Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa, Perpanjangan Tangan Oligarki?


Oleh : Ummu Fadillah

Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, bahwa dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanees Tuba Helan menilai, perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun berpotensi menyuburkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di desa.

"Masa jabatan seorang pejabat yang terlalu lama cenderung akan membuat seseorang merasa kedudukannya sangat kuat dan merasa berkuasa sehingga akan mendorong tumbuh suburnya praktik KKN karena berhasil membentuk suatu rezim selama berkuasa," katanya di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (19/1/2023).

Tuba mengatakan, hal itu menanggapi tuntutan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan permintaan perpanjangan periode kepemimpinan dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Tuntutan tersebut disampaikan ratusan kepala desa yang mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).

Sungguh miris, usulan perpanjangan masa jabatan dibutuhkan untuk melaksanakan program pembangunan karena 6 tahun  hanya cukup untuk konsolidasi. Apalagi jika dikaitkan dengan banyaknya Kepala desa yang menjadi pelaku korupsi.  

Akan tetapi, permasalahannya bukan terletak pada masa jabatan ataupun ada dan tidaknya pilkades, melainkan pada buruknya pengurusan pejabat desa pada warganya. Berapa pun lama masa jabatannya, jika sistem politik yang menjadi pijakannya adalah demokrasi, kebijakan yang lahir pastilah bukan untuk kemaslahatan umat.

Masa jabatan seorang pejabat yang terlalu lama cenderung akan membuat seseorang merasa kedudukannya sangat kuat dan merasa berkuasa sehingga akan mendorong tumbuh suburnya praktik KKN karena berhasil membentuk suatu rezim selama berkuasa.

Sebenarnya masa jabatan kepala desa untuk saat ini tidak ada urgensi perubahan, jika pun ada perubahan akan jauh lebih baik jika di batasi, bukan diperlama. Tidak sedikit kepala desa tersangkut kasus korupsi. Perpanjangan masa jabatan justru akan membuat potensi korupsi semakin besar.

Jabatan kades pun seolah menjelma menjadi alat politik baru di luar parpol. Sangat mungkin pula terjadi kongkalikong yang erat antara parpol berkuasa dan para kades. Keduanya jelas sama-sama diuntungkan karena berpeluang menduduki jabatan lebih lama. Jadilah kebijakan ini rentan dipolitisasi oleh segelintir elite berkuasa, alias oligarki.

Inilah kekhawatiran banyak kalangan. Desentralisasi yang tujuan awalnya untuk percepatan pembangunan desa, nyatanya hanya akan menghasilkan “raja-raja daerah”. Bayangkan jika kekuasaan daerah berkolaborasi dengan pusat, oligarki jelas makin menguat. Jika oligarki menguat, kebijakan zalim pun makin besar lantaran mereka bebas melakukan apa pun tanpa kontrol.

Solusi ruwetnya persoalan ini sebetulnya sudah ada dalam Islam. Dengan kesempurnaan sistemnya, Islam akan memunculkan para pemimpin yang peduli umat, termasuk pejabat desa. Satu-satunya motivasi dalam menjabat hanyalah karena rida Allah Taala. Apa pun yang ditetapkan akan senantiasa sesuai syariat Islam dan amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan umat.

Selain itu, sistemnya yang kuat menjadikan politik transaksional tertolak dan secara otomatis memutus masuknya para cukong-cukong politik. Dari sini akan terlahir kebijakan yang pro umat tanpa ada intervensi dari pihak luar. Sifatnya yang sentralistis juga menjadikan komando terpusat pada pusat (khalifah).

Sungguh, dalam Islam, masa jabatan kades seperti ini tidak akan menjadi soal karena fokus utamanya adalah melayani umat. Jika kita ingin mendapatkan kades yang peduli umat, jalan satu-satunya adalah mengubah sistem politik demokrasi menjadi sistem Islam dan ini hanya bisa dilakukan melalui sistem Islam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar