Tercerabutnya Fitrah Ibu dalam Sistem Kapitalisme


Oleh: Leni Fuji Astuti (Aktivis Muslimah) 

Akhir-akhir ini publik digegerkan dengan pemberitaan kasus pelecehan seksual anak yang dilakukan oleh seorang perempuan. Sebut saja YS, Seorang wanita pemilik usaha rental  melakukan pelecehan seksual terhadap belasan orang anak. Salah satu orang tua korban mengungkap pelaku berinisial YS (25) sempat berbohong mengaku menjadi korban. 

Pelecehan tersebut dilakukan YS kepada korban anak-anak lelaki. Sementara itu pelaku memaksa anak perempuan untuk menonton film dewasa. Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Jambi, AKBP Kristian Adi Wibawa mengungkap dalam melancarkan aksinya modus pelaku memberi bonus jam rental main PS. Dilansir DetikJateng (06/02/23). 

Sungguh ironi, seorang wanita, terlebih ibu harusnya menjadi sosok penjaga, justru ia malah menjadi perusak anak. Sosok orang tua sebagai pelindung dan pengayom anak-anak tercederai dengan adanya kasus ini. Lagi-lagi kelemahan anak-anak dimanfaatkan segelintir orang hanya untuk memenuhi nafsu bejat orang dewasa. Akibat kasus pelecehan tersebut, bukan tidak mungkin berdampak pada psikis anak yang sulit disembuhkan. 

Kasus pelecehan pada anak kian hari kian meroket. Pelakunya pun tidak sebatas kaum pria saja, bahkan kini perempuan pun tak kalah gilanya. Sungguh diluar nalar, fitrah kaum ibu tercerabut akibat agama dipisahkan dari kehidupan. Keimanan semakin terkikis karena Islam tak lagi menjadi rujukan dalam berbuat dan berpikir. Agama hanya dipandang sebagai ibadah ritual semata. Karenanya, semakin jauh pemahaman masyarakat dari agama, kerusakan moral tak terbantahkan lagi. Masyarakat sulit untuk bisa membedakan perbuatan yang baik dan buruk. 

Akibat sistem yang menjunjung tinggi nilai materi dan kini dijadikan landasan hidup baik oleh negara maupun masyarakatnya, menjadi sebab kasus pelecehan terhadap anak tak pernah surut. Pemenuhan naluri berdasarkan hawa nafsu menjadikan pelaku tak ubahnya seperti hewan. Tak melihat siapa korbannya, dewasa atau anak-anak, ketika sudah menginginkan maka harus didapatkan. Seperti itulah buah kebebasan dari penerapan sistem kapitalisme yang menyebabkan hilangnya kewarasan. 

Hal lain yang mempengaruhi rusaknya moral manusia adalah masalah ekonomi. Kebutuhan pokok yang kian mencekik, menjadikan kewarasan seorang ibu terganggu. Semua serba mahal dan berbayar, bahkan akibat kondisi demikian, tak jarang seorang ibu menjadi pelaku kejahatan. 

Dari sisi informasi, media sosial termasuk penyumbang terbesar bergesernya nilai moral di masyarakat. Tayangan porno mudah diakses berbagai kalangan, sehingga bertambah rusaklah akal sehat dan menjadikannya tidak berfungsi dengan baik. 

Negara sebagai penanggung jawab utama seharusnya mampu memberikan kesejahteraan dan pelayanan mudah bagi rakyatnya terkait dengan pemenuhan segala kebutuhan. Juga menindak tegas pelaku kejahatan sehingga angka kriminalitas bisa menurun. 

Dalam Islam, fungsi ibu sebagai madrasatul ula atau pendidik pertama bagi anak-anaknya dan menjadi Ummu warrabatul bait atau pengurus rumah tangga. Untuk melaksanakan peran tersebut, tidak cukup mengandalkan kekuatan dan keterampilan seorang ibu semata, perlu adanya peran negara untuk mempermudah pelaksanaannya. Ibu adalah ujung tombak bagi kemunduran atau kemajuan generasi. Dengan demikian, negara mempunyai peran besar untuk mewujudkan generasi hebat melalui peran ibu. Semua itu bisa diwujudkan oleh negara dengan memberikan berbagai perlindungan serta pemenuhan kebutuhan pokok agar peran ibu dapat berjalan maksimal. 

Alhasil, ketika Islam diterapkan di setiap sendi kehidupan, niscaya angka kejahatan akan minim. Islam pun mempunyai hukum yang jelas dalam memberikan sanksi, yakni bersifat  jawazir dan jawabir. Dengan hukum yang dapat memberikan rasa berkeadilan tinggi, kewarasan semua pihak dapat terjaga dengan baik. Serta akan tercipta keamanan di tengah masyarakat sehingga masing-masing pihak bisa fokus pada fungsi dan fitrahnya. 

Saatnya umat berbenah dan kembali pada sistem yang sesuai fitrah, jika menginginkan keselamatan di dunia dan akhirat. 

Wallahu a'lam bisshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar