Kesalahan Arahan Pendidikan dengan Iming-Iming SMK Langsung Kerja


Oleh : Pathul Yani (Pendidik dan Aktivis Islam)

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah sekolah menengah atas (SMA) negeri dan swasta di Indonesia pada tahun ajaran 2020/2021  mencapai 13.865 sekolah. Sementara, jumlah sekolah menengah kejuruan (SMK) negeri dan swasta di Indonesia pada 2020/2021  sebanyak 14.078 sekolah (databoks.katadata.co.id). 

Data ini menunjukan antusiasme pemerintah dalam menggencarkan pendidikan vokasi agar menghasilkan lebih banyak lulusan yang siap kerja,  senada dengan pernyataan yang disampaikan Presiden RI, Joko Widodo "Kita ingin pendidikan yang fokus pada keterampilan bekerja. Ini sangat penting," pesannya dalam sambutan pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2019 di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Selasa (12/2/2019).

Dalam sistem kapitalisme yang serba sulit ini (merebaknya kemiskinan, pengangguran, dll) para pemuda dihadapkan pada pilihan sulit dalam menempuh jalur pendidikan. Sebagian akhirnya memilih pendidikan vokasi (SMK) karena iming-iming mendapatkan pekerjaan lebih mudah. Di sisi lain, kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), khususnya di bidang vokasi, makin digencarkan. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menggelontorkan sejumlah dana besar bagi program revitalisasi pendidikan vokasi. Proyek utamanya adalah link and match yang mengawinkan dunia usaha dan industri (DUDI) dengan pendidikan vokasi, baik di tingkat SMK maupun kampus vokasi.

Skema matching fund (dana pemadanan) membuat dunia industri makin antusias melebarkan sayapnya di dunia pendidikan. Mereka seakan mendapatkan amunisi, tidak perlu repot karena telah memiliki pabrik SDM (sumber tenaga kerja) bagi pengembangan industrinya sesuai kebutuhan.


Harapan Mampu Menyerap Tenaga Kerja (Jauh Panggang Dari Api)

Faktanya data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran terbuka per Februari 2022 sebanyak 8,40 juta orang atau tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,83% dengan lulusan SMK jadi yang terbanyak daripada jenjang pendidikan lainnya. Sementara itu, persentase lulusan pendidikan tinggi vokasi yang dalam setahun mendapatkan pekerjaan hanya mencapai 50,16% (capaian 2021).

Ini menunjukkan bahwa berbagai persoalan di atas memang tidak relevan dengan proyek revitalisasi pendidikan vokasi. Bahkan, yang terjadi adalah kapitalisme yang makin menunjukkan keborokannya dengan datangnya gelombang PHK yang terus membesar; sebuah kondisi sosial ekonomi yang makin rusak. Adapun pemuda hanya diposisikan untuk menambal kebobrokan itu agar kapitalisme makin eksis.

Kebebasan memiliki (berekonomi) yang diusung sistem kapitalis juga makin menyuburkan oligarki hingga merusak tatanan bernegara. Negara jadi tidak berdaya. Pendidikan pun menjadi tumbal. Para pemuda yang sebenarnya berpotensi ini mandul ditelan jahatnya kapitalisme melalui tangan-tangan korporasi.

Wajar jika program revitalisasi pendidikan vokasi dalam sistem kapitalisme tidak akan menjawab semua problem yang ada. Semua problem tersebut merupakan problem sistemis yang tidak bisa dan tidak boleh diselesaikan melalui pendekatan pendidikan. Hal ini hanya akan memalingkan fungsi penting pendidikan sebagai sarana membentuk kepemimpinan bagi manusia (mewujudkan abdullah dan khalifatullah fil ardh).


Pendidikan dalam Bingkai Sekuler

Dalam bingkai tata kelola pendidikan dan negara sekuler, pendidikan vokasi juga diselenggarakan dengan kurikulum sekuler. Ini mengakibatkan siswa maupun mahasiswa kering (minim) dalam pembentukan kepribadian Islamnya. Tidak jarang, ilmu-ilmu yang mereka dapat tidak dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau mendorong berkembangnya peradaban luhur (Islam). Mereka bahkan menjual ilmunya demi keuntungan duniawi. 

Terlihat dari produk yang mereka hasilkan dan rupanya mendapat sambutan “positif”, seperti fashion, permainan, aplikasi hiburan, fotografi, drama dan perfilman, tata rias artistik, makanan olahan kekinian, dan sebagainya. Semua ini digeluti karena bertumpu pada selera pasar yang kapitalistik, bukan pada apa yang seharusnya ada (kebutuhan) di masyarakat berdasarkan syariat. 

Ini terjadi karena mereka tidak memiliki standar berbuat secara benar. Kepribadian mereka kacau, tidak sesuai dengan Islam. Inilah buah dari kurikulum sekuler pada pendidikan vokasi Dengan kondisi ini, tentu tidak bisa diharapkan kepemimpinan bangsa diserahkan kepada para pemuda seperti ini. Kepemimpinan butuh visi misi sahih tentang kehidupan (sesuai akidah Islam).


Pemuda dalam Bingkai Syariat 

Potensi pemuda sungguh tengah dikerdilkan sistem sekarang. Padahal, pemuda adalah sosok yang mampu mengembalikan peradaban mulia, yaitu Islam. Dengan kekuatan akalnya, pemuda mampu melahirkan berbagai terobosan untuk menyelamatkan umat manusia. Kekuatan mata dan hatinya akan melahirkan kepekaan terhadap persoalan yang tengah menimpa umat.

Pendidikan dalam Islam akan mampu menjadikan pemuda sebagai garda terdepan dalam seluruh persoalan karena berbasiskan akidah Islam, bukan berbasis link and match dengan industri. Mereka akan terus dididik agar mampu memahami hakikat penciptaan, yaitu beribadah kepada Allah Taala. Terbentuklah kepribadian Islam yang kuat dan kukuh dalam diri para pemuda.

Mereka pun dipahamkan bahwa yang membimbing umat manusia adalah Al-Qur’an, sedangkan konsekuensi atas keimanannya pada Sang Pencipta adalah terikat seluruhnya dengan aturan Allah Taala. Jadilah mereka itu pemuda taat syariat, bukan “budak korporat”. 

Dalam hidupnya, mereka akan terus berambisi untuk menolong umat, bukan memperkaya diri sendiri. Mereka akan mampu melihat bahwa kesengsaraan umat saat ini adalah akibat dunia tidak menerapkan syariat, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dengan begitu, dalam kesehariannya, para pemuda akan terus berjuang mengembalikan kehidupan Islam agar seluruh persoalan umat dapat terselesaikan.

Jika para pemuda Islam telah paham tentang akar persoalan kehidupan, kemudian berambisi untuk mengembalikan kehidupan Islam, sejatinya ini merupakan kekuatan besar yang akan menggetarkan musuh. Tercatat dalam sejarah, para pemuda Islam telah menorehkan tinta emas atas kemenangannya melawan kafir penjajah. Sebut saja Khalifah Muhammad al-Fatih sang penakluk Konstantinopel, membawa Islam pada kemenangan saat usianya yang masih belia.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar