Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Ramadhan menjelang pergi mengiringi para pemudik melepas rindu. Rindu kampung halaman, rindu tanah kelahiran. Rindu sesama insan. Seorang ayah yang rindu istri dan anak-anaknya. Seorang ibu yang rindu anak dan suaminya yang terpaksa ditinggalkan dan memilih bekerja nun jauh di sana karena sulitnya ekonomi. Seorang anak yang rindu orang tuanya. Juga kerabat lainnya. Seharusnya rindu itu dirasakan semua orang.
Tapi kenyataannya tidak. Dilansir dari Republika, (09-04-2023), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengatakan, dari awal 2023, telah terjadi dua kasus bayi yang dibuang oleh orang tuanya di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kasus pertama, seorang balita yang dibuang dan kini sudah dikembalikan kepada orang tuanya yang belum berstatus menikah. Kasus kedua adalah bayi yang dibuang di kardus yang kini masih dalam penyelidikan kepolisian. Itu baru tahun ini, belum tahun-tahun sebelumnya. Dan itu hanya di Banjarmasin, belum di kota-kota yang lainnya. Bukankah itu menunjukkan tidak adanya kerinduan dari orangtua kepada anaknya?
Kemen PPPA mengatakan, kasus penelantaran bayi ini adalah gambaran nyata masih adanya pengasuhan tidak layak anak di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan sinergisitas berbagai pihak untuk memberikan gambaran edukasi reproduksi kepada anak dan remaja serta edukasi ketahanan keluarga bagi calon orang tua. Pencegahan ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030.
Kepada antaranews.com, (14.04.2023), Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPKBPM) Kota Banjarmasin M. Helfiannor menyampaikan, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di kotanya terungkap makin tinggi dengan 156 kasus pada 2022. Tingginya pengungkapan kasus kekerasan anak dan perempuan ini karena masyarakat sudah makin berani melapor.
"Jadi bukan salah pemerintah kota kenapa makin tingginya kasus kekerasan anak dan perempuan setiap tahunnya, tapi karena masyarakat makin berani melapor. Sehingga, adanya kasus kekerasan anak dan perempuan, seperti pelecehan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak disembunyikan lagi, lantaran takut kekerasan bisa berlanjut atau karena akan jadi aib. Jadi masyarakat atau korban sadar harus lapor ke pihak berwajib atau instansi pemerintah yang berwenang agar mendapatkan perlindungan dan penanganan kasusnya. Untuk kasus tahun 2022 itu, yakni, kekerasan terhadap anak mencapai 100 kasus dan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 52 kasus. Yang menjadi kasus perhatian juga saat ini terkait kasus penelantaran anak atau orang tua yang tidak bertanggungjawab membuang anaknya karena dari hubungan gelap. Pihak kami kini menurunkan satgas, termasuk meningkatkan sosialisasi agar menghindari pergaulan bebas," kata Helfiannor.
Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang rindu suasana aman dan nyaman dari efek pergaulan bebas. Rindu terbebas dari pelaku kekerasan anak dan perempuan yang berakibat penelantaran terhadap anak. Meski lagi-lagi solusi yang diambil tidak dapat menyelesaikan masalah sampai ke akar. Baru seputar sosialisasi, bukan aksi. Semestinya kita kencangkan aksi agar rindu ini segera terobati.
Dari satu masalah ini saja, bercabang dilema yang merindui. Di satu sisi ada anak yang merindukan kasih sayang orangtuanya, sementara orangtua si anak merindukan kebebasan bergaul (kumpul kebo), bebas dari tanggungjawab. Dan di sisi yang lainnya lagi ada aparat yang merindukan kebebasan tanggungjawab meri'ayah rakyatnya. Hanya saja obat rindu yang kitu belum mereka temukan. Atau sudah menemukan tapi enggan melepaskan berbagai kenikmatan dari kebebasan?
Nyatanya, anak yang merindu tadi sudah dikembalikan kepada orang tuanya yang belum berstatus menikah. Konseling seperti apa yang akan diberikan pada mereka? Menikah saja tidak, sedangkan diduga kuat anak hasil perzinahan tersebut tidak diinginkan keberadaannya. Yakin anak tadi dapat mengobati rindunya?
Lalu bagaimana dengan pergaulan bebas yang dilakukan orangtuanya, dan orang-orang perindu kebebasan lainnya yang jumlahnya sangat banyak tanpa pandang usia? Apakah dengan sendirinya akan hilang? Satu anak korban penelantaran terselamatkan, jutaan anak lain merindu uluran tangan. Jika hal ini terus terulang, kapan rindu suasana aman dan nyaman dapat terobati?
Dampak pergaulan bebas bukan hanya pada penelantaran anak, tetapi juga pada angka aborsi yang tinggi yang ini pun menyebabkan pada tingginya angka kematian ibu (AKI). Belum lagi persoalan kesehatan, sebab perilaku seks bebas menjadi faktor terbesar penyumbang HIV/AIDS. Pergaulan bebas juga dekat dengan narkoba, miras, judi, dan kemaksiatan lainnya.
Meski sudah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tapi keberadaannya malah seolah melegalkan perzinaan dengan adanya sexual consent. Jikapun kena hukuman, hukuman pezina sangat ringan, yaitu maksimal setahun penjara. Begitu pun pelaku aborsi, maksimal 10 tahun penjara. Tidak heran jika perindu pergaulan bebas meningkat dahsyat.
Pergaulan bebas lahir dari kehidupan yang sekuler, yaitu terpisah dengan ajaran agama. Kehidupan yang seperti ini meniscayakan kehidupan yang serba bebas, liberal. Manusia dianggap bebas berbuat sesuatu tanpa ada ikatan apa pun, termasuk dengan agama. Manusia bebas mengejar apa pun yang mereka inginkan, tidak peduli entah dapat menjerumuskannya pada kemaksiatan ataupun kemudaratan pada sesama. Lalu kemanakah hendak dilabuhkan kerinduan ini?
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Aturannya yang komprehensif mampu menyelesaikan seluruh persoalan manusia, termasuk persoalan penelantaran anak. Ada empat ajaran Islam yang dapat mengobati kerinduan ini dengan tuntas. Pertama, larangan perzinaan yang telah jelas Allah Swt. sampaikan dalam firman-Nya,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32).
Berdasarkan larangan ini, peredaran film atau konten apa pun yang berbau pornografi akan dilarang karena dapat mengantarkan kepada perzinaan. Seberapa besar pun keuntungan dari bisnis pornografi, industri ini tetap tidak diperbolehkan berdiri. Islam juga melarang laki-laki dan perempuan nonmahram untuk berdua-duaan (khalwat), kecuali ada alasan syar'i dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Jika alasannya curhat dan yang lainnya tidak ada tawar-menawar. Meski dengan alasan hanya teman biasa, lebih dari biasa, maupun luar biasa. Apalagi status pacar.
Islam pun melarang para perempuan membuka auratnya karena dapat menstimulus syahwat. Islam akan benar-benar memperhatikan kehormatan perempuan dengan mewajibkannya menutup aurat secara sempurna, bukan malah diperkarakan (ingat kasus seragam sekolah muslimah).
Kedua, Islam mewajibkan negara untuk memupuk keimanan dan ketakwaan pada diri rakyatnya sejak dini. Sistem pendidikan akan berbasis pada akidah sehingga anak didik akan terbentuk kepribadian Islamnya, berpola pikir dan sikap yang lurus, yaitu Islam. Begitu pun sistem media, akan dipenuhi dengan edukasi, bukan bisnis pornografi.
Ketiga, bukan hanya tindakan preventif pencegahan, Islam pun memiliki cara kuratif dalam menyelesaikan persoalan ini, yaitu dengan menghukum berat para pezina berupa jilid atau rajam bagi pezina laki-laki atau perempuan.
Keempat, untuk melindungi rakyatnya, negara akan menghukum berat bagi siapa saja yang menyebarkan paham sesat, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, pluralisme, termasuk yang mempropagandakan pelegalan seks.
Demikianlah kesempurnaan Islam dalam mengatur umat manusia. Dengan aturan yang menjerakan bagi pelaku perzinaan, angka perzinaan akan menurun dan secara otomatis akan mengurangi kasus penelantaran anak. Ditambah ajaran mengenai keluarga bahwa anak adalah amanah orang tuanya sehingga tidak akan ada seorang ibu yang tega membuang anak-anaknya. Hanya dengan Islam semua rindu akan terobati, termasuk rindu akan mendapat ridha- Nya. Mari bersama-sama kita menjemputnya.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar