Penguasa Wajib Menyejahterakan Rakyat


Oleh: Nur Hidayati (Jembrana-Bali)

Gaya hidup flexing tengah ramai diperbincangkan setelah viralnya kasus anak pejabat pajak yang menganiaya temannya hingga koma. Akun sosial medianya pun diserbu netizen. Banyak yang mengumpatnya dan banyak pula yang dibuat heran dengan gaya hidupnya. 

Gaya hidup mewah terlihat jelas di akun sosial medianya dan juga keluarganya. Netizen pun berpikir tentang harta kekayaannya, apakah dari uang rakyat atau hasil kerja kerasnya sendiri. 

Tak hanya itu, setelah kasus ini viral, kementerian keuangan pun menganjurkan para pejabat di bawahnya untuk tidak terlalu mengekspos kehidupannya di sosial media. Karena khawatir akan terjadi keributan dan tuduhan korupsi kepada civitas kementerian keuangan.

Ternyata, memang begitulah yang terjadi di kalangan pejabat negeri ini. Banyak kasus korupsi yang terungkap, ternyata para pelakunya adalah mereka-mereka yang berkecimpung dengan kekuasaan dan wewenang yang tinggi. Sungguh miris memang, tapi itulah kenyataannya.

Padahal di sisi lain, ada mayoritas rakyat yang sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara para pejabat dengan kekuasaannya, malah hidup dalam keadaan bermewah-mewahan. Parahnya, para pejabat tersebut dengan bangganya menunjukkan kehidupan mereka yang serba 'wah' kepada semua orang melalui sosial medianya tanpa merasa bersalah dan malu.

Setelah diusut dan diperkarakan, ternyata banyak dari mereka yang mendapat kekayaan dari jalan pintas, seperti korupsi dan pengemplang pajak. Jelas, ini sangat menyakiti rakyat. Rakyat dijadikan sapi perah demi memenuhi gaya hidup mewah para pejabat.

Dalam Islam, rakyat tidak dilarang untuk kaya. Tetapi kekayaannya harus diraih dengan jalan halal dan tetap mematuhi aturan Islam, seperti mengeluarkan zakat atas kekayaannya. Pungutan tersebut pun bukan berarti pajak seperti yang terjadi saat ini.

Daulah Islam hanya akan meminta pungutan kepada rakyat ketika memang dalam keadaan darurat, seperti kas Baitul mal kosong pada saat kebutuhan rakyat harus segera dipenuhi. Sifatnya pun sementara, jika sudah terpenuhi maka pungutan pun dihentikan. Itupun hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang mampu dan punya kelebihan harta.

Jelas berbeda dengan negeri ini yang memukul rata seluruh rakyatnya untuk membayar pajak. Tak pandang apakah orang itu mampu ataukah tidak. Meski sudah ditarik pajak, ternyata utang negara masih tinggi dan terus bertambah. Angka kemiskinan rakyat pun terus meningkat, meskipun katanya sudah lebih makmur.

Inilah produk aturan dari pemerintah yang terus menerus menekan rakyat dari semua segi kehidupan. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagi rakyat, kemana aliran pajak yang selama ini dikumpulkan? Bukankah katanya pajak untuk membangun negara menjadi lebih makmur?

Padahal nyatanya, negara masih punya utang segunung, pelosok desa pun masih kesulitan menemukan akses jalan keluar kota, pun jalanan di kota juga banyak yang bolong, anak-anak pedalaman yang ingin belajar juga harus menempuh banyak rintangan agar mereka bisa sampai ke sekolah. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. 

Dalam daulah Islam, tentu ini menjadi perhatian serius oleh seorang Khalifah. Beliau wajib meriayah rakyatnya hingga tak ada lagi kesulitan. Bahkan Khalifah bisa turun langsung dalam menjalankan amanah berat ini. Tidak ada waktu istirahat selama rakyatnya masih ada yang mengeluh. Khalifah akan gelisah karena pertanggungjawabannya yang sangat berat jika ada rakyatnya nanti yang berdoa kepada Allah atas kezaliman yang terjadi.

Tentu pemahaman seperti ini tidak akan dimiliki oleh para pejabat di sistem kapitalis yang hanya mementingkan kenyamanan mereka sendiri tanpa memikirkan nasib rakyatnya. Bahkan hingga hilangnya nurani pada diri mereka tanpa peduli akibat selanjutnya.

Oleh karena itu, sudah terlihat jelas perbedaan antara Daulah Islam dan kepemimpinan saat ini. Alangkah indahnya jika semua umat Islam menyadari dan mau kembali lagi untuk menjalankan syariat Islam dengan sempurna agar daulah Islamiyah segera tegak. Dengan begitu, keselamatan dunia dan akhirat akan kita dapatkan.

Wallahu a'lam bish showab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar