Impor Beras Menggila, Peran Negara Tiada


Oleh : Ine Wulansari (Ibu Rumah Tangga)

Pemerintah Indonesia berencana impor beras sebanyak tiga ton tahun ini, hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi fenomena El Nino. Kebijakan ini dinilai tanpa perencaan yang matang dan dapat memberi dampak buruk pada petani. Seperti yang disampaikan Bhima Yudishtira Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies, kebijakan impor beras tersebut terlihat dilakukan tanpa persiapan yang matang. Karena, El Nino merupakan kondisi yang dapat diperkirakan dari tahun sebelumnya.

Ia pun mengatakan, sudah seharusnya pengadaan beras bulog ditingkatkan sejak tahun lalu. Juga menambah produksi sejak jauh-jauh hari dengan meningkatkan kualitas benih dan bantuan pupuk. Meskipun kebijakan impor beras bisa menjaga keamanan pangan dalam jangka pendek, akan tetapi bisa merugikan petani dalam jangka panjang. Apalagi jika impor dilakukan saat panen raya, sehingga berpotensi mengganggu harga gabah di tingkat petani. (antara.co.id, 17 Juni 2023)

Ketika pemerintah berencana melakukan impor, di Desa Wargabinangun, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon tengah mengadakan panen raya. Melalui panen raya ini, diharapkan masyarakat setempat semakin sejahtera. Mengingat, Kabupaten Cirebon menjadi salah satu lumbung padi nasional. (inilahkoran.id, 18 Juni 2023)

Melihat fakta tersebut, sangat jelas langkah pemerintah untuk mengimpor beras merupakan kebijakan yang terburu-buru juga mengabaikan nasib para petani. Sebab, gejala El Nino yang dijadikan tumbal hanya sekadar alasan agar stok beras dalam negeri tidak kekurangan. Padahal kenyataannya, banyak daerah yang sedang panen raya. Artinya, bisa jadi ketersediaan beras saat ini masih aman.

Alih-alih mendorong kesejahteraan petani, impor beras yang dicanangkan pemerintah justru akan berdampak pada kemiskinan dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Impor yang dilakukan demi cadangan beras yang digadang-gadang sebagai persiapan menghadapi El Nino, sejatinya mengakibatkan petani tidak memperoleh apa-apa. Meskipun dalam kondisi panen raya, justru yang ada kesenjangan pendapatan yang kian menganga.

Jika kebijakan ini terus diberlakukan, bagaimana mungkin para petani mau menanam padi kembali. Sebab pemerintah mematikan daya minat dan merugikan secara materi. Ditambah lagi, minat generasi muda pun untuk menjadi petani hanya angan-angan belaka. Apabila ini terus berlangsung, bisa jadi pertanian di Indonesia akan mati bahkan menghilang. Sangat disayangkan bukan, negeri agraris yang mampu menghasilkan keberlimpahan beras dimatikan secara sepihak oleh penguasa negeri ini. Seandainya saja dukungan dan bantuan diulurkan pemerintah untuk petani, tentu saja negeri jambrud khatulistiwa ini tidak akan kekurangan pangan dan petani akan hidup sejahtera.

Namun hal tersebut sekadar ilusi semata. Kenyataannya tampak tarik-menarik kepentingan antara politik pangan dan politik dagang. Maksud politik dagang yakni beli beras di luar untuk dijual di dalam negeri. Jika cara ini digunakan, tentu saja para petani yang menjadi korbannya. Di mana kendali politik dicampur dengan kendali ekonomi. Inilah yang dinamakan oligarki.

Posisi negara pun kian jelas ada di pihak oligarki bukan petani. Bahkan cenderung tunduk pada oligarki. Sungguh wajar ini terjadi sebab negara mengadopsi sistem yang rusak dan merusak yakni Kapitalisme Liberalisme. Negara yang seharusnya bertanggung jawab terhadap seluruh kesejahteraan rakyat, yang ada justru menjadi partner sejati para kapital. Pada akhirnya kebijakan pun condong pada kepentingan mereka sedangkan rakyat diabaikan.

Inilah yang dinamakan Liberalisasi pangan. Agenda negara adidaya yang mencengkeram negeri-negeri pengekor seperti Indonesia, wajib melaksanakan setiap rencana yang telah dibuat. Penindasan ini merupakan praktik ekonomi Kapitalisme, di mana negara besar memangsa negara kecil. 

Islam merupakan agama sempurna yang dibawa oleh Rasul yang mulia, menerangi alam semesta dengan aturannya yang paripurna. Dengannya, segala persoalan kehidupan dapat diselesaikan dengan adil. Islam mewajibkan negara menjamin seluruh kebutuhan asasi rakyat, termasuk pangan di dalamnya. Pemenuhan kebutuhan ini bersandar pada asas akidah dan syariat Islam. Oleh karena itu, pengadaan pangan tidak berlangsung secara liberal, melainkan sesuai syariat.

Seperti yang digambarkan pada salah satu hadits Rasulullah saw.: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, seorang pemimpin negara senantiasa mampu menjalankan amanahnya untuk menyejahterakan rakyat. Ia tidak boleh bergantung pada kepada pihak lain, tak terkecuali pangan. Sebab hal tersebut akan membuat umat Islam berada dalam hegemoni asing. Sebaliknya, seorang pemimpin dalam Islam akan mengoptimalkan pertanian dalam negeri agar pasokan beras dan komoditas lainnya tidak mengalami kekurangan.

Beberapa langkah yang akan ditempuh oleh Dualah untuk memajukan produk dalam negeri sebagai berikut. Pertama, perluasan lahan pertanian dengan menghidupkan tanah mati. Kedua, peningkatan pertanian dengan penggunaan alat-alat canggih dan modern, tentu saja alat tersebut hasil karya dalam negeri. Ketiga, melakukan penelitian untuk memperoleh bibit unggul yang dapat menunjang hasil pertanian secara maksimal. Keempat, negara memberikan bantuan secara cuma-cuma baik bibit, pupuk, dan lainnya. Kelima, negara memastikan tidak ada gangguam yang dapat menghambat peredaran pangan di pasar, seperti monopoli, penimbunan, dan penipuan.

Semua langkah-langkah di atas akan mampu dilaksanakan jika Islam dan aturannya diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Tentu saja ditangan Daulah Islam umat akan kuat, jaya, dan sejahtera. Sebab, paradigma pemimpin dalam Islam, sebagai pengurus dan penanggung jawab urusan rakyat.

Wallahua'lam bish shawab.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar