Oleh : Setyowati Ratna Santoso, S.Si (Guru Madrasah di Surabaya)
Kementrian Mendikbudristek mengusulkan program marketplace guru menuai berbagai pro dan kontra, program marketplace guru ini digagas sebagai solusi mengatasi kekurangan tenaga pendidik di Indonesia, dengan adanya platform marketplace nantinya pihak sekolah dapat melakukan check out kebutuhan guru secara langsung di platform market place guru. Tidak semua guru bisa mendaftar di platform marketplace ini, hanya guru yang memenuhi dua kriteria yaitu guru honorer yang sudah lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan guru yang telah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) prajabatan, keduanya berhak mengajar di sekolah di seluruh Indonesia.
Pengunaan diksi "marketplace" seakan merendahkan martabat dan muruah guru, profesi guru yang mulia ditempatkan layaknya barang dagangan.
Apabila dicermati program ini tidak menjawab persoalan mendasar yang melandasi tujuan digagasnya program ini. Persoalan perekrutan guru misalnya dengan adanya program ini justru akan berpotensi melahirkan nepotisme dan transaksi "sogok menyogok" karena sekolah diberikan keluasaan memilih guru yang diinginkan. Selain itu marketplace guru ini juga tidak akan mampu mengatasi persoalan penyebaran guru yang tidak merata, karena guru yang mendaftar platform marketplace tidak akan mau mendaftar di sekolah pelosok yang kesejahteraan tidak terjamin dan fasilitas sekolah pelosok yang kurang memadai berbeda dengan sekolah kota yang cukup lengkap dan memadai yang memudahkan guru dalam mengajar. Platform ini juga akan semakin menciptakan kesenjangan antar sekolah karena hanya sekolah dengan fasilitas terbaik yang memiliki kesempatan lebih besar untuk merekrut guru dengan kualitas terbaik, sedangkan sekolah dengan fasilitas kurang harus rela menerima sisa dari guru yang ada.
Program ini menjadikan pendidikan layaknya komoditas yang menyerahkan pendistribusian guru kepada pasar, hal ini akan semakin menimbulkan ketimpangan bahwa pendidikan berkualitas dan guru berkualitas hanya bisa diakses oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan sedangkan masyarakat di pelosok masih mengalami keadaan yang sama yaitu minimnya jumlah dan kualitas guru.
Selama ini sekolah hanya berfokus kepada prestasi anak didik untuk menjadi ukuran agar disebut sekolah berkualitas yang akan menarik masyarakat untuk memilih sekolah dengan segudang prestasi padahal sejatinya tujuan utama pendidikan adalah mendidik generasi agar menjadi manusia yang bermanfaat yang memilki ilmu sekaligus memilki sikap yang beradab. Maka tidak dipungkiri generasi saat ini menyandarkan segala sesuatu kepada materi serta minim adab karena paradigma pendidikan yang selama ini dibangun dengan sandaran materi juga, termasuk program marketplace ini yang bukan menjadi solusi akan tetapi justru menimbulkan masalah baru dalam dunia pendidikan.
Islam sebagai sistem kehidupan telah mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk dalam masalah pendidikan. Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan dasar yang harus menjadi tanggung jawab negara. Pendidikan harus bisa diakses seluruh warga tanpa diskriminasi, seluruh warga negara wajib mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas bahkan bisa diakses secara gratis.
Negara dalam naungan sistem Islam akan membangun infrastruktur untuk kemaslahatan umat bukan bertumpu untuk mendapatkan keuntungan sebagaimana saat ini, sekolah dijadikan komoditas untuk menghasilkan keuntungan. Begitu juga dengan kesejahteraan guru, posisi guru sangat mulia dalam Islam diberikan penghargaan dan perhatian serius kesejahteraan guru bahkan diberikan gaji yang begitu besar bisa mencapai 40 Dinar atau setara 156 juta. Fasilitas pendidikan juga dibangun di berbagai daerah serta banyak didirikan perpustakaan yang megah yang mampu menampung 400.000 pengunjung yang diminati banyak pelajar dari mancanegara.
Demikianlah hanya sistem pendidikan Islam yang ditopang dengan penerapan sistem kehidupan Islam yang mampu memberikan solusi tuntas tanpa menimbulkan permasalah baru dalam dunia pendidikan yang berpengaruh besar pada nasib generasi masa depan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar