RUU KESEHATAN OMNIBUS LAW MENUAI MASALAH?


Oleh : Nikita Sovia. S.Pd

Pro dan kontra atas RUU Kesehatan Omnibus Law, sejak diresmikan sebagai salah satu dari 38 RUU program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2023, terus bergulir. Pro dan kontra mengiringi perjalanan pembahasan RUU Kesehatan. IDI, PDGI, YLKI, dan organisasi profesi lainnya menolak RUU ini dengan beberapa alasan. Di antaranya, mempermudah tenaga kesehatan asing masuk tanpa kualifikasi dan kompetensi, memicu sentralisasi kewenangan Menkes, dan mengebiri peran organisasi profesi (IDI dan PDGI). IDI menilai permasalahan kekurangan tenaga kesehatan dan adanya mala-administrasi bukanlah kesalahan organisasi profesi, melainkan kegagalan pemerintah selaku penyelenggara sistem kesehatan.

Sementara itu, menurut beberapa pengamat pendidikan dokter, kewenangan dan dominasi organisasi profesi seperti IDI dan PDGI memang harus dipangkas agar tidak memonopoli sektor kesehatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Saling bantah dan tuduh memang kerap terjadi setiap kali ada RUU masuk pembahasan di DPR. 

Ada banyak kepentingan yang dipertaruhkan dalam RUU yang disusun, tidak terkecuali RUU Kesehatan. Hanya saja, di balik pro dan kontra RUU Kesehatan, ada beberapa hal yang harus digarisbawahi.
Pertama, RUU kesehatan tidak akan mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Masing-masing pihak, baik pemerintah, organisasi profesi, DPR, atau yang lainnya, memiliki tujuan dan kepentingan dalam RUU ini.
Kedua, mestinya berfokus pada masalah krusial sektor kesehatan, yakni kelalaian negara dalam menjamin kebutuhan tiap individu terhadap layanan kesehatan beserta fasilitasnya.
Ketiga, kesehatan bukanlah sesuatu yang pantas dikomersialisasi layaknya bisnis. Negara wajib memenuhi jaminan kesehatan tiap individu tanpa memungut biaya darinya. Dokter dan tenaga kesehatan berkewajiban memberikan pelayanan terbaik sebagai bentuk tanggung jawab profesinya.
Keempat, transformasi kesehatan—sebagaimana telah disebutkan—tidak akan terwujud dengan baik jika paradigma kapitalisme masih dipakai dalam penyusunan RUU Kesehatan atau produk UU sejenis.

Seharusnya yang menjadi pembahasan berbagai kalangan adalah akar persoalan yang ada di sektor Kesehatan. Tidak ada yang membantah bahwa persoalan utama kesehatan di negeri ini adalah akses kesehatan yang tidak merata bagi seluruh warga. Fasilitas kesehatan dan nakes yang terbatas dan tidak merata menjadikan hak sehat tidak dirasakan oleh setiap warga. Lihatlah betapa faskes dan nakes bertumpuk di kota, tetapi minim di pedesaan. Di perkotaan pun sama, pelayanan kesehatan yang prima hanya diberikan kepada warga kaya, kesenjangan tampak begitu nyata. BPJS yang dianggap solusi malah penuh polemik.

Fakta ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesehatan warganya. Alih-alih berfokus kepada terpenuhinya kebutuhan warganya, negara kapitalis malah menyerahkannya pada swasta. Lihat saja, bisnis kesehatan terasa makin menjanjikan di negeri ini. Berbagai rumah sakit milik swasta bertengger memenuhi kota-kota besar. Jika kendali sektor kesehatan sudah di tangan swasta, penyediaan faskes dan nakes bukan lagi berdasarkan pada kebutuhan warga, melainkan pada keuntungan bisnis mereka. Inilah akar persoalan sektor kesehatan sehingga RUU ini seharusnya membahas hal yang demikian.  

Negara kapitalis akan selalu menggandeng swasta dalam memenuhi kebutuhan umat. Hubungan yang terjalin antara rakyat dan penguasa adalah hubungan bisnis, penguasa sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Selayaknya penjual, ia akan mencari keuntungan dalam setiap transaksi. Inilah persoalan kesehatan yang tidak kunjung usai.

Berbeda dengan paradigma negara Islam yang memosisikan rakyat sebagai tuan yang harus dilayani oleh pelayannya. Penguasa itu adalah pelayan sehingga hubungan keduanya bukan berfokus pada keuntungan salah satu pihak, tetapi pada terpenuhinya kebutuhan tuannya.

Salah satu kebutuhan dasar umat adalah kesehatan sehingga wajib bagi negara untuk menyediakan kesehatan prima untuk setiap warga. Negara akan mengupayakan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mudah diakses seluruh warga. Pengelolaannya tidak akan diserahkan pada swasta sehingga pelayanan akan merata.

Rumah sakit akan tersebar di mana-mana sesuai kebutuhan warga, tidak bertumpuk di kota saja. Begitu pun para nakes, akan terlahir nakes-nakes berkualitas dengan ketinggian moral dan etika. Ini karena masyarakat Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam setiap amalnya. Walhasil, para nakes akan berlomba-lomba memberikan yang terbaik kepada pasiennya, bukan berlomba-lomba untuk mengeruk keuntungan dari para pasiennya.
Hanya saja, kekuatan negara dalam mengelola kesehatan harus dibarengi dengan kekuatan sistem lainnya. 

Keberhasilan Islam dalam menyediakan faskes dan nakes yang berkualitas dan merata harus ditopang oleh keuangan negara yang kuat. Dalam hal ini, baitulmal dalam sistem pemerintahan Islam akan kuat sebab pemasukannya akan melimpah dari hasil SDA. Oleh karenanya, jaminan kesehatan hanya bisa diperoleh umat dengan kembalinya sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Wallahu’alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar