Rendahnya Kadar Kesehatan Mental Warga, Tanggung Jawab Siapa?


Oleh: Ziyan Saffana Erhaff

Sedih dan miris bila melihat berita yang terjadi sejak awal tahun baru, kita bisa melihat banyak kasus kejahatan remaja dan kasus bunuh diri yang bertubi-tubi. Bukan hanya remaja, namun kalangan mahasiswa hingga orang dewasa pun ikut menjadi pelakunya. Sebuah studi tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia bisa empat kali lebih tinggi dari angka resmi. Menurut beberapa ahli, kurangnya data menutupi skala sebenarnya dari masalah bunuh diri di Indonesia. Faktanya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bunuh diri adalah penyebab kematian tertinggi keempat bagi orang berusia 15-29 tahun secara global pada tahun 2019 (bbc.com). 

Faktor pendorong pelaku kasus bunuh diri memang terjadi karena banyak aspek penyebabnya.  Biasanya, berawal dari depresi yang tidak menemukan jalan keluar, baik karena masalah asmara, keluarga, ekonomi, kuliah atau pertemanan. Mengutip laman VOA, penyebab utama bunuh diri adalah kondisi depresi pada individu. Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius. WHO menyatakan bahwa depresi berada pada urutan nomor empat penyakit di dunia dan diprediksi akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama. Survei Kesehatan Jiwa Remaja Nasional Indonesia (I-NAMHS), survei kesehatan jiwa nasional pertama, pada Oktober 2022 merilis prevalensi gangguan jiwa di kalangan remaja usia 10-17 tahun di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami gangguan jiwa dan 1 dari 20 remaja Indonesia mengalami gangguan jiwa dalam 12 bulan terakhir. Pada saat yang sama, bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius saat ini. 

Menurut World Health Organization (2019), sekitar 800.000 orang di seluruh dunia meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Orang muda memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi. Di Asia Tenggara, angka bunuh diri tertinggi ada di Thailand sebesar 12,9 (per 100.000 orang), diikuti Singapura (7,9), Vietnam (7,0), Malaysia (6,2), Indonesia (3,7) dan Filipina (3,7). Perilaku bunuh diri (ide bunuh diri, perencanaan bunuh diri, dan perilaku bunuh diri) dikaitkan dengan berbagai gangguan mental, seperti depresi. Melihat fakta tersebut, apakah ini dikarenakan mental pemuda, remaja, dan orang-orang masa kini yang kian melemah? Atau karena kurang iman?

Ada istilah untuk orang dengan potensi memiliki keinginan bunuh diri yang disebut Orang dengan Kecenderungan Bunuh Diri (OKBD), dan itu proses yang panjang. Profesor Sofia Retnowati, Guru Besar Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada mengatakan, faktor pemicu seseorang melakukan bunuh diri antara lain faktor biologis, sosial, psikologis, dan budaya. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai dari tingkat religiusitas yang rendah, depresi, status sosial ekonomi yang buruk, penyakit kronis, usia lanjut, hingga penyalahgunaan alkohol dan narkoba (voaindonesia.com). 

Namun disamping itu pula, krisis identitas pada masyarakat saat ini memang melemah, termasuk mental mereka. Apalagi generasi muda saat ini, cenderung sulit mengontrol emosi. Sosoknya mudah depresi, pragmatis terhadap dinamika kehidupan, perjuangan hidupnya salah arah, bahkan mereka jauh dari karakter problem solver. Parahnya, mereka malah menjadikan bunuh diri sebagai solusi. Namun, mereka juga menolak jika disebut kurang iman dan minim daya juang. Padahal, jika mau jujur dan berpikir benar, tindakan bunuh diri memang nyata-nyata bukti rendahnya kualitas tawakal, alih-alih ada kesadaran kuat akan hubungan dengan Sang Khalik. 

Sebagai seorang muslim harus meyakini bahwa ketetapan Allah Ta'ala akan berujung pada kebaikan. Tindakan bunuh diri, dengan cara apa pun merupakan hal yang dilarang dalam Islam. Perilaku ini merupakan dosa besar. Allah Taala berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa [4]: 29). 

Kasus bunuh diri mencerminkan gangguan kesehatan mental warga, dan pelakunya berbeda usia. Ini adalah indikasi yang jelas dari mentalitas yang tidak teratur dalam masyarakat. Jelas, ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari kurangnya waktu untuk pelajaran agama, kurikulum yang dipertanyakan, hingga pola asuh yang salah, membuat generasi ini rentan. Semuanya bermuara pada institusi dan penguasa yang buruk yang mengabaikan rakyat. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat terbaik bagi anak-anak membangun kepribadiannya, malah menjadi tempat perundungan dan tawuran merajalela. Padahal, korban perundungan sangat rentan terkena gangguan mental. 

Sistem pendidikan berasaskan sekularisme juga terbukti menjauhkan anak-anak dari agamanya. Sudahlah jam pelajaran agama hanya sedikit, ditambah dengan program moderasi yang terus ditancapkan. Semua ini tentu dapat memburamkan ajaran Islam yang sesungguhnya, padahal agama adalah pedoman hidup manusia. Belum lagi sistem sosial yang disetir kapitalisme telah nyata menciptakan kerusakan pada manusia. Kehidupan liberal yang serba bebas menjadikan manusia merasa bisa berbuat semaunya. Tidak peduli perbuatannya menzalimi sekitar atau tidak, atas nama HAM, perbuatan itu akan terus dilakukan selama merasa puas dan bahagia. Belum lagi latar belakang keluarga yang tidak harmonis, akibat ekonomi misalnya. Kesejahteraan masayarakat pun tidak terayomi. Semua itu adalah konsekuensi diterapkannya kapitalisme dalam seluruh kehidupan, termasuk bernegara. Artinya, seluruh faktor yang mendukung terwujudnya gangguan mental di kalangan remaja sejatinya berpangkal dari penerapan kapitalisme. 

Disadari atau tidak, kapitalisme telah menjadi platform penguasa dalam mengatur rakyatnya. Kebijakan yang ditetapkan dalam upaya menyelesaikan persoalan gangguan mental pada remaja nyatanya mandul karena tidak menyentuh akar persoalan. Masalah-masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan sebatas konseling atau bahkan perdamaian saja. Oleh karenanya, sudah seharusnya upaya penuntasan masalah kesehatan mental dimulai dari mencermati sekularisme-kapitalisme sebagai akar masalah yang membuat sisi kejiwaan seseorang makin rapuh. Tidak hanya pada subjek pemuda, melainkan semua elemen masyarakat. 

Dalam pandangan politik Islam, negara yang menerapkan sistem Islam kafah akan meminimalkan dan menghilangkan segala hal yang bisa menyebabkan rakyatnya mengalami gangguan mental. Upaya-upaya tersebut meliputi berbagai aspek. Dalam aspek pendidikan, kurikulum pendidikan dari level TK hingga perguruan tinggi berasaskan pada akidah Islam dan bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam yang kuat dan keterampilan hidup yang mendukung pada kemaslahatan umat. Dalam aspek ekonomi, negara Islam akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Dalam aspek pergaulan, negara akan menciptakan suasana pergaulan yang aman dari segala bentuk kemaksiatan sesuai dengan aturan Islam. Disamping itu, negara tetap akan melakukan rehabilitasi medis dan nonmedis terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental, demi menjaga mental masyarakat. 

Maka diri sini jelas, sistem dan negara sekuler telah melakukan kesalahan besar, karena aturan hidup menimbulkan segala macam kebusukan, menciptakan suasana negatif, menyebabkan rendahnya kesehatan mental, dan sekaligus menyebabkan tingginya angka bunuh diri. Kapitalisme gagal memberikan kebahagiaan dan kemakmuran sejati. Dari sini bisa disimpulkan bahwa negara sangat berperan penting, dan bertanggung jawab terhadap segala aspek urusan masyarakatnya, termasuk menjaga kesehatan mental masyarakat.[]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar