Oleh : Honesta Jocelyn (Pengajar)
Setelah 3 tahun masyarakat global menghadapi kondisi mencekam akibat merebaknya virus covid-19, kini WHO secara resmi mencabut status darurat covid-19 per tanggal 5 Mei 2023. Pencabutan ini memiliki arti bahwa setiap negara diberi kebebasan untuk menanggulangi virus covid-19 sesuai dengan politik negara tersebut. Kabar pencabutan status tersebut seperti memberikan kelegaan bagi masyarakat dunia.
Namun bagaimana dengan munculnya covid-19 subvarian omicron XBB 1-16 atau Arcturus yang telah terdeteksi sebanyak 7 kasus di Indonesia. COVID Arcturus diketahui muncul pertama kali di India pada Januari 2023 dan telah menyebar ke 29 negara. Di negara asalnya, persentase kematian meningkat menjadi 17% dari kasus yang diketahui.
Menurut data yang terkumpul, sejak virus covid-19 muncul pada Maret 2020 virus ini telah mengakibatkan kematian sebanyak 700 juta lebih di 235 negara. Sedangkan di Indonesia sendiri tercatat 161.501 jiwa korban meninggal. Melihat evidensi yang ada, apakah pencabutan status darurat covid-19 tidak terlalu gegabah? Lalu bagaimana seharusnya Indonesia menanggapi hal ini?
Akibat pencabutan status darurat tersebut, pemerintah Indonesia berencana akan mengubah prosedur program pencegahan dan penanganan covid-19. Jika sebelumnya vaksinasi dan pengobatan covid-19 sepenuhnya ditanggung pemerintah, kini segala biaya itu akan ditanggung mandiri oleh masyarakat. Bahkan pemerintah pun mengabaikan upaya pencegahan sederhana seperti regulasi kerumunan.
Dengan berbagai catatan penindakan covid-19 yang compang-camping, kiranya pemerintah tidak ingin mengambil langkah yang lebih baik. Dengan adanya mutasi covid-19 yang terus berlanjut, mengapa justru pemerintah melempar tanggung jawab kepada masyarakat. Seolah berbagai penanganan covid-19 sebelumnya adalah sebuah kerugian untuk negara. Masyarakat dibiarkan mengurus diri sendiri. Lalu apa fungsi negara?
Selama ini masyarakat salah paham dengan kata politik. Kita dibuat lumrah untuk berasumsi bahwa politik adalah mengejar kekuasaan. Maka kita memaklumi ketika seseorang yang memasuki dunia perpolitikan hanya akan mengurus diri sendiri dan partai pengusungnya. Inipun menjadikan paradigma bahwa politik itu sesuatu yang kotor dan tidak pantas disandingkan dengan agama.
Padahal politik dalam Islam yang dikenal dengan istilah siyasah syar'iyah dalam bahasa Arab memiliki arti pengurusan. Rasulullah pun memakai kata siyasah (politik) dalam sabdanya ;
كانت بنو إسرائيل تَسُوسُهُمُ، الأنبياء، كلما هلك نبي خَلَفَهُ نبي، وإنه لا نبي بعدي، وسيكون بعدي خلفاء فيكثرون»، قالوا: يا رسول الله، فما تأمرنا؟ قال: «أوفوا ببيعة الأول فالأول، ثم أعطوهم حقهم، واسألوا الله الذي لكم، فإنَّ الله سائلهم عما اسْتَرْعَاهُم
“Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain menggantikannya. Namun, sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para khalifah lalu jumlah mereka akan banyak.” (Para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan untuk kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah baiat kepada (khalifah) yang pertama kemudian kepada yang berikutnya, lalu penuhilah hak mereka, dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.” (HR Bukhari Muslim)
Dari hadits ini jelas, bahwa arti politik dalam Islam adalah mengurus kehidupan masyarakat. Dimana rakyat mempunyai hak atas pemimpinnya. Rasulullah pun telah mencontohkan bagaimana politik dalam kepemimpinan itu dilaksanakan. Ketika Rasulullah berhijrah dari Mekah ke Madinah, Rasulullah diposisikan sebagai kepala negara dengan Madinah sebagai wilayahnya. Beliau mendirikan masjid untuk pertama kalinya yang difungsikan tidak hanya sebagai tempat sholat namun juga sebagai wadah berbagai strategi bernegara dirumuskan.
Rasulullah mempunyai berbagai kebijakan berasaskan wahyu. Ekonomi, kesehatan, sosial, pendidikan dan keamanan memiliki perhatian yang sama kadarnya dengan masalah ibadah mahdhoh (sholat, zakat, puasa dll) di mata Rasulullah. Seperti yang dituturkan oleh Anas Ra. Dalam hadits di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, pada suatu waktu Madinah kedatangan kafilah dari Kabilah 'Urainah, mereka mengikrarkan syahadat dihadapan Rasulullah. Belum sempat mereka meninggalkan Madinah, kafilah itu jatuh sakit. Rasulullah sebagai kepala negara dengan cepat mengambil kebijakan dengan meminta mereka untuk tinggal di Madinah. Kafilah itu diberikan susu secara cuma-cuma dari pengembalaan unta zakat yang dioperasikan oleh baitul mal hingga mereka pulih. Rasulullah juga menjadikan dokter yang diberikan Muqauqis, raja Mesir sebagai dokter untuk rakyat Madinah sehingga masyarakat dapat berobat pada dokter tersebut secara gratis. Anggaran yang Rasulullah pakai bersumber dari ghonimah, Fai', Kharaj, Jizyah dan pengelolaan harta milik negara lainnya.
Sistem seperti ini terus dilanjutkan oleh para pengganti Rasullullah. Para Khalifah dalam Daulah Islam menerapkan sistem politik yang menjadikan para pemimpinnya berfungsi sebagai pengurus rakyat. Mereka berikan layanan dan fasilitas kesehatan terbaik tanpa memungut biaya dari rakyat. Mereka memperdayakan segala perbendaharaan negara demi mencukupi kebutuhan rakyat.
Indonesia sebenarnya sangat mampu untuk melakukan hal yang sama. Kekayaan hutan, laut, dan tambang sungguh mampu untuk dijadikan sumber kos karena sejatinya kekayaan negara dikembalikan pada rakyat dalam bentuk pelayanan dan fasilitas, bukan dikuasai hanya pada segelintir orang bahkan oknum asing. Inilah pentingnya untuk mengubah sistem bernegara dari sistem kapitalis dan demokrasi beralih ke sistem Islam. Hanya dengan sistem Islam perubahan ke arah baik dapat diwujudkan. Karena sistem Islam adalah sistem berdasarkan wahyu dari Sang Pencipta alam, Allah SWT.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar