Pengangguran Kian Mengakar


Oleh: Winda Harefa 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada sebanyak 7,99 juta pengangguran per Februari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 5,45% dari sebanyak 146,62 juta orang angkatan kerja.

Secara rinci, jumlah penduduk usia kerja di Indonesia sebanyak 211,59 juta orang per Februari 2023. Dari jumlah tersebut, 146,62 juta orang masuk dalam angkatan kerja dan 64,97 juta orang bukan angkatan kerja.
Dari 146,62 juta angkatan kerja tersebut, sebanyak 7,99 juta orang pengangguran dan 138,63 juta orang bekerja. Untuk orang yang bekerja terdiri dari 92,16 juta orang pekerja penuh, 36,88 juta orang pekerja paruh waktu, dan 9,59 juta orang setengah pengangguran.

Sebanyak 7,99 juta orang yang pengangguran jika dilihat dari jenjang pendidikan, maka lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) justru menyumbang paling banyak. Ironinya, padahal selama ini Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) diyakini sebagai sekolah yang mampu mempersiapkan murid siap kerja sejak dini.

Maraknya pengangguran menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan sementara maraknya siswa SMK yang menganggur itu menggambarkan adanya kesalahan rancangan pendidikan serta kaitannya dengan program pembangunan. Pendidikan vokasi ataupun link and match dunia industri dengan pendidikan, hanya akan menghasilkan SDM berkualitas rendah sebab terus mengikuti kepentingan industri.

Pendidikan by demand atau disesuaikan dengan permintaan industri, lulusannya hanya mentok untuk memenuhi kebutuhan industri. Mereka tidak akan mampu mandiri menciptakan industri sendiri dan berinovasi. Walhasil, dengan keterbatasan industri, lulusannya banyak yang tidak terserap.

Juga lemahnya industrialisasi karena industri yang ada bukan berdasarkan kebutuhan namun mengikuti pesanan oligarki. Selain oleh swasta, industri pun dikendalikan oligarki. Walhasil, pembangunan industri bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan kepentingan oligarki. Contohnya, pembangunan infrastruktur transportasi yang “gila-gilaan” pada era Jokowi, banyak pengamat yang mengatakan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan oligarki.

Ini karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, pemerintah mengandalkan swasta dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Lihat saja industri manufaktur yang diandalkan dalam menyerap lapangan pekerjaan, hampir semuanya milik swasta. Jika swasta yang memegang kendali, bukan kesejahteraan pekerja yang menjadi fokus, melainkan profit perusahaan. Dan menjadi hal tabu jika oligarki dinegeri ini semakin sejahtera.

Dalam persoalan pengangguran pada era industrialisasi, sejatinya berpangkal pada industri yang bercorak kapitalisme. Pembangunan industri fokus pada kepentingan korporasi dan juga oligarki. Hal ini berbeda dengan pembangunan industri bercorak Islam. Pengangguran akan hilang dan model pembangunannya menyejahterakan. 

Kerena Islam memiliki caranya tersendiri dalam menangani pengangguran, sistem pendidikan juga industrialisasi; pertama, Islam tegas menjadikan negara sebagai penanggung jawab dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Ini berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw., “Seorang Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.” (HR Bukhari, 844).

Kedua, Pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya kepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya. Negaralah yang menyediakan fasilitas pendidikan serta memastikan seluruh rakyatnya mendapatkan pendidikan berkualitas. Pendidikan dalam Islam juga tidak akan membebek pada kepentingan industri. Pembangunan industri yang berfokus pada kemaslahatan umat akan banyak dibangun seiring kualitas SDM yang inovatif, kreatif, dan produktif.

Ketiga, industri dibangun berdasarkan kemaslahatan umat sehingga negara wajib menjadi pengendali industri. Perbedaan krusial industri ala kapitalisme dan Islam terletak pada kepemilikan. Kapitalisme memandang bahwa kepemilikan alat industri, termasuk SDA, adalah hak dari semua manusia. Swasta termasuk asing bebas memiliki, memproduksi, ataupun mengembangkannya tanpa batasan.Berbeda dengan Islam yang membatasi kepemilikan. SDA yang melimpah dan dibutuhkan umat tidak boleh dikuasai swasta, negaralah yang mengelola SDA tersebut serta membuka peluang untuk penyerapan tenaga kerja.

Penerapan Islam dalam bingkai negara mampu mengatasi pengangguran yang mengakar di negeri ini wujudkan kesejahteraan di tengah-tengah umat.

Wallahualam bishawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar