Siapa yang Mampu Menghilangkan Perbedaan Besaran Zakat Fitrah?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Alhamdulillah kita dipertemukan kembali dengan bulan mulia, bulan penuh keberkahan. Dialah bulan Ramadhan. Hasil Ru'yat hilal Global yang disiarkan secara langsung di channel  youtube pada selasa, 21 Maret 2023 tidak terlihat hilal, maka Sya'ban di genapkan 30 hari dan 1 Ramadhan jatuh pada kamis, 23 Maret 2023.

Berbeda dengan penetapan 1 Ramadhan yang harus menunggu munculnya hilal, besaran zakat fitrah telah lebih dulu ditetapkan BAZNAS. Hal demikian memang sudah menjadi agenda tahunan BAZNAS. Menurut Ketua  BAZNAS Sumedang, Ayi Subhan Hafas, Dengan ditetapkannya besaran nilai zakat fitrah dan fidyah ini, diharapkan dapat mempermudah umat muslim di wilayah Kabupaten Sumedang dalam menunaikan kewajiban zakat fitrah dan fidyah pada bulan Ramadhan tahun 1444 H./2023 M. BAZNAS Sumedang sendiri menetapkan besaran zakat fitrah Rp. 32.500 per jiwa. Lain halnya dengan BAZNAS Subang yang menetapkan besaran zakat fitrah Rp. 35.000 per jiwa, BAZNAS Tangerang Rp. 45.000 per jiwa. (sumedangonline.com, 03/2023).

Perbedaan ini terjadi karena dipengaruhi oleh perbedaan nominal uang tiap daerah. Juga perbedaan dalam mengartikan 1 sha'. Berdasarkan keterangan K.H Zaini Naim menurut mazhab Maliki, satu sha' sama dengan empat mud, dan satu mud itu sama dengan 675 gram. Jadi satu sha' setara dengan 2.700 gram atau 2,7 Kg. Sedangkan menurut pendapat mazhab Syafi'i, 1 sha' itu sama dengan 2.751 gram (2,75 Kg). Dan menurut pendapat mazhab Hambali, ukuran 1 sha' itu sama dengan 2,2 Kg. Menurut mazhab lainnya, yakni mazhab Hanafi, ukuran 1 sha' jauh lebih tinggi, yaitu 3,8 Kg. Sehingga ulama Indonesia menetapkan jalan tengahnya, yakni 1 sha' adalah 2,5 Kg. Tapi tetap setiap daerah bebas menentukan mau memegang pendapat yang mana. Contoh di Sumedang, berpatokan 1 sha' sama dengan 2,5 Kg sehingga jika diuangkan dengan harga beras premium Rp. 12.500/Kg maka besaran zakat fitrah Rp. 32.500. Sedangkan di Subang dengan harga beras yang sama, karena berpatokan 1 sha' sama dengan 2,8 Kg maka besaran zakat fitrah Rp. 35.000.

Terlepas dari perbedaan tersebut, ketiga mazhab yaitu Maliki, Syafi’i dan Hambali berdasarkan hadits menekankan bahwa zakat fitrah tidak boleh diganti dengan menggunakan uang, melainkan harus berupa makanan yang kita makan sehari-hari. Untuk di Indonesia umumnya adalah beras. Yang membolehkan zakat menggunakan uang hanya mazhab Hanafi. Anehnya di Indonesia sendiri pada umumnya mengaku bermazhab Safi'i.

Tidak familiarnya masyarakat dengan ukuran 1 sha' dan ketidak mauan direpotkan oleh perhitungan tersebut, menjadikan masyarakat juga penguasa memilih pembayaran zakat fitrah dengan menggunakan uang. Apalagi ditambah dengan dalih bahwa yang berhak mendapatkan zakat fitrah tidak hanya butuh beras, bahkan ada anggapan lebih membutuhkan uang daripada beras. Karena uang bisa digunakan untuk membeli kebutuhan lain yang lebih mendesak. Membeli bahan takjil, membeli bahan kue lebaran, baju lebaran, dan barang-barang lain yang dianggap lebih penting jika boleh dibilang "mendadak penting"

Ini terbukti dengan adanya Surat Keputusan  (SK) penentuan besaran zakat fitrah setiap tahunnya oleh BAZNAS. Padahal besaran zakat fitrah tidak pernah berubah dari sejak awal ditetapkannya yaitu sebesar 1 sha' makanan. Dan itu sama di seluruh negara Islam, karena saat itu seluruh kaum muslim berada di bawah satu pemimpin yang mampu menyatukan seluruh kaum muslim yang tersebar di hampir di dua pertiga dunia.

Berbeda halnya dengan saat ini, kaum muslim tersekat oleh perbedaan wilayah, negara, propinsi, bahkan kabupaten yang menjadikan keragaman aturan. Dan itu bukan hanya dalam penentuan besaran zakat fitrah, namun di banyak hal lain pun berbeda. Penentuan awal dan akhir Ramadhan yang setiap tahunnya selalu menjadi perdebatan. Bahkan seolah sudah menjadi pandangan biasa ketika di suatu wilayah sudah melaksanakan shalat Idul Fitri, sedang di wilayah lain masih berpuasa. Padahal berada di satu negara yang sama, satu propinsi yang sama, dan satu kabupaten yang sama.

Jika dibiarkan, perbedaan ini akan menjadikan semakin dalamnya jurang pemisah antar umat muslim itu sendiri. Maka lahirlah pribadi muslim yang individualis, enggan peduli pada muslim yang lain karena dianggap berbeda. Dan hal inilah yang menjadikan kaum muslim ibarat buih di lautan, banyak tapi tidak memiliki kekuatan. Kemana arah angin membawa, maka ke sanalah buih pergi. Begitupun apabila ada hentakan gelombang, maka seketika buih itu berhamburan.

Sunggun sangat disayangkan. Padahal umat Islam adalah umat terbaik, sebagaimana firman Allah SWT.  dalam QS Ali Imran: 110,
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّا سِ تَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَا نَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَ كْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik."

Ajaran Islam  pun mampu menjadi rahmat bagi sekalian alam. Sistem ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. adalah sistem yang membawa bahagia bagi manusia seluruhnya dan memimpinnya kepada kesempurnaan yang telah dijangkakan baginya dalam hidup ini. Fungsi zakat fitrah itu sendiri adalah sebagai bukti kepedulian umat Islam kepada sesama. 

Tapi mengapa harus berbeda? Padahal memiliki satu tujuan yang sama, yaitu meraih ridha Allah. Apakah Allah ridha melihat kita umat Islam bercerai-berai? Bukankah umat Islam itu bersaudara, dan keberadaannya ibarat satu tubuh yang apabila satu bagian tubuh merasa sakit maka bagian lain ikut merasakannya? Tidak inginkah kita seperti umat lain yang merayakan hari raya serentak di hari yang sama di seluruh dunia? Lantas bagaimana caranya agar kaum muslim di seluruh dunia dapat bersatu dalam penentuan besaran zakat fitrah, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha di hari yang sama? Bagaimana menyatukan umat Islam agar seperti satu tubuh yang utuh? 

Rahmat bagi alam semesta akan terwujud dengan menegakkan apa-apa yang diemban oleh Rasulullah saw., yakni akidah dan syariat Islam dalam kehidupan secara utuh dan menyeluruh. Saat itulah kebahagiaan hidup dinikmati oleh seluruh umat manusia, apa pun agamanya. Rasulullah Saw. bukan hanya seorang Nabi dan Rasul, beliau juga adalah pemimpin negara Islam yang kemudian diteruskan oleh para Khalifah sehingga umat Islam di seluruh dunia dapat disatukan di bawah naungannya. Sebab kaidah syarak menyatakan, “Amrul imaam yarfaul khilaf,” perintah seorang imam/pemimpin akan menghilangkan perbedaan/perselisihan. 

Maka perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan, penentuan Idul Fitri dan Idul Adha, juga besaran zakat fitrah dapat teratasi ketika umat memiliki satu kepemimpinan yang sama agar hanya ada satu perintah, hanya ada satu SK. Dialah Khalifah, seorang pemimpin negara Islam yang akan menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum Islam. Yang tidak akan membeda-bedakan rakyatnya berdasarkan wilayah maupun golongan. Yang akan membimbing rakyatnya meraih ridha Allah. Terlebih, Allah memang menjadikan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha sebagai simbol kesatuan umat Islam. Pertanyaan selanjutnya, maukah kita mewujudkannya? 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar