Tak ayal, pelayanan publik acap kali dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun Islam.
Dalam Islam, penguasa adalah pelayan rakyat. Namun dalam kapitalisme, ia berubah menjadi pengusaha yang pertimbangannya adalah untung rugi. Maka tidak heran jika ibadah haji dalam pandangan kapitalisme adalah ceruk bisnis dan ceruk pasar yang kemudian dieksploitasi. Mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil.
Lalu bagaimana seharusnya mewujudkan pelayanan haji yang tepat?
Dalam mewujudkan pelayanan haji yang sesuai dengan aturan Islam, tentu saja kita perlu melihat bagaimana ibadah haji terlaksana pada jaman Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya.
Menengok sejarah panjang proses pelaksanaan haji dalam sistem Islam, tampak betapa besar perhatian dan pelayanan antara khalifah kepada jemaah haji dari berbagai negara. Para jemaah haji dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Hanya untuk melayani semata. Jauh dari konteks investasi atau mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Dalam melakukan pelayanan bagi para jemaah haji, khalifah melakukan beberapa langkah.
Pertama, khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilh dari orang-orang bertakwa dan cakap dalam memimpin.
Kedua, jika negara harus menetapkan biaya penyelenggaraan haji, maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci.
Dalam penentuannya, paradigma Sistem Islam adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Sistem Islam juga bisa membuka opsi, yakni rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Ketiga, khalifah sebagai pemimpin berhak mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu, keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan, kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.
Keempat, khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara asing (negeri kaum kufar).
Kelima, khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu, apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.
Keenam, pada masa pandemi atau wabah, Sistem Islam akan berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, pemberian vaksin bagi para jamaah haji, sarana kesehatan yang memadai, serta tenaga medis yang memadai.
Sistem Islam tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji, tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing, treatment/pengetesan, pelacakan dan perlakuan) sesuai protokol kesehatan pada warga. Mereka yang terbukti sakit akan dirawat sampai sembuh. Mereka yang sehat tetap diizinkan beribadah haji.
Menutup pelaksanaan haji dan umrah adalah tindakan yang keliru karena menghalangi orang yang akan beribadah ke Baitullah.
Sekali lagi, semua aktivitas itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini. Pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dan lainnya.
Penjagaan terhadap rukun Islam dan aturan lainnya secara sempurna niscaya terjadi dalam Sistem Pemerintahan Islam yang merupakan kepemimpinan umum kaum muslim yang menerapkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Sungguh sangat berbeda ketika sistem kapitalisme yang mengelola pelaksanaan haji.
Mempertimbangan penjelasan di atas, mustahil ongkos haji dalam Sistem Islam akan mencekik umat. Maka ingin dipimpin dengan sistem Islam yang memberikan kenyamanan dalam ibadah haji atau dengan pola kapitalisme yang hanya mencari untung dari pelaksanaan ibadah haji?
Wallahua'lam bishshawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar