Rantai Setan Budaya Kekerasan dalam Salahnya Sistem Kehidupan


Oleh : Apt. Riana Annisa N, S.Farm

Sederet kasus kekerasan yang dilakukan pemuda mencuat kembali akhir-akhir ini. Pertama, kasus penganiayaan secara brutal oleh Mario Dandy Satriyo (20) terhadap David (17) yang terjadi di sebuah perumahan di Pesanggarahan, Jakarta Selatan, Senin (20/2) sekitar pukul 20.30 WIB. (cnnindonesia.com, 25-02-23). Kedua, kasus percobaan pencurian dengan kekerasan dan atau penganiayaan yang diawali dengan membacok punggung korban dengan clurit yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh para pelaku. Polres Purwakarta mengamankan lima orang pelaku yang ternyata masih berstatus pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Purwakarta (jurnalpolri.com, 22-02-23)

Dua kasus kekerasan oleh para pemuda diatas hanya secuil fakta yang diberitakan media dan viral. Namun, sejatinya, kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat ibarat gunung es yang baru mencair ujungnya, kenyataan jauh lebih banyak dan beragam, baik dari sisi pelaku maupun jenis kasusnya.

Dalam kasus pertama, menurut pakar kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menyebutkan ada kemungkinan M bisa bertindak brutal karena memang selama ini dia terbiasa hidup penuh kemudahan dan tidak pernah ada di posisi hidup yang susah. Ini bisa menjadikan emosinya memuncak ketika dilanda masalah hingga menjadikan korban D sebagai pelampiasan. (video.kompas.com, 28-02-23)

Marak dan beragamnya kasus kekerasan yang dilakukan oleh pemuda ini sebetulnya bisa menjadi cermin bahwasannya ada yang salah dalam sistem kehidupan saat ini. Jika kita telusur dari sisi sistem pendidikan, sungguh telah nyata gagal membentuk anak didik yang beriman dan berakhlak mulia, sistem pendidikan yang berbasis sekulerisme hari ini menjadikan orientasi sekolah anak bukan tentang mencari ilmu tapi bagaimana bisa mencetak buruh terdidik dan menghasilkan uang.

Dalam lingkup keluarga, kaum ibu dipaksa berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja demi nafkah keluarga yang sejatinya ini telah mencabut eksistensi ibu sebagai pihak utama dalam melakukan pendidikan terhadap anak. Adapun para ayah dimandulkan perannya dengan persepsi bahwa tugas ayah hanya mencari nafkah dan berlepas tangan dalam pendidikan anak. Oleh karena itu, anak tumbuh tapi semakin rapuh, tidak punya daya juang  dan rentan alami krisis identitas dikemudian hari.

Kontrol sosial dalam masyarakat juga tidak berjalan karena sistem hidup sekuler kapitalisme menjadikan manusia bersikap individualis. Beratnya beban hidup dalam kapitalisme menjadikan setiap orang sibuk memikirkan dirinya sendiri sehingga acuh terhadap permasalahan sekitar.

Adapun negara yang seharusnya berperan sebagai benteng penjaga generasi muda juga ternyata mandul. Negara abai dalam memberikan pendidikan yang membentuk kepribadian pemuda yang kokoh. Bahkan justru menjauhkan agama dari kurikulum pendidikan. Sekularisasi pendidikan terus menerus terjadi tidak hanya di sekolah, tetapi juga madrasah. Para muda yang ingin belajar Islam kafah justru dilabeli radikal. Maka dari itu, bukannya menemukan jati dirinya sebagai hamba, para pemuda justru makin terjebak dalam budaya kekerasan. Mirisnya, upaya pemberian sanksi justru mentok pada batasan umur anak yang sampai 18 tahun. Remaja pelaku kekerasan pun tidak bisa diberi sanksi tegas, padahal mereka sudah balig.

Ibarat rantai setan yang saling mengeratkan, lemahnya peran keluarga membentuk pemuda tangguh, rusaknya masyarakat, dan negara yang abai dalam sistem pendidikan dan persanksian adalah buah dari sekulerisme, sistem kehidupan yang diadopsi hari ini.

Sekulerisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan, aturan agama hanya dikerdilkan untuk urusan personal sedangkan urusan kehidupan umum aturan yang dipakai berasal dari akal manusia yang terbatas. Ketika akal manusia dijadikan penentu hukum, tentu aturan yang terbentuk akan lebih condong dengan kepentingan manusia. Akibatnya solusi Islam tidak dipakai dalam menyelesaikan masalah generasi muda, mereka bahkan justru dijauhkan dari Islam.

Dalam rantai sekularisme, akal menjadi penentu benar dan salah, juga penentu baik dan buruk. Padahal, akal manusia sifatnya sangat terbatas, tidak bisa mengetahui hakikat kebenaran. Maka dari itu, asas kehidupan berupa sekularisme ini harus diputus dari pemikiran umat Islam. Kemudian mengadopsi sistem islam kaffah diatas asas yang sahih yaitu asas akidah Islam. 

Dalam sistem islam kaffah, masalah budaya kekerasan pada pemuda akan memiliki solusi yang komprehensif. Dari sisi sistem pendidikan akan dibangun dengan berasaskan akidah Islam dan bertujuan membentuk sosok berkepribadian Islam, yaitu menjadi pemuda yang memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Dengan output berkepribadian Islam ini, para pemuda akan menjadi orang-orang yang taat pada syariat dan jauh dari budaya kekerasan.

Dari sisi peran keluarga, akan direvitalisasi sebagai madrasah pertama bagi anak, begitupun peran masyarakat difungsikan sebagai pelaku amar makruf nahi mungkar. Ketika masih ada pemuda yang berbuat kriminal, jika dia sudah balig akan diberi sanksi tegas sesuai syariat.

Dengan solusi komprehensif yang ditegakkan dalam sistem islam kaffah ini, budaya kekerasan akan nihil dan potensi besar pemuda sebagai calon pemimpin masa depan tidak akan terbajak untuk hal yang merugikan masyarakat. Pemuda akan tampil sebagai problem solver bukan sebagai trouble maker. Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar