Berantas Tuntas Korupsi Di Era Kapitalis, Mungkinkah?


Oleh : Iis Kurniawati, S. Pd.

Kasus korupsi seakan tidak pernah ada habisnya. Ibarat kata pepatah mati satu tumbuh seribu. Belum selesai kasus yang satu, muncul kembali kasus-kasus korupsi yang lainnya. Dan mirisnya yang menjadi pelaku korupsi adalah oknum-oknum pejabat pemerintahan yang notabene mereka disumpah dalam jabatannya dan harus menjunjung tinggi kode etik. Mereka yang seharusnya menjadi pelayan publik karena telah digaji oleh rakyat, dalam realitasnya malah menghianati rakyat dengan melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti kejadian yang makin marak hingga saat ini, yakni melakukan tindakan korupsi. Dari hari ke hari oknum pejabat yang melakukan tindakan korupsi ini semakin banyak dan pelakukanya mulai dari pejabat tinggi di pemerintahan pusat hingga perangkat pemerintahan yang paling bawah seperti perangkat desa.

Belakangan ini ramai pemberitaan dan perdebatan terkait tren kenaikan kasus korupsi dana desa yang jika diamati hal tersebut terjadi sejak UU Desa diterapkan pada tahun 2015. Mengutip dari djkp.kemenkeu.go.id, Prioritas penggunaan dana desa diarahkan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP) untuk satu tahun anggaran. Selain itu, kegiatan lain yang dibiayai dana desa dalam pelaksanaannya diutamakan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya atau bahan baku lokal, serta diusahakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat desa setempat. Namun yang terjadi di lapangan nyatanya dana desa seolah telah menjadi lahan basah untuk korupsi. 

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), di sepanjang tahun 2022, kasus korupsi di tingkat desa merupakan kasus yang terbanyak ditangani oleh aparat penegak hukum. Setidaknya tercatat ada 155 kasus korupsi di sektor ini dengan jumlah tersangka 252 sepanjang tahun lalu. Sejak UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa terbit, tren kenaikan perihal kasus korupsi di desa terjadi. seperti yang belakangan terjadi kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten menambah daftar Panjang kasus korupsi oleh kepala Desa. Korupsi Dana Desa yang dilakukan Akiani menyebabkan kerugian negara dengan totalnya mencapai Rp988 juta. Ia menggunakan Dana Desa untuk kebutuhan pribadinya. Seperti untuk pesta di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan. Uang yang Akiani gunakan untuk berfoya-foya tersebut seharusnya digunakan untuk kegiatan pembangunan infrastruktur di Desa Lontar yakni rabat beton, gapura wisata, dan tembok penahan tanah atau TPT. Saat ini Akiani ditahan untuk selanjutnya diadili di pengadilan Negeri Serang. Ia dijerat dengan pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. https://tirto.id  (30/06/2023)

Masalah korupsi yang terjadi saat ini bukan lagi masalah kasuistik yang hanya terjadi di salah satu bidang atau wilayah tetapi merupakan kasus sistemik. Dimana hamper di berbagai bidang atau wilayah terjadi kasus korupsi. Tak hanya di daerah Serang Banten, mantan Kepala Desa Sundamekar, ditetapkan sebagai tersangka. Ia terjerat kasus korupsi anggaran dana desa senilai Rp558 juta pada tahun 2019. Dilansir dari detikJabar, Kamis (2/2/2023) Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Sumedang Inal Sainal Saiful menjelaskan, pihaknya sudah menerima pelimpahan berkas dan tersangka berinisial SH dari tim penyidik Tipikor Polres Sumedang pada selasa (31/1/2023). https://news.detik.com

Selain carut marut korupsi dana desa, wacana revisi UU Desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun menambah resiko yang lebih tinggi dalam meningkatnya korupsi di tingkat desa. Apalagi mengingat masa jabatan yang lebih panjang sangat rentan dalam penyalah gunaan jabatan Banyak kalangan menilai jika revisi UU ini dilakukan maka akan rentan membuka celah-celah korupsi bagi oknum pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya. Dana Desa yang seharusnya diperuntukkan untuk kemajuan dan pembangunan desa rentan untuk diselewengkan. Pengelolaan dana desa banyak yang bermasalah, namun ironisnya masih berani minta tambah. Alokasi dana banyak yang tidak tepat sasaran dan minim pemanfaatan.  Kasus korupsi di negeri ini terus terjadi tanpa henti, penyelewengan dana desa dan polemik ditingkat desa akan terus terjadi selama sistem demokrasi kapitalisme tetap diadopsi. Sistem ini nyata gagal dalam membendung tindak korupsi, sebaliknya menjadi celah korupsi. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, aturan UU bisa direvisi sesuai dengan kepentingan, minim pengawasan, dan penegakkan sanksi hukum yang tidak tegas bagi pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera. Sehingga korupsi yang terjadi di tingkat pusat hingga desa semakin menjadi-jadi. 

Sistem demokrasi  membuka celah korupsi semakin lebar karena pada dasarnya mekanisme pemilihan kepala desa tidak jauh berbeda dengan pemilihan pilkada dan pemilihan lainnya yang rentan dengan politik uang. Pemilihan kandidat pada model pemilihan di sistem demokrasi kebanyakan melihat seberapa besar dukungan masyarakat dan janji politik yang ditawarkan kandidat bukan mengacu pada kapasitas  dan kapabilitas kandidatnya, sehingga celah praktik politik uang atau pembelian suara dapat terjadi. Politik pencitraan menjadi senjata yang kerap dilakukan para kandidat untuk menarik simpati masyarakat. Hasrat mendapat kekuasaan akan semakin bergejolak karena adanya iming-iming gaji bagi kades yang terpilih. Lalu kesenjangan Pendidikan Sumber Daya Manusia menambah permasalahan. Dimana Kades terpilih yang tidak memiliki kemampuan manajerial dan pengelolaan dana yang jumlahnya sangat fantastis akan kesulitan mengatur dana tersebut. Sehingga permasalahan penggunaan dana desa yang tidak tepat sasaran akan terjadi. Mahar politik yang juga tidak sedikit menjadi celah untuk korupsi karena cara yang paling mudah dalam mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi.

Berkenaan dengan kasus korupsi, Islam memiliki cara yang jitu dalam pemberantasan korupsi agar dapat dibabat habis secara tuntas. Yakni dengan membangun integritas kepemimpinan disemua lini, dan dengan memperkuat ketakwaan pada setiap individu. Pemimpin harus memiliki ketaan dan takut kepada Allah SWT. Tidak ,mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompoknya dan senantiasa menjalankan setiap tugasnya semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya sesuai dengan tuntunan Islam. Dalam Islam seorang pemimpin memiliki kesadaran bahwa jabatannya adalah suatu Amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak dihadapan Allah SWT. Sebagaimana Nabi SAW bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin. “ (HR Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr). Sehingga ia akan takut melanggar koridor yang sudah Allah SWT tetapkan.

Adanya aturan perundang-undangan yang berlaku yang mengacu pada syariat islam akan menutup celah korupsi, karena hukum islam bersifat baku dan tidak dapat di revisi sesuai kepentingan selayaknya UU buatan manusia. Sanksi hukum yang tegas juga akan mampu memberikan  efek jera bagi para pelaku korupsi dan masyarakat yang lain akan enggan melakukan kejahatan yang sama saat mengetahui sanksi bagi para koruptor sangat tegas. Saat syariat Islam dapat dilaksanakan secara menyeluruh maka kasus korupsi dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan demikian nyatalah sistem yang akan mampu membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi umat hanya Islam semata. Saatnya menanggalkan sistem yang batil dan menggantinya dengan aturan yang sempurna dan paripurna yakni Islam secara menyeluruh. 

Wallahu a`lam Bishawab .




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar