Oleh : Tita Anarita
Tahun 2021 ada 2 juta perempuan yang menikah dalam setahun. Dari 2 juta tersebut yang hamil di tahun pertama ada 1,6 juta dan yang stunting sebanyak 400 ribu (Sehatnegriku.kemkes.go.id). Menurut laporan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Lementrian Kesehatan, angka stunting anak balita nasional mencapai 24,4 % pada tahun 2021. (databoks, 19 Januari 2023). Menurut data SSGI juga, saat ini Indonesia salah satu negara yang angka prevalensi stunting cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain yang berpendapatan menengah. Pada tahun 2022 angka stunting Indonesia 21,6 %.
Stunting masih menjadi isu besar bagi bangsa Indonesia. Upaya menurunkan angka stunting terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, pemerintah maupun swasta. Pencegahan stunting salah satu yang diprioritaskan oleh pemerintah karena memang prevalensinya cukup tinggi. Pada tahun 2019 saja bertepatan dengan tingginya angka covid 19 mencapai 27,68 % dan beriringan dengan tingginya angka stunting yang mencapai 27,6% (Suaramerdeka.com 7 juli 2021).
Dengan demikian pemerintah kencang merancang program-program untuk pencegahan stunting salah satunya pada kelompok remaja yang dianggap menjadi umur potensial untuk mencegah stunting. Program yang sedang dilaksanakan adalah kerjasama antara BKKBN, Kementrian Kesehatan dengan Kementrian agama untuk tercapainya target nasional prevalensi stunting sebesar 14% pada tahun 2024 (diy.kemenag.go.id) melalui kampanye - kampanye kepada para remaja pra nikah serta melalui kursus calon pengantin. Selain itu juga BKKBN dengan Geneerasi Berencana (GENRE)-nya memberikan edukasi melalui tentang pernikahan dini, Triad KRR (Narkoba, sex bebas dan HIVAIDS). Sementara di Kemenkes dengan programnya yang disebarkan keseluruh puskesmas melalui Posbindu (Posyandu Remaja), selain memberikan edukasi, menangani pasien remaja yang sudah terkena (kuratif). Puskesmas juga melaksanakan program Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) dan Gerakan minum vitamin untuk para remaja. Dari semua itu adalah untuk lebih mempersiapkan remaja (putri) sebagai calon ibu agar tidak mengalami anemia, lebih sehat dan siap fisik dan mentalnya jika melahirkan, serta untuk mengedukasi tentang pola hidup sehat.
Data Riskesdas tahun 208 menunjukkan bahwa 8,7 persen remajausia 13 – 15 tahun dan 8,1 persenremaja usia 16 – 18 tahun berada dalam kondisi kurus dan sangat kurus. Sedangkan pada Global Health Survei tahun 2015menunjukkan penyebab tingginya angka stunting antara lain karena remaja jarang sarapan, 93 persen kurang makan serat sayur dan buah, ditambah lagi angka pernikahan remaja di Indonesia tinggi, yang dianggap berkontribusi pada angka kejadian stunting (tempo.co, Jakarta)
Dari hal tersebut remaja belum paham pentingnya gizi dan stimulasi yang tepat, mungkin pengetahuan mereka terbatas tentang makanan yang begizi. Untuk mengurai permasalahan agar siklus stunting ini tidak terus melaju kita harus menelaah apakah masyarakat tidak mampu untuk membeli makanan bergizi atau memang masyarakat khususnya remaja tidak terbiasa makanan yang begizi karena saat ini gaya hidup konsumerisme menjadi trend, sehingga mereka terbiasa dengan makanan jajanan yang mungkin jauh dari standar gizi baik. Misalnya karena bahan pengawetnya, penyedapnya dll.
Jika saja permasalahannya tidak mampu membeli (miskin), maka penyelesaiannya bukan dengan gerakan pemberian vitamin pada remaja calon ibu, tetapi bagaimana caranya pemerintah mampu menyuplai makanan kepada yang tidak mampu atau bagaimana caranya meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar mampu membeli makanan yang layak gizinya. Apakah itu memudahkan lapangan pekerjaan kepada para kepala keluarga yang tidak bekerja atau penghasialan nafkahnya kurang. Stunting sebetulnya mungkin tidak hanya terjadi pada yang tidak mampu saja, tetapi bisa juga terjadi keluarga yang mampu. Oleh karena itu edukasi harus dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif, semua sector terlibat baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Sedangkan jika masalahnya adalah “habit” masyarakat atau remaja mengkonsumsi makanan tidak sehat atau tidak bergizi, berarti pemerintah harus memiliki program yang mampu bagaimana mengedukasi remaja agar terbiasa makanan bergizi bukan makanan “junk food”.
Stunting Adalah Persoalan Yang Sistemik
Stunting Bukan sekadar minimnya edukasi, tapi ini adalah persoalan sistemis. Secara internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga menyebabkan berkurangnya GDP (Gross Domestic Product) dan akan mengurangi pendapatan pekerjasampai 20%, selain itu juga stunting menyebabkan berkurangnya 10% dari total pendapatan seumur hidup yang akan menyebabkan kemiskinan (Buku ringkasan stunting, TNP2K). Jadi pengentasan stunting itu tidak bisa secara parsial tetapi harus secara holistic, bukan harus gencar mengedukasi saja tetapi juga pemerintah seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan membatasi pengaruh buruk yang akan menjadi ancaman terhadap gaya hidup masyarakat.
Permasalahan kemiskinan menjadi sistemik manakala diselesaikan dengan solusi saat ini. Yang sedianya ingin menyejahterakan keluarga, tapi malah sosok ibu yang diberdayakan secara ekonomi. Dalam kehidupan islam, upaya mengatasi kemiskinan bertujuan juga untuk menyelamatkan ’akidah, akhlak, dan amal perbuatan; memelihara kehidupan rumah tangga, dan melindungi kestabilan dan ketentraman masyarakat. Islam menganjurkan agar setiap individu memperoleh taraf hidup yang layak di masyarakat.
Tidak bisa dibenarkan menurut pandangan Islam adanya seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam dalam keadaan kelaparan, berpakaian compang-camping, meminta-minta, menggelandang atau membujang selamanya. Diantaranya ada beberapa cara yang dianjurkan oleh islam agar mencapai hidup yang layak yaitu bekerja, ”Dia-lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” [al-Mulk/67:15]
Mencukupi atau menolong keluarganya yang lemah, ”…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah…” [al-Anfâl/8:75]) dan zakat
Selain daripada itu semua, kewajiban mencukupi nafkah bagi seorang suami jika ia tidak mampu, maka anggota keluarga/kerabat terdekatnya diwajibkan untuk membantu. Lantas, jika kerabat pun tidak mampu, maka akan diambil alih negara. Karena pemenuhan terhadap kebutuhan pokok itu pada dasarnya kewajiban negara kepada warganya. Kebutuhan dasar, baik sandang, papan, pangan, begitu pun juga pendidikan dan kesehatan kesemuanya wajib dipenuhi oleh negara. Negara melalui Baitul Maal (kas negara) akan menyalurkan bantuan terhadap keluarga-keluarga yang miskin secara cepat dan tepat, sehingga dipastikan tidak ada yang sampai kekurangan bahkan kelaparan, sehingga kondisi stunting pada anak-anak akan bisa dicegah secara massif.
Mudah- mudahan umat Islam menyadari bahwa solusi masalah stunting membutuhkan upaya sistemis yang membutuhkan peranan negara dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, juga pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas.
Stunting tidak hanya sebatas kurangnya pengetahuan terhadap pemenuhan gizi, tapi karena lebih kondisi kemiskinan yang memaksa warga ada pada kondisi kekurangan dan gempuran gaya hidup. Maka, wajar kondisi gizi buruk itu terus ada selama kemiskinan ini tidak diselesaikan. Tentu semua ini hanya dapat terwujud dan diselesaikan dengan tuntas ketika Islam kaffah (menyeluruh) diterapkan oleh negara , juga dijadikan aturan bagi seluruh bidang kehidupan.
Wallohu’alam bi ash-showwab. (*)
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar