Maraknya Bullying, Generasi Berjiwa Preman?


Oleh : Nikita Sovia S.Pd

Bullying makin menjamur akhir-akhir ini. Pelakunya juga banyak dari kalangan pelajar. Tidak tanggung-tanggung, sebagian bahkan berasal dari kalangan sekolah dasar. Maraknya sikap layaknya preman tentu sangat mengkhawatirkan. Mengapa perilaku amoral ini terus bermunculan?

Seperti kasusnya MHD (9) yang tewas setelah dirundung kakak kelasnya. Siswa di salah satu SD Negeri di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini, meninggal setelah tiga hari kritis di rumah sakit. Sebelum meninggal, ia mengaku jika dikeroyok oleh kakak kelasnya di sekolah.

Setiap tahunnya mengalami peningkatan, terus bermunculan kasus perundungan pada anak. Sepanjang 2022, KPAI mencatat ada kenaikan signifikan kasus perundungan, yakni sekitar 226 kasus atau meningkat empat kali lipat dibandingkan 2021. Perundungan di sekolah berpotensi terus terjadi. Survei Mendikbudristek memperkuat hal ini. Survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia di level SD/Madrasah hingga SMA/SMK terhadap 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru menyatakan bahwa terdapat 24,4% potensi perundungan di lingkungan sekolah.

Miris sekali, pendidikan negeri ini ternyata turut melahirkan pelajar berjiwa preman. Mereka tidak memikirkan efek dari tindakannya dan sekadar demi kepuasan sesaat. Yang kita lihat ini tampak tidak masuk akal, mana mungkin pelajar yang memiliki latar belakang pendidikan terbaik bisa berkelakuan seperti preman?

Jika terjadi pada satu atau dua orang, mungkin wajar dan dianggap sebagai kesalahan individu. Namun, jika perilaku seperti ini marak dan merajalela, tentu ini menunjukkan ada kesalahan sistemis, salah satunya sistem pendidikan saat ini.

Sebagaimana kita ketahui, kurikulum pendidikan di negeri ini setiap waktu terus berganti, tetapi SDM yang dihasilkan masih jauh dari harapan. Ini karena meski kurikulum terus berganti, landasan rujukan pembuatannya adalah sama, yakni sekularisme.

Sekularisme membuat pendidikan agama sebatas ibadah, juga membuat pendidikan agama terpisah dengan pendidikan umum. Akhirnya, siswa harus memilih, jika ingin memahami ilmu agama, bersekolah di madrasah. Akan tetapi, jika ingin memahami ilmu dunia, bersekolahnya di sekolah umum. Di sekolah umum memang ada pelajaran agama, tetapi waktu dan materi yang disediakan tidaklah banyak dan mendalam. Hasilnya, anak didik tidak memiliki landasan akidah yang kuat.

Jauhnya anak didik dari agama membuat mereka menjadi pribadi yang tidak mampu mengontrol diri. Mereka mudah emosi, bahkan tanpa pikir panjang cenderung reaktif pada hal yang remeh saja. Inilah yang menyebabkan mereka melakukan perundungan (Bullying). Otak encer, berpendidikan tinggi dan bergengsi, tetapi kepribadian jauh dari sifat manusiawi. Sistem sekuler telah membawa generasi saat ini ke dalam jurang kerusakan yang sangat parah. Jika kita bercermin pada peradaban Islam, profil generasi yang dihasilkan sungguh sangat bertolak belakang.  

Dalam sistem Islam, akidah Islam adalah landasan dasar dalam pendidikan. Tidak heran jika pada masa Islam tampil sebagai peradaban dunia, telah lahir banyak individu berkepribadian mulia, berakhlak karimah, dan unggul dalam ilmu dunia. Tujuan utama sistem pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam, terdiri dari pola pikir dan sikap Islam. Pemikiran Islam secara langsung akan memengaruhi pemahaman, lalu akan memengaruhi tingkah laku seseorang. Dengan demikian, pemahaman Islam seorang muslim tentu akan mendorongnya untuk bersikap sesuai pandangan Islam. 

Kurikulum pendidikan yang diterapkan juga akan dibuat sistematis. Akidah Islam diberikan sejak usia dini dan akan menjadikan anak didik siap taat ketika balig nanti. Jadi, ketika sudah di jenjang pendidikan menengah dan tinggi, mereka sudah bisa membedakan halal-haram dan terpuji-tercela berdasarkan Islam, sekaligus mampu mengontrol diri dan jauh dari tindakan kriminal.

Sayangnya, konsep pendidikan seperti ini tidak dapat diterapkan pada sistem sekarang yang mengambil sekularisme yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Konsep ini hanya dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam yang berlandaskan akidah Islam. Jadi, jika kita ingin pelajar tidak lagi bersikap seperti preman, kuncinya hanya dengan menerapkan sistem Islam. Wallahualam.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar