Gurita Korupsi, RUU Perampasan Asset, dan TPPU


Oleh : Wulan Ummu Maryam

Gurita Korupsi

Korupsi di Indonesia ibarat gurita yang memiliki banyak lengan dan alat hisap. Karena lengannya yang banyak itu, gurita dapat menangkap mangsa dengan mudah, menggapai tiap sudut. Ketika istilah "gurita" digunakan dalam sebuah kasus, itu bisa menggambarkan kondisi yang sudah menyebar atau meluas. Dan, jika istilah itu digunakan untuk kasus korupsi (pelaku: koruptor), artinya korupsi itu sudah parah, menyebar ke banyak tempat dan melibatkan banyak orang.

Dari tahun ke tahun, kasus korupsi di Indonesia kian menunjukkan peningkatan, baik jumlah kasus, tersangka, maupun potensi kerugian negara. Korupsi di lingkungan pemerintahan kini menjadi perhatian pasca kasus pejabat pajak Rafael Alun terungkap. Masyarakat Indonesia pada dasarnya tak begitu terkejut dengan kasus korupsi yang sudah sering dilakukan oleh oknum pejabat publik.

Kalau kita lihat data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini sudah menangani sebanyak 1.351 kasus tindak pidana korupsi untuk periode 2004 - 2022. Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, kasus korupsi paling sering terjadi di wilayah pemerintah pusat. Berikut rinciannya.

Pemerintah pusat sebanyak 430 kasus korupsi, Jawa 410 kasus, Sumatra 311 kasus, Kalimantan 69 kasus, Sulawesi 51 kasus, Papua 32 kasus, Kepulauan Nusa Tenggara 17 kasus,  Maluku 15 kasus, dan Bali sebanyak 8 kasus korupsi. (cnbcindonesia.com,18 April 2023)

Kinerja penegak hukum dalam penindakan seharusnya mengambil peran sentral dalam agenda pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Namun, yang terjadi justru terdapat aparat penegak hukum yang terseret dalam lingkaran kasus korupsi.

Kasus korupsi yang terbaru yaitu penetapan tersangka kepada Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil untuk tiga kasus korupsi sekaligus yang terjadi dalam kurun waktu 2022-2023. Uang suap dan gratifikasi yang diperoleh itu dikumpulkan oleh orang kepercayaan untuk dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonannya dalam Pemilihan Gubernur Riau tahun 2024 nanti.(Kompas, 8 April 2023).

Masyarakat juga tidak terlalu terkejut ketika pihak swasta yang melakukan korupsi. Sosok Destiawan Soewardjono kini tengah curi perhatian usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan fasilitas pembiayaan bank. Direktur Utama PT Waskita Karya ini diketahui telah memerintahkan dan menyetujui pencairan dana Supply Chain Financing (SCF) menggunakan dokumen palsu. (sindonews.com, 1 Mei 2023)

Setidaknya itulah beberapa yang terungkap di Indonesia pada tahun 2023. Korupsi sudah seperti gurita, mencengkeram ke mana-mana dengan pelaku yang beragam pula. Mulai dari kalangan swasta, eksekutif (pejabat pemerintah), legislatif (wakil rakyat), hingga yudikatif (penegak hukum).  
 

RUU Perampasan Asset

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Menko Polhukam Mahfud Md pun sempat pula berkata demikian.

"RUU Perampasan Aset itu memang inisiatif dari pemerintah dan terus kita dorong agar itu segera diselesaikan oleh DPR," kata Jokowi setelah meninjau Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (5/4/2023). "Dan ini prosesnya sudah berjalan," imbuhnya.

Mantan Juru Bicara KPK yang kini berprofesi sebagai advokat, Febri Diansyah, ikut-ikutan membahas soal RUU Perampasan Aset ini. Dia merujuk pada naskah akademik dari RUU Perampasan Aset itu dari situs resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham.

"Agar tidak salah paham di awal, kita perlu tahu RUU Perampasan Aset ini bukan hanya untuk merampas aset hasil korupsi tapi semua aset terkait tindak pidana dengan nilai lebih besar dari Rp 100 juta dan ancaman pidana di atas 4 tahun," ucap Febri melalui akun Twitternya seperti dikutip, Minggu (9/4/2023). Ejaan cuitan sudah disempurnakan sesuai EYD.

Dalam RUU Perampasan Aset itu ada 11 jenis aset yang bisa dirampas negara. Salah satunya disebut Febri cukup mengejutkan yaitu di Pasal 2 angka (1) huruf (k). Berikut 11 aset yang dapat dirampas negara berdasarkan RUU Perampasan Aset:

Pasal 2
(1) Aset yang dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini meliputi:
a. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana

b. Aset dari tindak pidana yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kekayaan tersebut;

c. Aset yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

d. Aset tindak pidana dari terpidana tidak menjadi uang pengganti, aset tindak pindana terkait lansung dengan status pindana dari terpidana;

e. Aset yang ditemukan barang temuan yang diduga kuat berasal dari tindak pidana;

f. Aset korporasi yang diperoleh dari tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;

g. Aset tersangka atau terdakwanya yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya pada saat dilakukan penyidikan atau proses peradilan, yang secara diperoleh dari tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;

h. Aset yang terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan, tetapi berdasarkan bukti asetnya telah digunakan untuk kejahatan;

i. Aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan, tetapi berdasarkan bukti asetnya telah digunakan untuk kejahatan;

j. Aset yang perkara pidananya telah diputus bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas;

k. Aset Pejabat Publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya
Secara sah maka Aset tersebut dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini;

Kembali pada cuitan Febri. Dia menekankan bila urusan perampasan aset ini adalah antara negara dengan aset, bukan orang perorang. "Jadi jangan berpikir tentang orang atau perusahaan yang jadi tersangka atau terdakwa dalam perampasan aset ini. Sederhananya, penyidik atau jaksa penuntut umum yang menemukan ada aset tindak pidana, mereka dapat memblokir atau menyita aset tersebut. Kemudian mengajukan permohonan perampasan aset ke pengadilan perdata," ucap Febri.

Menurut Febri, ranah perdata itu sempat menjadi perdebatan ketika RUU ini disusun hingga akhirnya dipilih perdata khusus. Jadi nantinya sekalipun aset yang dirampas terkait tindak pidana tapi perampasannya tanpa melalui putusan pidana. "Jadi, aset apa saja yang bisa dirampas negara? Selengkapnya cek Pasal 2 RUU tapi dugaan saya yang akan jadi perdebatan alot adalah huruf k: Aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak bisa dibuktikan asal usul perolehan yang sah," sebut Febri.

"Huruf b juga menarik. Karena keuntungan yang diperoleh dari aset hasil pidana yang dijadikan modal juga termasuk aset yang bisa dirampas. Misal: A memasukkan aset hasil pidana jadi modal sebuah perusahaan. Yang bisa dirampas bukan hanya hasil. 

Selanjutnya Febri memaparkan tentang sejumlah celah yang bisa dimanfaatkan dalam RUU ini. Dia pun mendorong agar RUU ini benar-benar dibahas dengan baik.

Pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Pacul tentang pengesahan suatu RUU tergantung ketua umum partai dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa waktu lalu, menunjukkan kedaulatan rakyat di dalam sistem pemerintahan demokrasi hanyalah ilusi. “Dalam praktik demokrasi kini, kedaulatan rakyat hanya ilusi demokrasi,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroki kepada Mediaumat.id, Senin (3/4/2023).

Adalah ketika itu ditegaskan secara gamblang oleh Bambang Pacul dalam hal pengesahan suatu RUU, semua anggota DPR hanya menuruti apa kata ketum mereka masing-masing. Bermula membahas penanganan kasus-kasus korupsi serta pencucian uang yang tengah jadi isu sentral bersama Menkopolhukam Mahfud MD.

Seperti kasus di Kemenkeu dengan contoh nyata mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo serta transaksi gendut lebih dari Rp300 triliun oleh ratusan pegawai. Di kesempatan itulah Mahfud MD meminta agar DPR mendukung penbentukan Undang-Undang Perampasan Aset.

“Pak Mahfud tanya pada kite, tolong dong Undang-Undang Perampasan Aset dijalanin. Republik di sini gampang Pak, Senayan ini. Lobinya jangan di sini Pak, nih korea-korea ini nurut sama bosnya masing-masing,” kata Bambang Pacul kala itu. Namun dikarenakan anggota Dewan hanya takut kepada ketum partai mereka masing-masing, sekeras dan setegas apa pun mereka, ketika sudah ada suara dari ketum maka semuanya bisa berubah. “Di sini boleh ngomong galak Pak, kalau Bambang Pacul ditelepon ibu, Pacul, berhenti wes, siap! Gitu Pak. Nih laksanakan, (maka) laksanakan Pak,” ujarnya.

Lalu, Bambang juga menyatakan bahwa jika memang Mahfud MD menginginkan agar RUU Perampasan Aset dimasukkan lagi ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) dan disahkan menjadi undang-undang, maka jalur politiknya bukan di Senayan, melainkan di semua ketum partai politik.

“Mungkin (RUU) perampasan aset bisa, namun harus bicara pada ketum partai. Jadi pertanyaan njenengan langsung saya jawab, Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan,” tandasnya. Artinya, lanjut Wahyudi, yang berkuasa dan berdaulat sejatinya adalah ketua umum partai dan segelintir orang yang ia sebut sebagai oligarki.

“Mereka menunggangi negara untuk membuat undang-undang maupun berbagai aturan dan kebijakan yang menguntungkan kepentingan politik mereka atau kepentingan bisnis mereka,” urainya. Lantaran itu, tambahnya, meski tampak spontan dan apa adanya, pernyataan tersebut sebenarnya sangat serius terutama tentang pembentukan UU yang harus dibicarakan dahulu dengan ketua partai.

Bahkan menegaskan hal ini, kata Wahyudi, Bambang Pacul pun menyebutkan, ‘Ini korea-korea ini semua nurut bosnya masing-masing’ yang sebagian publik memahami istilah ini sebagai gambaran sistem pemerintahan Korea Utara yang diktator sehingga tidak ada yang berani beda pandangan apalagi berani melawan. Ditambah Bambang mengaku siap melaksanakan apa pun jika ada perintah dari juragan. “Siap kalau diperintah juragan,” demikian kata Bambang.

Sehingga merujuk pernyataan sebelumnya, menurut Wahyudi, yang dimaksud juragan adalah ketum partai. “Hal ini tentu sangat merisaukan rakyat, bagaimana mungkin undang-undang di republik yang mengklaim demokrasi ini pembuatannya bukan ditentukan oleh para anggota DPR sebagai wakil rakyat. Tapi sangat ditentukan oleh lobi-lobi segelintir orang dengan ketum partai,” ucapnya prihatin.

Di saat yang sama, hal ini pun membuktikan bahwa anggota DPR sebagai wakil rakyat tak berani dengan ketum partai. Tak heran, lahirlah kemudian berbagai undang-undang yang ditolak masyarakat karena bertentangan dengan kepentingan rakyat. Seperti UU Minerba, Migas, Ciptaker, dll.

“Di mana letak kedaulatan rakyat yang diklaim sebagai negara demokrasi?” tanyanya. Makanya, sambung Wahyudi, jangan menyalahkan rakyat jika memahami anggota DPR bukan wakil mereka tetapi wakil partai yang mengakomodir kepentingan ketum partai dan segelintir orang (oligarki). Untuk itu menjadi penting bisa memutus rantai kedaulatan ketum partai dan oligarki dengan menghentikan sistem politik demokrasi yang selama ini berbiaya sangat mahal dengan yang lebih murah.

Tak hanya itu, mempersiapkan kader-kader yang jujur, amanah dan profesional pun harus dilakukan. Sehingga, pungkasnya, diharapkan tidak bakal mengkhianati rakyat dengan menjadi pembela ketum dan oligarki. 


Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Berdasarkan Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikatakan TPPU merupakan tindakan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

TPPU biasanya dilakukan oleh oknum untuk menyamarkan uang kotor. Dengan kata lain, uang atau harta yang dijerat TPPU merupakan harta yang sudah diyakini merupakan hasil tindak pidana lain seperti korupsi, pencurian, penggelapan, atau tindakan kriminal lainnya. 

Adapun sanksi bagi pelaku TPPU mengacu pada pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010, tindak pidana pencucian uang bisa dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.  

Berikut ini beberapa kasus TPPU, antara lain:
Kasus yng pertama, yaitu kasus TPPU Kasus Jiwasraya. Kasus PT Jiwasraya tahun 2020 ada berkaitan dengan TPPU. Total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 16 triliun. Dalam kasus itu Jaksa mmendakwa Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat melakukan tindak pidana pencucian uang dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.  Terdakwa disebut melakukan TPPU dengan membayar kasino di Resort World Sentosa sebanyak Rp 4,87 miliar pada 9 Juni 2017. Selain itu dalam kasus ini juga melibatkan banyak korporasi lain terkait TPPU. 

Kasus yang kedua, yaitu Kasus Doni Salmanan dan Indra Kenz. Kasus yang belum lama terjadi melibatkan para influencer Doni Salmanan dan Indra Kenz. Doni mendapatkan uang dari platform investasi bodongnya di mana diduga ia menerima pundi-pundi uang dari kekalahan para anggotanya. Oleh Doni, uang tersebut dicuci dengan cara dialirkan ke sejumlah artis lainnya. Doni disangkakan dengan Pasal 5 dan Pasal 10 UU TPPU dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Sementara Indra Kenz juga ditangkap karena dijerat kasus TPPU dalam platform investasi Binomo. Ia turut dijerat dengan Pasal 5 dan Pasal 10 UU TPPU. Akibatnya Indra Kenz kini divonis 10 tahun penjara dan asetnya dirampas negara 


Keadilan Islam Membabat Korupsi

Korupsi di Indonesia masih tinggi. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia saat ini di angka 40. Angka itu masih jauh dibanding IPK dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Membudayanya tindak pidana korupsi di Indonesia membuat masyarakat tidak sadar bahwa korban yang paling dirugikan sebenarnya adalah rakyat sendiri. Runtuhnya nilai-nilai, macam macam norma, etika, moral, budaya dan religi di suatu wilayah memang sangat berpengaruh pada perkembangan tipikor.

Untuk itu, solusi penerapan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

KH Muhammad Shidiq al-Jawi menjelaskan bahwa secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut syariah Islam sebagai berikut:

Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi saw. pernah bersabda, ”Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari).

Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok.”

Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Keempat: Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).

Kelima: Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menghitung kekayaan para pejabat pada awal dan akhir jabatannya.

Keenam: Adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya, kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Ketujuh: Pengawasan oleh negara dan masyarakat. Khalifah Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Kalau memang korupsi telah terjadi, syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat-ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 78-89).[]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar