Oleh : Ai Sopiah
Pemerintah berencana untuk impor beras sebanyak 3 juta ton tahun ini sebagai bentuk antisipasi El Nino. Kebijakan tersebut dinilai tanpa perencanaan yang matang dan bisa berdampak negatif pada petani.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan kebijakan impor beras tersebut terlihat dilakukan tanpa persiapan yang matang. Pasalnya, El Nino merupakan kondisi yang sudah bisa diperkirakan tahun sebelumnya.
Dia mengatakan, pengadaan beras Bulog seharusnya sudah ditingkatkan sejak tahun lalu. Pemerintah juga seharusnya bisa menambah produksi sejak jauh hari dengan meningkatkan kualitas benih dan bantuan pupuk.
"Kebijakan impor beras dalam jumlah besar menunjukkan jika pemerintah panik menghadapi El Nino, padahal seharusnya bisa disiapkan sejak tahun lalu," ujarnya.
Bhima mengatakan, kebijakan impor bisa menjaga keamanan pangan dalam jangka pendek. Namun demikian, hal itu bisa merugikan dalam jangka panjang terutama pada petani. (Katadata.co.id 17/6/2023).
BMKG memperkirakan Indonesia akan mengalami kekeringan panjang akibat fenomena El Nino yang kemungkinan terjadi pada Juli hingga akhir 2023. Fenomena El Nino dipengaruhi oleh suhu muka air laut di Samudra Pasifik, juga Indian Ocean Dipole yang dipengaruhi suhu di Samudra Hindia. Kedua fenomena alam tersebut terjadi bersamaan pada musim kemarau tahun ini.
Dampaknya yakni makin berkurangnya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia selama periode musim kemarau pada semester kedua 2023. Sebagian wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami curah hujan dengan kategori di bawah normal atau lebih kering dari kondisi normalnya.
BMKG telah melaporkan kondisi di beberapa daerah di Indonesia. Prakirawan Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah I Medan Aryo Prasetyo mengimbau masyarakat untuk mulai menghemat penggunaan air dan memaksimalkan cadangan air. Untuk wilayah Sumatra Utara, hanya wilayah Sumatra Utara bagian Selatan dan Timur yang berpotensi terdampak. Menurutnya, kekeringan memang tidak serta-merta terjadi, tetapi bertahap dan terus berlangsung hingga akhir tahun nanti.
Sementara itu, Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas menyebut sembilan wilayah di DIY berstatus waspada kekeringan meteorologis karena mengalami hari tanpa hujan lebih dari 21 hari dengan prakiraan curah hujan rendah di bawah 20 mm per dasarian dengan peluang kekeringan mencapai 70%.
Kekeringan meteorologis adalah berkurangnya curah hujan dari keadaan normal dalam jangka waktu yang panjang dengan kurun waktu bulanan, dua bulanan, maupun lebih dari itu. Status waspada kekeringan meteorologis di DIY tersebut berdasarkan hasil pemantauan curah hujan hingga 10-6-2023.
Menanggapi fenomena alam ini, BNPB juga telah mengimbau masyarakat di Jawa, Bali, hingga NTB dan NTT untuk mewaspadai kekeringan. Untuk memitigasi kekeringan, BNPB akan mengupayakan teknologi modifikasi cuaca dengan membuat hujan buatan untuk mengisi maupun mempertahankan posisi air di berbagai waduk.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menegaskan, kekeringan akan sangat berdampak pada perekonomian Indonesia. BNPB juga telah mengimbau adanya peringatan dini maupun apel kesiapsiagaan terkait kekeringan yang berpotensi terjadi di sejumlah daerah. Khusus wilayah Sumatra, BNPB mengimbau kewaspadaan pada potensi karhutla.
Sektor lain yang pasti terdampak adalah pertanian, terutama yang masih mengandalkan sistem tadah hujan. Kekeringan akan menyebabkan ketersediaan air tanah berkurang sehingga bisa terjadi kelangkaan air bersih. Dampak selanjutnya, tentu saja masalah ketahanan pangan.
Ketahanan pangan kita masih bermasalah lantaran impor pangan yang menggila untuk berbagai komoditas, apalagi jika kekeringan benar-benar melanda. Sayangnya, perihal ini, Presiden Jokowi justru telah bersiap untuk meningkatkan volume impor beras, terbanyak dari India, Pakistan, Vietnam, dan Thailand. Pada saat yang sama, impitan ekonomi berupa inflasi dan krisis finansial mengintai rakyat dari berbagai sisi.
Sikap penguasa terhadap potensi bencana sejatinya makin menegaskan abainya mereka terhadap rakyat. Belum lagi minimnya mitigasi hingga tidak adanya kebijakan yang antisipatif terhadap dampak panjang masa kekeringan. Akibatnya, hajat hidup rakyat bisa-bisa malah tidak terpenuhi saat terpaksa harus berada di tengah bencana.
Sebagaimana terjadi pada korban gempa bumi Lombok dan Palu 2018 lalu, gempa Cianjur 2022, serta korban bencana alam lainnya. Oleh sebab itu, ketika di satu sisi bencana kekeringan mengancam sebagian besar rakyat, kepada siapa selama ini penguasa justru berpihak?
Lihat juga berbagai langkah brutal pembabatan hutan atas nama konversi lahan yang utamanya menjadi perkebunan kelapa sawit. Pemilik kebun-kebun sawit super luas itu toh para konglomerat dengan hak istimewa berupa hak guna usaha (HGU) yang nyaris abadi. Begitu pula dengan konsesi tambang, seperti batu bara, pemiliknya juga tidak jauh-jauh dari jejaring oligarki. Terlebih saat ini sedang tahun politik, tingkat kepentingan mereka untuk menyelamatkan roda ekonomi tentu akan makin kuat.
Kondisi serupa terjadi di sektor migas. Kilang-kilang minyak raksasa nyatanya bukan kita yang punya, melainkan asing dan aseng. Pantaslah elpiji kita impor sehingga harga di pasaran menjadi mahal, bahkan sering kali langka. Di sisi lain, penguasa beserta para importir tengah menadah lezatnya renten impor.
Nasib pahit lainnya juga bisa kita dapati di sektor usaha pembangkit listrik yang ternyata pemiliknya tidak hanya PLN, tetapi juga swasta (global maupun lokal). Akibatnya, stok listrik mengalami over suplai hingga mengharuskan penguasa menerbitkan kebijakan kompor induksi dan subsidi kendaraan listrik. Jelas ada jejaring produsen kompor dan kendaraan yang bisa ikut masuk di situ.
Bukankah ini semua wujud kebijakan masa bodoh penguasa terhadap rakyatnya? Ketika ada bencana kekeringan, misalnya, mereka hanya bisa mengimbau tanpa memberikan janji pasti penanggulangannya.
Islam akan ada solusi untuk mengatasi semua permasalahannya yang dihadapi umat semisal yang terjadi saat ini.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Berdasarkan hadis ini, penguasa sudah semestinya memberikan hal-hal yang memang menjadi hak warganya, apalagi jika itu termasuk kebutuhan primer (pangan, sandang, papan). Penguasa juga wajib menjamin berbagai hal lain yang menyangkut hajat hidup rakyat, yakni berupa jaminan hak hidup (nyawa), harta (ekonomi), keamanan, berbagai hak publik (kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan), pengelolaan SDA untuk rakyat, serta pencegahan dan penanggulangan bencana alam.
Bencana alam sendiri memang bagian dari fenomena alam yang pada saat terjadinya menuntut kesabaran dan keikhlasan kita. Namun, fenomena tersebut semestinya membuat kita juga introspeksi, tidak hanya secara individu, melainkan juga politik sehingga akan lahir kebijakan yang memihak kemaslahatan rakyat.
Coba cermati satu per satu. Alih fungsi lahan tentu perlu dilakukan, tetapi harus dilakukan secara tepat guna dan tepat sasaran. Juga bukan semata demi kepentingan para pemilik kapital, apalagi jika harus membabat hutan-hutan primer secara ugal-ugalan. Kita paham bahwa fungsi hutan primer selaku paru-paru dunia tidak akan pernah tergantikan dengan jenis hutan yang lain.
Semua itu semestinya membuat kita sadar bahwa sistem kapitalisme—yang terwadah oleh demokrasi—telah menzalimi masyarakat luas. Sistem tersebut layak ditinggalkan, bahkan dibuang. Solusinya, kembali pada aturan Islam dengan naungan Khilafah agar bumi ini berkah.
Allah Taala berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).
Juga dalam ayat, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS A-A’raf [7]: 96).
Wallahu a'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar