Cukupkah “Ijazah” MDTA Memperbaiki Moral Anak?


Oleh : Masrina Sitanggang (Tenaga Pendidik)

Ketua Komisi IV DPRD Medan mendorong seluruh pihak untuk menyiapkan segala masukan agar revisi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 tahun 2014 tentang wajib Belajar Madrasah Diniyah Taklimiyah Awaliyah (MDTA) dapat segera diselesaikan. Beliau berharap agar ada Perda yang mewajibkan siswa sekolah dasar memiliki ijazah madrasah untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Karena pendidikan agama dirasa sangat penting dan bisa menjadi solusi bagi permasalahan amoral pemuda di Medan akhir-akhir ini, seperti pencurian dan begal. 

Secara tidak langsung, seluruh lapisan masyarakat meyakini bahwa pendidikan berbasis agama memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak untuk memiliki moral, adanya statmen demikian merupakan hal yang patut di syukuri, karena masyarakat dan pejabat menyadari dengan baik akan peran agama.

Namun perlu diketahui bahwa Pendidikan agama di MDTA jika tidak dibarengi dengan pembinaan yang intens dari keluarga, kontrol dari masyarakat, dan juga contoh dari negara, tidak akan berdampak secara efektif pada kepribadian agamis anak.  Karena regradasi moral remaja di Medan dipengaruhi banyak faktor tidak hanya pendidikan agama yang kurang. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah.

Bukan hanya di tingkat dasar, pendidikan agama juga dibutuhkan semua warga Medan dan menyatu dalam keseharian mereka dalam bermasyarakat. Jadi keberadaan ijazah MDTA  seharusnya bukan hanya untuk syarat masuk sekolah, namun sudah menjadi kebutuhan yang disadari oleh semua pihak. Bukan sekedar ijazah, namun juga teraplikasi dalam setiap perbuatan.

Beberapa tahun terakhir, Medan merupakan kota yang paling tidak aman dengan banyaknya kasus pembunuhan, pembegalan dan tawuran dan premanisme dimana-mana. Tentu saja hal ini membuat khawatir setiap orang, sebab bahaya mengintai dimana-mana.

Apabila ditelusuri lebih dalam, kejadian  ini bukan saja karena ketiadaan pendidikan MDTA namun masalah sebenarnya terletak pada penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan di dunia pendidikan maupun masyarakat kota Medan. Sistem ini merambah keseluruh lini kehidupan. Dimulai dari keluarga yang tidak memahami kewajibannya sebagai madrasah pertama bagi sang anak, sehingga anak hanya dicukupkan pemenuhan dari segi materi semata, seolah kebutuhannya sebatas fisik. 

Demikian pula halnya dari kontrol masyarakat yang sudah mulai hilang, lebih fokus pada dirinya. ketika dari lingkungan keluarga anak tersebut tidak memperoleh pendidikan agama yang membuatnya taat dan takut melakukan maksiat, ia akan hadir ditengah masyarakat sebagai remaja yang apatis, mengikuti orang-orang yang berakhlak rusak lainnya, awalnya dia akan berperan sebagai pengikut, lama kelamaan akan menjadi orang paling berani dalam melakukan kerusakan karena gejolak remaja yang ingin disebut sebagai orang hebat. 

Ketika melihat kelakuan remaja yang kian amburadul, tidak sedikit masyarakat yang akhirnya memilih diam tanpa komentar, tidak berani menasehati, karena remaja yang sudah beralih menjadi bringas dan buas, hingga orang memilih diam demi keselamatan dirinya. 

Ketika kontrol dari masyarakat sudah hilang, maka dengan lantang para remaja berakal pendek  ini akan bertingkah laku sewenang-wenang, menunjukkan jati dirinya sebagai jagoan dengan bangga menghilangkan nyawa orang lain demi di akui kehebatannya oleh geng nya.

Disinilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan hadirnya peran negara yang memberikan solusi tuntas sekaligus memberikan hukuman yang membuat jera pelakunya. Islam sangat menjaga akidah, kehormatan, keturunan, akal, harta, jiwa dari setiap individu. Tentu saja Islam memiliki metode dalam menerapkannya yakni dengan memberikan hukum bunuh atas orang yang membunuh, memberlakukan hukum cambuk atas orang yang mabuk, memberlakukan hukum cambuk atau razam bagi pezina, memberlakukan hukum potong tangan atas pencurian, memberlakukan hukum bunuh atau pendeportasian  atas orang yang melakukan kerusakan di muka bumi dan berbagai macam hukuman atas kasus yang lainnya.

Islam memberikan sanksi tegas atas setiap perbuatan penyimpangan. Dengan adanya hukuman ini akan menjadi penebus dosa atas perbuatannya dan tidak akan terlintas dibenaknya untuk mengulangi kesalahannya begitu pula orang yang menyaksikannya akan menjadi pencegah untuk tidak melakukan kesalahan. Wajar saja, selama 14 abad Islam berjaya di masa silam, hanya ada 200 kasus yang terjadi. Begitulah Islam sangat menjaga hak-hak setiap manusia. Dan hal ini hanya bisa diterapkan di sebuah institusi yang menjadikan Islam sebagai dasar negaranya.

Wallahu a'lam...





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar