Tradisi Korupsi Dalam Demokrasi


Oleh : Hanum Hanindita, S.Si.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bersuara soal langkah Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Destiawan Soewardjono menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan. Ia menghormati proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung tersebut.  Erick menambahkan peristiwa ini sudah sepatutnya menjadi peringatan bagi BUMN lainnya untuk bekerja secara profesional, transparan dan bersih. (cnnindonesia.com, 29/04/23)

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, menjelaskan, keterlibatan tersangka DES dalam dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiyaan bank oleh WSKT dan WSBP. Menurut Ketut, tersangka DES adalah pihak yang memerintahkan dan menyetujui pencairan dana supplay chain financing (SCF). Dari penyidikan terungkap dokumen dalam pencairan SCF tersebut palsu. Terkait kasus dugaan korupsi di PT Waskita Karya dan PT Waskita Beton Precast, tim penyidikan di Jampidsus sementara sudah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi, pada Januari 2023, saat menetapkan tersangka awalan kasus tersebut, pernah menyebutkan, nilai kerugian negara dalam kasus penggunaan fasilitas pembiayaan bank tersebut mencapai Rp 2 triliun. Dana itu untuk pembangunan proyek nasional, seperti pembangunan jalan tol dan sarana material konstruksi lainnya. (news.republika.co.id, 29/04/23)

Korupsi terus terjadi, bahkan meski dengan berbagai instrumen khusus, koruptor tak pernah jera.  Korupsi seolah sudah menjadi tradisi tak terpisahkan dalam sistem kapitalisme demokrasi.  Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di negeri seolah menemui kebuntuan.  Setidaknya ada 3 hal yang menjadi sebab, kesempatan korupsi menjadi terbuka luas. 

Pertama, dari peraturan perundang-undangan beserta perangkatnya yang kurang efektif. Peraturan perundang-undangan dan kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi hukum yang ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan, menjadi pintu masuk untuk melakukan korupsi. Badan khusus sendiri baru sampai tahap mengungkap kasus korupsi yang ada, namun sanksi belum memberi efek jera, apalagi sebagai pencegah pihak lain melakukan perbuatan yang sama.

Kedua, kerusakan sistem politik dan pemerintahan yang ada dalam sistem kapitalisme. Hal ini telah memberikan banyak peluang kepada pejabat negara untuk beramai-ramai melakukan korupsi. Pasalnya penerapan demokrasi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Biaya politik dalam sistem ini sangat besar. Tidak hanya penyelenggarannya tetapi juga kampanye calon pejabat. Dana kampanya berasal dari kantong pribadi, paling banyak dari sponsor yang tidak lain adalah para pemikil modal (korporat). Alhasil ketika mereka menang atau berkuasa berlaku hukum balik modal dan persiapan modal kampanye selanjutnya.

Ketiga, rusaknya moral individu negeri ini. Kesalahan orientasi hidup akibat sekulerisme kapitalisme menjadikan dunia sebagai tujuan, maka hidupnya penuh dengan upaya meraih keuntungan dunia sebesar-besarnya. Dari sini lahirlah sosok pribadi yang tamak dan serakah, mencari jalan untuk memenuhi ambisinya, meski dengan cara yang haram, sebab standar kebahagiaan dalam masyarakat kapitalis adalah materi. Akhirnya korupsi jadi hal mutlak di negeri ini.

Maraknya korupsi adalah buah demokrasi. Selama sistem demokrasi tegak, negeri ini akan tetap digerogoti tikus berdasi. Karena dalam sistem demokrasi, para kapitalis bisa membeli apa saja, termasuk kedaulatan negeri. Kekuasaan yang bersih hanya menjadi mimpi dalam sistem demokrasi. Jika kita menginginkan Indonesia bebas dari korupsi, perubahan sistem merupakan kebutuhan yang tak terelakkan lagi. Tinggalkan demokrasi dan terapkan sistem Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi. Sistem Islam akan mewujudkan  penguasa yang bersih, karena asas kekuasaan adalah akidah Islam dan tujuannya adalah rida Ilahi.

Islam memandang korupsi sebagai perbuatan keji. Perbuatan korupsi dalam Islam sama dengan fasad, yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan jinayaat al-kubra (dosa besar). Korupsi dalam Islam adalah perbuatan melanggar syariat sehingga akan ada berbagai macam upaya pencegahan yang dilakukan. Selain itu ada sanksi tegas terhadap para pelaku korupsi yang telah ditetapkan dalam syariat. Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah cara yang ditunjukkan oleh syariat Islam, untuk mengatasi masalah korupsi hingga tuntas. 

Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun menafkahi keluarganya. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah biasanya mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Larangan ini bertujuan agar aparat pemerintah tetap bekerja secara jujur dan bersih, tanpa ada intervensi dari pihak manapun yang ingin mengambil keuntungan secara pribadi lewat pejabat atau aparat pemerintah.

Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat secara tidak wajar. Meski belum tentu orang yang cepat kaya pasti karena korupsi. Bisa saja ia mendapatkan kekayaannya itu dari warisan, bisnis, atau cara lain yang halal. Perhitungan kekayaan telah dicontohkan oleh Umar bin Khaththab saat menjadi Khalifah. Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Umar tidak meminta jaksa mapupun pihak lain untuk membuktikannya. Bila gagal membuktikan, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitulmal, atau membagi dua kekayaan itu separuh  untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. 

Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut berbuat pelanggaran.  Meskipun ia bisa bekerja sama dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggung jawaban.

Dengan teladan pemimpin, tindak korupsi akan mudah terdeteksi sedari dini. Penanganan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktik busuk ini tentu akan cenderung ditiru oleh bawahannya, hingga semua upaya apa pun dalam memberantas korupsi menjadi sia-sia.

Kelima, sanksi yang menjerakan. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir  (hukuman yang ditetapkan oleh penguasa) berupa tasyhir atau pewartaan (di masa lalu dengan diarak keliling kota, pada masa kini mungkin bisa ditayangkan di televisi atau media lainnya), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati tergantung dari besaran kejahatan korupsinya.

Keenam, kontrol dari masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.

Demikianlan cara Islam menghilangkan masalah korupsi yang telah menjadi tradisi di negeri ini. Tampak jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat jelas dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di sinilah pentingnya seruan pelaksanaan syariat Islam agar penanganan masalah korupsi secara komprehensif dapat segera ditegakkan. Semua langkah pencegahan dan penanganan tradisi korupsi hanya bisa dilaksanakan jika diterapkan Islam secara kaffah di negeri ini.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar