Perselingkuhan Marak, Buah dari Kapitalisme yang Rusak


Oleh : Ummu Nida (Pengasuh Majelis Taklim)

Akhir-akhir ini, perselingkuhan semakin marak terjadi. Beritanya begitu menyita perhatian publik. Masyarakat bisa mengakses langsung baik melalui media elektronik maupun media sosial seperti FB, Instagram, Tiktok, hingga Youtube. Media tanpa filter, dengan bebas mempostingnya. Maraknya perselingkuhan ini hampir terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim.

Indonesia menjadi negara keempat di dunia dengan kasus perselingkuhan terbanyak. Peringkat pertama ditempati oleh negara India, Cina, dan Amerika Serikat. Hampir tiga perempat pria dan lebih dari dua pertiga wanita mengakui bahwa mereka telah berselingkuh. Pada awalnya, perselingkuhan dimulai dengan teman dekat atau rekan kerja. Ada beberapa alasan kenapa perselingkuhan terjadi di antaranya: 1. Ketidakpuasan dalam hubungan. 2. Kesenangan, hanya mencari kegembiraan atau sensasi. 3. Masalah dalam diri, seperti ketidakmampuan untuk mengendalikan keinginan atau dorongan seksual. 4. Kurangnya komitmen. (PikiranRakyat.com, 17/02/2023)

Menjamurnya perselingkuhan menandakan rapuhnya ikatan pernikahan dan bangunan keluarga. Memang benar ada banyak pemicu, namun tak bisa dipungkiri, ketertarikan secara fisik dan mencari kesenangan duniawi adalah faktor yang dominan. Kondisi ini adalah hal yang wajar terjadi, inilah buah diterapkannya sistem kapitalisme yang rusak di negeri ini. Manfaat dan kesenangan jasmani merupakan tujuan yang ingin dicapai. Ditambah lagi rendahnya keimanan, sehingga selingkuh dianggap sebagai salah satu solusi problematika yang dihadapi. Tidak jarang, perselingkuhan menjadi sebab kandasnya sebuah pernikahan.

Banyak faktor penyebab maraknya perselingkuhan dalam sistem yang tidak menerapkan aturan Allah Swt. seperti saat ini, di antaranya:

Pertama, hilangnya fungsi qawwamah (kepemimpinan) dari suami serta fungsi ummun wa rabbatul baiti (ibu dan pengurus rumah tangga) dari istri. Jika fungsi qawwamah telah hilang, memudarlah keinginan suami untuk melindungi dan memenuhi seluruh kebutuhan istrinya. Begitu juga ketika fungsi ibu dan pengatur keluarga hilang, ketaatan dan pelayanan kepada suami pun akan minimalis. Padahal, kedua hal inilah yang akan menghantarkan kepada ketenangan hubungan suami istri. Jika hal itu terjadi, maka peluang untuk terjadinya selingkuh dan mencari kebahagian di luar rumah sesuatu yang pasti akan terjadi.

Kedua, standar kebahagian dalam sistem kapitalisme sekuler adalah materi. Suami istri akan sibuk bekerja demi mendatangkan kebahagiaan, sekalipun harus menelantarkan anak dan menggeser fungsi rumah. Rumah yang semestinya menjadi tempat mengumpulkan pahala amal saleh bagi seluruh keluarga, malah menjadi tempat transit bagi suami istri untuk tidur dan istirahat setelah seharian bekerja di luar rumah.

Ketiga, sistem pendidikan sekuler semakin menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang benar dan kafah. Dari fakta ini lahirlah sebuah hubungan yang tidak sehat, minim komunikasi dengan pasangan, kurang rasa percaya terhadap pasangan yang semuanya bermuara dari lemahnya pegangan terhadap akidah dan kurangnya ilmu. Terlebih lagi, masyarakat saat ini hanya mengamalkan Islam sebatas ibadah ritual. 

Keempat, kondisi saat ini menjadi tempat yang subur untuk mengkondisikan selingkuh sebagai pilihan. Di antaranya, bebasnya sistem sosial/cara pergaulan, bebasnya media, serta gaya hidup liberal dan hedonis. Ditambah lagi pola lingkungan dan pergaulan yang tidak terjaga, misalnya lingkungan kerja. Kedekatan sering bersama, curhat masalah pribadi dan daya tarik karena naluri yang tidak mampu dikontrol menjadi fakta yang sering ditemui adanya perselingkuhan dalam lingkungan kerja.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan pernikahan sebagai ibadah bahkan perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) di hadapan Allah Swt. Karena itu, pernikahan bukan sebatas meraih kesenangan semata, namun ada tujuan mulia lainnya yang harus dijaga agar kehidupan masyarakat tetap dalam kemuliaan dan kesucian. Tujuan-tujuan itu adalah untuk melahirkan mawaddah dan rahmah juga melahirkan anak-anak saleh dan salehah yang berkepribadian Islam. 

Islam tidak hanya menjadikan keberlangsungan pernikahan wajib dijaga oleh pasangan suami istri saja, namun masyarakat juga punya kewajiban yang sama untuk menjaga kuatnya ikatan pernikahan dengan adanya amar makruf. Bahkan, Islam mewajibkan negara untuk menjaga kuatnya ikatan pernikahan melalui penerapan aturan dalam berbagai aspek yang terkait seperti sistem sosial, sistem pendidikan, sistem ekonomi, termasuk sistem kesehatan. Seorang khalifah akan memastikan seluruh hukum Islam diterapkan secara kafah tanpa ada pengecualian.

Dalam sistem pergaulan misalnya, Islam memerintahkan pria dan wanita menutup aurat, menahan pandangan terhadap lawan jenis, tidak berkhalwat, melarang wanita bersolek dan berhias di hadapan laki-laki asing (nonmahram), serta larangan ikhtilat. Islam juga membatasi kerja sama antara pria dan wanita dalam kehidupan umum sebatas kebutuhan yang diperbolehkan oleh syariat. Hubungan seksual antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Maka, jika ada yang melanggar, masyarakat akan melakukan amar makruf. Ketika masih terjadi pelanggaran, benteng terakhirnya adalah diberlakukannya sanksi. Karena, sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir).

Media dalam khilafah pun akan menjalankan fungsi edukasi pada masyarakat tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam di dalam negeri. Sehingga tidak dibenarkan media menayangkan hal-hal yang datang dari ide-ide sekuler, liberal, dan pemikiran lain yang bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, perselingkuhan yang marak saat ini hanya bisa dicegah dengan penerapan hukum Islam kafah oleh seorang khalifah. Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang bisa mewujudkannya bukan demokrasi atau bentuk yang lainnya yang hari ini diterapkan di berbagai negeri. Terbukti, khilafah pernah menjadi sebuah peradaban agung hampir 14 abad lamanya.

Wallahu a'lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar