Oleh : Ummu Niki
Tepat pukul 04.17 waktu setempat atau 08.17 WIB pada Senin (6-2-2023) terjadi gempa yang berpusat di wilayah Kahramanmaras, Provinsi Gaziantep, Turki bermagnitudo 7,8. Menurut Survei Geologi Amerika Serikat, gempa ini juga dirasakan di Siprus, Mesir, Israel, dan Lebanon.
Gempa kedua berkekuatan 7,5 M melanda Turki tenggara sekitar sembilan jam kemudian, di tengah puluhan gempa susulan. Menurut Chris Elders dari School of Earth ia mengungkapkan gempa ini amat dahsyat dan menghancurkan karena kedalamannya hanya 18 km dari permukaan bumi atau sangat dangkal.
Selain itu, gempa juga dilaporkan terasa sampai Suriah. Hingga berita ini disusun, lebih dari 4.300 jiwa meninggal dunia. Menurut Kepala Dinas Bencana Turki, Yunus Sezer, di Turki, setidaknya 2.921 orang tewas dan lebih dari 15.800 lainnya terluka. Di negara tetangga Suriah, setidaknya 1.451 orang tewas dan 3.500 terluka.
Turki sendiri, secara geografis menjadi wilayah yang rawan gempa. Hal ini karena Turki dilewati lempeng Anatolia. Pergerakan di Patahan Anatolia Timur ini yang diyakini menjadi pemicu gempa bumi dahsyat yang terjadi Senin kemarin. Gempa seperti ini pernah terjadi pada 1939.
Tiga hari setelah gempa Turki, Indonesia juga mengalami hal serupa. Di Kota Jaya Pura, Papua, gempa berkekuatan 5,4 SR menyebabkan 2.136 jiwa mengungsi, satu meninggal dunia, dan merusak 55 bangunan.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan alasan lebih dari 1.000 gempa bisa menggoyang Jayapura, Papua. Sebelumnya, gempa dengan magnitudo 5,4, yang kemudian diperbarui jadi 5,2, mengguncang sekitar Jayapura, Papua, Kamis (9/2) pukul 13.28 WIB. (Jakarta, CNN Indonesia).
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers daring, Kamis sore, mengungkapkan "sudah ada setidaknya 1.079 gempa pada periode 2 Januari hingga hari ini, di Jayapura, Papua.. Kejadian gempa yang sudah terjadi di wilayah Jayapura sudah begitu seringnya akibat dari kondisi batuan yang ada di wilayah tersebut tipe batuan rapuh, sehingga mengakibatkan sangat sensitif bergetar. Kedalaman gempa bumi ini relatif dangkal, di mana pembentukan batuan itu tidak sekompak pada kedalaman puluhan hingga ratusan kilometer. Sehingga sangat mudah dengan pergerakan itu sangat mudah mengalami getaran-getaran tadi", jelas Dwikorita.
Antisipasi Negara
Gempa bumi terjadi akibat pergeseran/gesekan lempeng bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. Islam memandang ini adalah ketetapan Allah Taala yang tidak dapat dielak. Akan tetapi, manusia diberi karunia berupa akal untuk dapat mengantisipasinya, yaitu menyiapkan hal-hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan kerusakan dan jumlah korban gempa.
Salah satu upayanya adalah membuat bangunan tahan gempa, terutama sarana milik umum. Penataan tata kota khusus wilayah rawan gempa juga diperlukan agar jika terjadi gempa, rakyat bisa lari ke tempat yang aman.
Pemerintah juga perlu menyiapkan dana besar untuk menanggulangi jika gempa terjadi. Persiapan itu wajib dilakukan oleh pemerintah karena mereka adalah pelayan dan pelindung rakyat. Mereka wajib mengayomi dan memastikan bahwa rakyatnya bisa aman. Itu karena pemimpin bagai penggembala sebagaimana hadis, “Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Persiapan semacam ini juga butuh dana besar dan negara wajib menyiapkannya. Sayangnya, keuangan negara-negara saat ini lemah. Sistem ekonomi kapitalisme membuat negeri-negeri muslim tidak mampu berbuat apa-apa. Sumber keuangan hanya bertumpu pada pajak dan utang, bukan dari pengelolaan SDA atau sumber lainnya (kharaj, jizyah, fai, dan ganimah) sebagaimana aturan Islam. Walhasil, negara tidak siap menghadapi bencana besar dan menunggu uluran tangan pihak lain untuk memperbaiki keadaan.
Pemerintah memang telah menetapkan aturan pembangunan gedung tahan gempa, tetapi pihak kontraktor banyak yang tidak mematuhinya. Bangunan tahan gempa itu mahal. Rakyat mana mampu membayar? Jadi, agar rakyat bisa beli hunian, mereka membuat bangunan biasa untuk bisa mendapatkan keuntungan. Inilah wajah kapitalisme, semua bernilai kapitalistik. Apa pun dilakukan demi mencari untung meskipun harus membahayakan nyawa banyak orang.
Kejadian penanganan di Suriah seharusnya membuat orang berpikir betapa sekat nasionalisme dan titah AS lebih didengar daripada jeritan saudara muslim di sana. Kala mereka butuh bantuan segera, masyarakat dunia justru sulit memberikan pertolongan karena terhalang masuk akibat sanksi embargo tadi.
Nasionalisme pun berhasil mendirikan sekat tembok raksasa. Suatu negara akan lebih mementingkan menyelamatkan penduduknya terlebih dahulu daripada penduduk negara lain, meski mereka adalah kaum muslim. Tersebab itulah, bisa kita katakan negara tidak mampu mengayomi dan memberikan pelayanan keamanan yang layak.
Jika semua kesulitan ini terjadi karena dominasi asing dan sekat nasionalisme, tentu satu-satunya cara agar bantuan bisa segera tersalurkan adalah menghilangkan kesulitan itu. Caranya adalah seluruh negeri muslim bersatu untuk mematahkan pengaruh asing atas dunia Islam. Mereka harus berani melawan asing yang memusuhi Islam.
Persatuan negeri muslim ini secara otomatis akan menghapus sekat nasionalisme. Dengan begitu, umat Islam benar-benar akan menjadi satu tubuh dan bisa saling menguatkan. Bersatunya kaum muslim ini tidak akan mungkin, kecuali ada institusi yang menyatukan. Institusi ini adalah Khilafah.
Khalifah mampu menjalankan peran penggembala dan paham akan perannya, yaitu mengurusi kebutuhan rakyat. Khilafah dengan sistem perekonomiannya akan membangun perekonomian yang kuat. Dengan begitu, ia mampu membiayai pembuatan bangunan, termasuk bangunan dengan struktur tahan gempa.
Pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, bangunan-bangunan umum didirikan menggunakan teknologi tahan gempa. Oleh karenanya, beberapa bangunan tidak roboh meski dilanda dua kali gempa besar.
Pada masa sekarang, teknologi jauh lebih maju. Seharusnya, ini dapat membantu manusia untuk menjalankan amanahnya, yaitu melindungi umat. Struktur bangunan tahan gempa ini sangat diperlukan, terutama di wilayah yang terindikasi rawan gempa, misalnya Turki dan Indonesia.
Bagi wilayah tidak berdampak gempa, khalifah akan mengomando rakyat untuk bahu-membahu menolong, baik terhadap muslim maupun nonmuslim. Ini pernah dicontohkan pada masa Umar bin Khaththab saat terjadi bencana kelaparan. Sang Khalifah Umar mengirim surat kepada Gubernur Mesir, saat itu pula sang Gubernur mengirimkan bantuan makanan dan lain-lain.Sungguh, Khilafahlah yang dapat mempersatukan negeri-negeri muslim dan mengalahkan dominasi asing. Jika kaum muslim menginginkan negara yang dapat menjadi pelayan keamanan dan menyiapkan tanggap bencana terbaik, Khilafah jawabannya.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar