Kesenjangan Pencari Kerja dan Lapangan Kerja, Ada Apa di Negeri Kita ?


Oleh : Hanum Hanindita, S.Si.

Problem pengangguran memang masih menjadi PR besar bagi pemerintah di Indonesia. Padahal, pengangguran dapat sejalan dengan angka kemiskinan. Sedangkan kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu berbagai masalah sosial, sekaligus menjadi ukuran minimnya tingkat kesejahteraan. 

BPS mencatat pada 2022, jumlah pencari kerja sebanyak 937.176 orang, sedangkan lowongan kerja hanya berjumlah 59.276. Artinya 1 lowongan kerja diperebutkan oleh sekitar 16 warga. Jumlah tersebut belum ditambah pekerja asing yang keberadaannya makin didukung regulasi. Per Februari 2023, BPS mencatat masih terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Walaupun dari tahun ke tahun pencari kerja makin turun, tetapi jumlah lowongan kerja pun jauh makin menurun. (ekonomi.republika.co.id, 05/05/23)


Kegagalan Negara Menyediakan Lapangan Kerja yang Cukup untuk Rakyatnya

Berbagai cara pun sudah dilakukan untuk menangani masalah pengangguran. Namun, tetap saja, dari rezim ke rezim pengangguran terus jadi problem klasik dan sulit diselesaikan hingga sekarang. Hal ini sejalan dengan kondisi ekonomi makro dunia yang makin hari makin kacau. Sebelum pandemi saja, dunia sudah kerap kali dilanda krisis, bahkan beberapa kali memasuki fase resesi. Kondisi ini diperparah dengan pandemi Covid-19 yang menghancurkan perekonomian dunia dan atmosfer untuk berusaha. Pembangunan nyaris terhenti dan banyak proyek berakhir mangkrak. Walhasil, lapangan kerja yang sudah sempit makin sulit didapat. Bahkan, gelombang besar PHK terjadi di mana-mana, termasuk melanda perusahaan-perusahaan besar. Hal ini terus terjadi hingga sekarang. Padahal, pandemi nyaris berakhir dan sedang bertransisi menuju endemi. Masalahnya, selama ini pemerintah hanya fokus pada aspek ketersediaan tenaga kerja, bukan pada menciptakan lapangan kerja. 

Pendidikan vokasional diambil sebagai langkah di tengah penerapan paradigma kurikulum merdeka. Itupun lebih fokus di level SMK dengan konsep seadanya. Ada pula dengan program Kartu Prakerja yang diluncurkan Presiden Jokowi pada April 2020. Dana sebesar Rp21,1 trilun dikucurkan untuk proyek yang terkait perlindungan sosial ini. Sebanyak 16,4 juta warga Indonesia diklaim telah mengikuti program Kartu Prakerja, dan 5,6 juta di antaranya diklaim sudah bekerja. Namun semua itu tidak menunjukkan hasil yang nyata. Dari sini nampak jelas bahwa, problem terbesar maraknya pengangguran yang berdampak pada minimnya kesejahteraan hari ini adalah sempitnya akses masyarakat terhadap lapangan kerja serta buruknya atmosfer untuk berusaha. Ini semua menunjukkan gagalnya negara dalam menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk rakyatnya.


Kapitalisme Menciptakan Kesenjangan

Dirangkum dari berbagai sumber, setidaknya ada beberapa sebab pengangguran terus menjadi persoalan di sistem ini. Pertama, sistem ini fokus kepada keuntungan individu pemilik. Sebuah perusahaan akan terus menekan biaya produksi agar mencapai keuntungan yang maksimal, sedangkan upah pekerja adalah biaya produksi yang paling mudah untuk ditekan. Akhirnya, upah rendah dan PHK disebut sebagai bentuk penghematan perusahaan. Inilah yang akan makin mengurangi jumlah lowongan kerja.

Kedua, persaingan bebas antarperusahaan akan menciptakan kondisi “saling menggilas”. Perusahaan yang memiliki modal besar akan menggilas perusahaan kecil sehingga dunia usaha hanya dikuasai oleh korporat raksasa. Pengusaha kecil yang perusahaannya hancur tergilas pada akhirnya akan mengantre untuk menjadi pekerja.

Ketiga, negara abai. Penguasa menyerahkan seluruh urusan umat kepada swasta termasuk lapangan pekerjaan. Hasilnya kebijakan untuk menyerap tenaga kerja fokus pada pertumbuhan satu perusahaan. Contohnya, saat pemulihan ekonomi pasca-Pandemi Covid-19, pemerintah malah lebih banyak menggelontorkan dana kepada perusahaan besar dengan alasan agar perusahaan tersebut mampu bertahan dan tidak mem-PHK karyawannya ketimbang menggelontorkan dana untuk rakyat yang butuh suntikan dana untuk modal usaha. Sungguh kebijakan yang aneh dan menunjukkan keberpihakan penguasa kepada perusahaan besar.

Keempat, situasi perekonomian yang dipengaruhi oleh kondisi internasional. Hal ini merupakan akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang menjadikan Indonesia tidak memiliki kemandirian dan kedaulatan. Peran negara dalam sistem ini pun hanya sebatas regulator. Aset-aset kekayaan alam yang sejatinya melimpah ruah, tidak bisa dimiliki sepenuhnya untuk modal menyejahterakan rakyat. Kebijakan ekonomi bahkan politiknya disetir dan diarahkan oleh kekuatan kapitalisme global. Kekuasaan oligarki demikian mencengkeram hingga situasi ekonomi pun sangat rentan dipermainkan oleh kepentingan negara-negara besar.

Jadi, ketika dikatakan rakyat Indonesia sulit untuk menciptakan pekerjaan secara mandiri, sesungguhnya karena iklim usahanya tidak mendukung. Rakyat dengan keterbatasan modalnya tentu akan kesulitan bersaing dengan perusahaan besar yang dengan mudah mengakses modal untuk menambah skala usahanya. Dari sini, jelaslah bahwa yang menyebabkan kesenjangan yang makin parah antara jumlah pencari kerja dan tersedianya lowongan kerja adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini tidak menjadikan negara sebagai pihak  yang bertanggungjawab penuh dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Efek buruknya bukan hanya berbicara lingkungan yang rusak karena pembangunan yang tidak bertanggung jawab, tetapi juga terciptanya kemiskinan yang makin akut. Dari kemiskinan akan lahir persoalan lainnya, seperti kelaparan, kebodohan, hingga kriminalitas.


Islam Menjamin Ketersediaan Lapangan Kerja yang Memadai

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi Islam terbukti mampu menyejahterakan seluruh warganya hingga berabad-abad lamanya. Di dalam sistem Islam, pemimpin atau negara bertugas sebagai pengurus dan penjaga. Adanya dimensi akhirat pada kepemimpinan Islam membuat seorang penguasa akan takut jika zalim dan tidak adil kepada rakyat. Mereka akan berusaha maksimal mengurus dan menyejahterakan rakyat dengan jalan menerapkan syariat Islam sebagai tuntunan kehidupan. 

Inilah beberapa langkah yang akan dilakukan oleh penguasa yang menerapkan sistem Islam untuk memberantas pengangguran dan menyejahterakan rakyatnya. Pertama, Islam menetapkan mekanisme jaminan kesejahteraan dimulai dari mewajibkan seorang laki-laki untuk bekerja. Namun, hal ini tentu butuh support system dari negara, berupa sistem pendidikan yang memadai sehingga seluruh rakyat khususnya laki-laki memiliki kepribadian Islam yang baik sekaligus ketrampilan yang mumpuni.

Kedua, Islam mengharamkan barang milik umum dikuasai individu sebab barang tersebut milik seluruh rakyat. Barang tersebut harus dinikmati oleh rakyat. Negara hanya boleh mengelolanya dan harus dikembalikan kepada rakyat. SDA yang melimpah dan dikelola negara akan benar-benar disalurkan kepada rakyat. Jika pengelolaan SDA yang melimpah ada di tangan negara, hal ini akan sangat menyerap lapangan pekerjaan. Saat ini, dimana kapitalisme yang berkuasa, pengelolaan diserahkan pada swasta, swasta bebas menentukan asal tenaga kerjanya. Walhasil, tenaga kerja asing masuk pada saat warga negara menganggur.

Ketiga, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang halal serta suasana yang kondusif bagi masyarakat untuk berusaha. Caranya tidak lain dengan membuka akses luas kepada sumber-sumber ekonomi yang halal, dan mencegah penguasaan kekayaan milik umum oleh segelintir orang, apalagi asing. Sektor-sektor yang potensinya sangat besar, seperti pertanian, industri, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya akan digarap secara serius dan sesuai dengan aturan Islam. Pembangunan dan pengembangan sektor-sektor tersebut dilakukan secara merata di seluruh wilayah negara sesuai dengan potensinya.

Keempat, Negara pun dimungkinkan untuk memberi bantuan modal dan memberi keahlian kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, mereka yang lemah atau tidak mampu bekerja akan diberi santunan oleh negara hingga mereka pun bisa tetap meraih kesejahteraan. Layanan publik dipermudah, bahkan digratiskan sehingga apa pun pekerjaannya tidak menghalangi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar, bahkan hidup secara layak. Dengan begitu, kualitas SDM pun akan meningkat dan siap berkontribusi bagi kebaikan umat.

Kelima, Negara akan menerapkan politik industri yang bertumpu pada pengembangan industri berat. Hal ini akan mendorong perkembangan industri-industri lainnya hingga mampu mencerap ketersediaan sumber daya manusia yang melimpah ruah dengan kompetensi yang tidak diragukan sebagai output sistem pendidikan Islam.

Semua ini bisa dijalankan manakala kembali pada paradigma kepemimpinan Islam yang berperan sebagai pengurus dan penjaga. Seorang pemimpin negara akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap orang yang dipimpinnya. Jika ada satu saja rakyat yang menderita karena buruknya pengurusan mereka, pemimpin harus siap mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Swt. Sungguh, telah terukir dalam sejarah betapa Islam mampu menyejahterakan rakyatnya hingga berabad-abad lamanya. Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar