Hobi Flexing Keluarga Pejabat, Menjadi Pintu Pembuka Aib Mereka Sendiri


Oleh: Maria Ulfa Sujari

Belakangan bermunculan secara berkelanjutan berita tak sedap tentang anak dan istri pejabat yang hobi flexing atau pamer kekayaan di sosmed. Dari kasus Mario Dandy yang berujung pada pengusutan harta kekayaan ayahnya yang merupakan seorang pejabat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJIP) Jakarta Selatan, Rafael Aun Trisambodo. 

Kemudian menyusul flexing kekayaan yang dilakukan oleh istri dan anak dari salah satu pejabat Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Massdes Arouffy. Lalu kepemilikan harta yang janggal dari kepala kantor Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto yang akhirnya dicopot Kementerian Keuangan. Hingga soal kepemilikan harta yang janggal dan fantastis serta kebiasaan pamer harta dari keluarga kepala kantor bea dan cukai Makassar Andhi Pramono. Dan lain lain.

Mulai dari pamer berfoto dengan mobil mahal, jam tangan mahal, hingga tas yang bernilai puluhan juta bahkan ada yang bernilai 1,5 M. Bayangkan bisa dibangun berapa unit rumah dengan nilai tersebut? Atau untuk membantu mengatasi kesulitan ekonomi rakyat.

Bahkan istri almarhum Gus Dur, Ibu Sinta Nuriyah Wahid, -pun turut berkomentar soal pejabat flexing ini. Menurut beliau, harta kekayaan yang dipamerkan oleh para pelaku flexing belum tentu didapatkan dengan benar.

Beliau mengaku kesal terhadap perilaku keluarga pejabat suka pamer yang sedang marak saat ini. Kekayaan yang diperoleh dengan jalan yang tidak bersih sungguh tidak patut dibanggakan apalagi dipamer-pamerkan. Beliau mengaku tidak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran orang-orang yang hobi flexing tersebut. Beliau juga mengatakan bahwa sensitivitas kemanusiaan yang menjadi cermin kebudayaan saat ini sudah mulai terhapus. (Kompas.com)

Sungguh benar apa yang disampaikan oleh Istri Almarhum Gus Dur yang biasa dipanggil Nyai Sinta Nuriyah itu. Telah luntur sensitivitas kemanusiaan orang-orang yang punya hobi flexing kekayaan itu. Mereka tidak punya pertimbangan bagaimana perasaan orang-orang yang sedang kesulitan ekonomi jika menonton konten pamer harta yang mereka lakukan. Apalagi mereka adalah pejabat negara yang gajinya didapat dari uang rakyat, terutama pembayaran pajak.

Na'as sekali jika dibandingkan dengan kondisi rakyat yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi yang begitu menghimpit. Bahkan dalam keadaan sulit seperti ini pun rakyat tak luput dari tagihan wajib bayar pajak. Sungguh miris saat mendengar pejabat pegawai pajak yang Korupsi. Membuat rakyat jadi enggan untuk membayar pajak lagi.

Yang lebih menyakitkan hati, pejabat yang sudah ketahuan memiliki nilai pendapatan yang tak wajar, entah bagaimana prosesnya, ujungnya mereka hanya dinonaktifkan. Seharusnya kasus Korupsi diusut hingga tuntas sampai ke akar-akarnya dan diberikan hukuman yang seberat-beratnya.

Pengurusan umat itu semestinya diberikan kepada orang yang amanah dan diatur dengan aturan yang bisa menjamin seseorang tidak akan melakukan tindak Korupsi, seperti dalam Sistem pemerintahan Islam misalnya.

Dalam sistem pemerintahan Islam, atau Khilafah, pelaku korupsi akan dihukum dengan hukum Islam yang disebut ta'zir. Yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukumannya bisa digantung atau dipancung. 

Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89). Pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem saat ini.

Di samping itu, penyelenggaraan Hukum Islam memiliki dua sifat yaitu; Jawabir dan zawajir. Jawabir artinya mampu menggugurkan dosa, dan zawajir berarti mampu mencegah seseorang untuk melakukan dosa, karena hukumannya tegas. Saatnya umat mencampakkan hukum buatan manusia, dan kembali kepada ketaatan pada hukum aturan Allah Subhanahu Wata'ala demi menyongsong ampunan dan rahmat-Nya bagi negeri ini.

Wallahu a'lam bish-shawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar