Alih Fungsi Lahan Pertanian, Benarkah untuk Kepentingan Rakyat atau Korporat?


Oleh: Dhini Islamuddin

Pendahuluan

Lahan pertanian di NTB dari tahun ke tahun jumlahnya semakin menurun. Karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang tidak dapat dihindari, terutama untuk pembangunan pemukiman atau perumahan, gudang, pabrik dan bendungan (Inside Lombok, 2023). 

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB, peruntukkan alih fungsi lahan sawah di NTB, khususnya Pulau Sumbawa sebagai berikut, Kabupaten Sumbawa seluas 3.794,30 hektare (Ha), Kabupaten Bima seluas 2.958,50 Ha, Kabupaten Dompu seluas 1.668,40 Ha. Kemudian, KSB dan Kota Bima masing-masing seluas 607,60 Ha dan 395,10 Ha. Kemudian di Pulau Lombok, wilayah tertinggi alih fungsi lahan adalah Kota Mataram 638,10 Ha, Kabupaten Lombok Barat 1.624,80 Ha, Kabupaten Lombok Tengah 3.118,59 Ha, Kabupaten Lombok Utara 5.061,50 Ha dan Lombok Timur 6.891,20 Ha.


Alih Fungsi Lahan Demi Kepentingan Kapitalistik

Jika menelusuri tentang UU Cipta Kerja, dilihat dari substansi setidaknya ada 22 UU terkait agraria, petani, nelayan, masyarakat adat, usaha tani skala kecil yang diangkat UU Cipta Kerja untuk dirubah demi kepentingan investasi skala besar seperti pembangunan infrastruktur, kepentingan umum menurut UU No 12 tahun 2012, kawasan ekonomi khusus, proyek strategis nasional, pariwisata, dsb. 
 
Sejak tahun 2017  UU Cipta Kerja sudah diwacanakan yakni Menteri ATR/BPN disalah satu media pernah mengeluarkan pernyataan bahwa investor masih mengeluh karena sulit memperoleh sawah di Indonesia. Kemudian disusul oleh rilis Kemenko Perekonomian salah satu hambatan investasi dan berbisnis di Indonsesia itu adalah 44% disebabkan oleh proses pengadaan lahan. Jadi para investor, para pebisnis, badan usaha skala besar itu mengeluh. Ketika pemerintahan SBY juga membangun argumentasi semacam itu bahwa investor sulit mendapatkan tanah, mangkrak pembebasan lahannya karena menuai banyak protes ditingkatan lapangan. Inilah yang mendasari lahirnya UU N0 2 Tahun 2012 dimasa peemrintahan SBY sekarangpun diubah di dalam UU Cipta Kerja. Orientasi UU Cipta Kerja sejak awal ialah untuk memperluas investasi skala besar. 

Betulkah investor/badan usaha skala besar sulit memperoleh tanah di Indonesia? Kenapa sejak pemerintahan SBY sampai sekarang argumentasi tersebut selalu disuarakan. Tetapi kesulitan petani mendapatkan tanah tidak pernah disuarakan. Kalau kita lihat data-datanya misalnya kita mengambil contoh bagaimana ekspansi perkebunan kelapa sawit ini hanya baru komoditas saja tidak terlihat sulit investor dibidang perkebunan memperoleh tanah bahkan ini diambil dari rilis resmi pemerintah, sawit hingga 2019 itu sudah mencapai 16,3 juta Ha. Bahkan ada banyak regulasi yang memberikan keistimewaan kepada para investor.  

Indonesia sudah memiliki UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk menjaga luas lahan pertanian. Akan tetapi, regulasi ini mandul di tengah deru industrialisasi dan pembangunan. Arah pembangunan yang kapitalistik menjadikan para pejabat mudah memberikan izin alih fungsi lahan. 
Ancaman penggusuran lahan sawah semakin nyata dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Bahkan, semakin besarnya alih fungsi lahan sawah setelah implementasi UU Cipta Kerja sudah diprediksi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sebelum UU Cipta Kerja ini terbit sudah ada indikasi penurunan lahan sawah 150 ribu hektare (Ha) per tahunnya. Dengan UU ini tentu saja alih fungsi lahan semakin besar lagi karena banyak sekali PSN (Proyek Strategis Nasional) dan kepentingan umum yang dibangun di sawah. Pakar Pertanahan dari Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengamini bahwa sejak awal UU Cipta Kerja memang diniatkan untuk mempermudah konversi lahan sawah menjadi non sawah, mulai dari perumahan, kawasan bisnis, perkotaan baru, dan sebagainya.

Pembiaran masifnya alih fungsi ini menunjukkan rendahnya keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian. Padahal, pertanian adalah sektor strategis dalam sebuah negara. Pertanian merupakan kunci terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan, sedangkan ketahanan dan kemandirian pangan merupakan hal mutlak dalam mewujudkan kedaulatan negara. Sebuah negara yang diserang secara militer dari luar akan bisa bertahan jika memiliki cukup makanan di dalam negeri. Lain halnya jika negara itu tergantung pada impor, begitu pasokan pangan dari luar diputus, pertahanan negara akan goyah.


Petani Sejahtera dalam Khilafah

Semua itu tentu butuh anggaran besar. Namun, Khilafah mampu memenuhinya karena Islam menggariskan ada banyak pos pemasukan negara yang bisa digunakan untuk mendanai pembangunan, termasuk sektor pertanian.

Pasal 149 dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustûr menjelaskan tentang sumber-sumber pemasukan tetap untuk Baitulmal, “Pasal 149: Sumber pemasukan tetap Baitulmal adalah fai‘, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz, dan zakat. Harta-harta ini diambil secara kontinu (tetap), sama saja apakah ada keperluan atau tidak.” Pos-pos pemasukan tersebut, selain harta zakat, bisa digunakan sebagai anggaran pertanian.

Dengan berbagai kebijakan holistik tersebut, Khilafah mampu mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan. Para petani pun akan tersenyum semringah karena menikmati kesejahteraan yang selama ini mereka impikan.

Khilafah juga telah membuktikan keberhasilannya dalam mengoptimalkan pertanian. Berabad-abad yang lalu, Khilafah berhasil melakukan revolusi pertanian. Berbagai penemuan pada masa itu sukses meningkatkan hasil panen hingga 100%.  Pada saat itu, Khilafah menjadi yang terdepan dalam hal pertanian. Ketika Khilafah tegak untuk kedua kalinya nanti, insyaallah kecemerlangan pertanian akan terwujud kembali, termasuk di negeri kita ini. Wallahualam. 





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar