Penghilangan Jejak Digital, Media dalam Genggaman Kapitalisme



Oleh : Apt. Riana Annisa N, S.Farm

Beberapa pekan lalu, masyarakat dihebohkan dengan adanya berita seorang anak pejabat yang menganiaya anak dari salah satu ketua ormas terbesar di Indonesia. Hingga menimbulkan terungkapnya kekayaan beberapa harta pejabat tinggi. 

Buntut terungkapnya kepemilikan harta kekayaan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo yang mencapai Rp 56 miliar, kini beredar luas, beberapa unggahan Dirjen Pajak maupun para pegawai Ditjen Pajak (DJP) yang mengendarai motor gede (moge).

Video maupun foto Dirjen Pajak Suryo Utomo yang mengendarai moge beredar luas di akun Twitter, Youtube, Facebook, dan Instagram. 

Bahkan dalam foto yang tersebar di lini masa, Suryo Utomo tak mematuhi aturan lalu lintas dengan tidak mengenakan kelengkapan wajib berupa helm.  

Para PNS Ditjen Pajak penyuka motor, termasuk moge, diketahui tergabung dalam komunitas bernama Belasting Rijder. Seperti dilihat Instagram, Belasting Rijder juga memiliki beberapa cabang di sejumlah daerah. Belasting Rijder sendiri merupakan Bahasa Belanda. Belasting bermakna pajak, sementara rijder berarti pengendara. Sehingga secara harfiah blasting rijder memiliki arti pengendara pajak.

Namun saat kembali dipantau di Instagram pada Minggu (26/2/2023), beberapa akun IG Belasting Rijder diketahui sudah menghapus semua unggahannya, termasuk salah satunya yang memposting Dirjen Pajak yang tengah mengendarai moge. (kompas.com, 26/02/2023).

Bukan hal yang aneh, jika ada kasus yang merugikan pejabat atau orang yang memiliki kepentingan, jejak digital mereka mudah sekali dibersihkan.

Jejak digital memang bisa dijadikan bukti adanya kejahatan atau kecurangan yang mereka lakukan. Padahal, untuk menghilangkan jejak digital yang dibuat tentu tidaklah mudah. Bahkan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 

Jelas, jika ada pihak yang mampu menempuh jalan ini memiliki kekuasaan atau modal besar. Mereka melakukan hal tersebut untuk menghilangkan barang bukti agar terbebas dari jeratan hukum. 

Inilah wajah kapitalisme, sebuah sistem yang lahir dari akidah sekularisme, akidah yang memisahkan antara agama dan kehidupan.  Orientasi manusia yang hidup dalam sistem ini termasuk para pemimpinnya adalah bagaimana mereka bisa menjaga eksistensi kekuasaannya. 

Apa pun mereka lakukan agar selamat di dunia. Sejatinya kekuasaan hukum dan pelanggaran yang mereka buat akan mendapatkan sanksi kelak di akhirat. 

Pada dasarnya tidak sulit memiliki pemimpin yang amanah, asalkan sistem yang diterapkan itu shahih.

Satu-satunya sistem kehidupan yang shahih yaitu Islam. Islam menjadikan keimanan kepada Allah adalah benteng penjaga ketaatan bagi manusia. Baik pemimpin maupun rakyat biasa. Keimanan ini dapat menghindari dari perilaku curang atau jahat. 

Oleh karena itu, negara yang menerapkan sistem Islam sebagai pengatur kehidupan. Mereka akan dilingkupi keimanan dan ketakwaan. Termasuk para pejabatnya. Para pejabat dalam sistem Islam akan memahami bahwa kekuasaan yang mereka pegang adalah amanah dan kewajiban yang harus ditunaikan sebaik-baiknya. 

Untuk tanggung jawab yang besar ini, syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya Syakhsiyah Islamiyah memberi 3 indikator penting yang harus dimiliki oleh seorang pejabat. 

Pertama, al-quwwah atau kekuatan. Al quwwah yang dimaksud disini adalah kekuatan aqliyah dan nafsiyah.

Kedua, at-taqwa atau ketaatan akan menjadikan pemimpin selalu berhati-hati menjalankan amanahnya. 

Ketiga, al-rifq bi-ar’raiyyah (lembut terhadap rakyat) akan menjadikan pemimpin dicintai dan tidak ditakuti rakyatnya. 

Seperti inilah cara khilafah (sistem Islam) menentukan kualitas para pejabatnya. Maka tidak heran selama khilafah berdiri kurang lebih 1300 tahun umat senantiasa dipimpin oleh orang yang hanif. 

Wallahu’alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar