Oleh: Aning Juningsih (Aktivis Dakwah/Ibu Rumah Tangga)
Selaku Menteri Desa, Abdul Halim Iskandar pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia menjelaskan bahwa dana desa diperuntukkan untuk pembangunan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. Ia mengatakan sudah membuat beberapa aturan sampai tingkat transparansi pemakaian dana desa sudah yang terbaik dibandingkan semua pendanaan di tingkat pemerintah.
Distribusi dana desa sudah tepat sasaran menurut Halim. Bahkan, dia berani menjamin tidak akan ada pembangunan mangkrak di semua desa di Indonesia. Dia juga menjamin keamanan dana desa sudah dilakukan secara berlapis, baik inspektorat kementeriannya maupun aparat penegak hukumnya.
Tetapi, klaim tersebut jelas tertolak mengingat kasus korupsi yang begitu meningkat menjerat para kepala desa. Dana desa seperti lahan basah bagi korupsi. Sepanjang 2022 menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) kasus korupsi di sektor desa merupakan yang tertinggi ditangani oleh aparat penegak hukum. Ada tren kenaikan dan konsisten perihal kasus korupsi di desa sejak UU No 6 Tahun 2014 tentang desa terbit.
Pada tahun 2020 tercatat ada 155 kasus korupsi desa, terdapat 133 korupsi berkaitan dana desa dan 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa sebesar Rp 381 miliar. Kerugian negara disebabkan oleh korupsi yang paling tinggi terjerat menempati posisi ketiga adalah kepala desa, sedangkan pegawai pemerintah daerah dan swasta menempati pertama dan kedua.
Di negeri ini kasus korupsi menggurita serta mengisi celah-celah yang bisa dimasuki untuk dijadikan lahan basah korupsi. Dana desa yang seharusnya diperuntukkan untuk memajukan membangun desa, malah dikorupsi. Penggunaan dananya bermasalah, namun masih berani minta tambah alokasi dana, tetapi minim pemanfaatannya.
Demokrasi Akar Korupsi
Selama sistem demokrasi kapitalis tetap berlaku, polemik dana desa akan terus carut marut. Pada sistem ini memang membuka banyak celah korupsi. Minimnya pengawasan dan tidak ada penindakan hukum yang tegas pada pelaku korupsi, sampai aturan dan UU pun bisa direvisi sesuai kepentingan.
Alhasil, korupsi makin marak dari tingkat atas sampai tingkat desa. Jadi sistem demokrasi itulah yang membuka angka korupsi makin meningkat.
Tidak jauh beda dengan pilkada yang rentan dengan politik cuan, pelaksanaan pemilihan kepala desa juga sama. Sudah lama kita ketahui, terpilihnya seseorang dalam pemilihan demokrasi sebagian besar tidak akan menilai kapasitas dan kapabilitas orangnya. Melainkan berapa besar dukungan masyarakat dan citra yang ditunjukkan sepanjang kompetisi dan kampanye. Disinilah terbuka celah praktik politik cuan. Yaitu "membeli" suara masyarakat dengan beberapa pemberian sembako dan uang.
Dengan iming-iming gaji bagi kades terpilih akan memunculkan persaingan sengit antar tokoh desa. Meskipun jumlah gajinya tidak begitu besar, tetap saja keinginan mendapat gaji sesuai sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia di tengah himpitan ekonomi yang serba susah saat ini. Alhasil, mereka yang berkeinginan menjadi calon kades selanjutnya akan membangun citra yang baik masyarakat desa.
Latar belakang pendidikan yang berbeda akan memunculkan masalah baru, kades yang tidak memiliki pengetahuan dasar masalah pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran akan kesulitan mengatur dana sebesar itu. Disinilah, muncul kemungkinan dana desa akan disalahgunakan dan tidak tepat sasaran.
Dengan sistem demokrasi, pemilihan kades akan membutuhkan dana kampanye yang besar. Korupsi menjadi pilihan cara yang paling mudah dan cepat untuk mengembalikan dana kampanye. Begitulah sebabnya, kasus korupsi tidak pernah bisa selesai dengan tuntas.
Khilafah Menutup Keran Korupsi
Dalam sistem pemerintahan Islam, para penguasa yang ada di bawah kekuasaan Khilafah dipilih langsung oleh Khalifah, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kabupaten/kota), dan mudir (setingkat desa). Tidak ada pemilihan kepala perdesa atau wilayah seperti praktik pemilu pada demokrasi saat ini. Hal ini untuk efisiensi dan efektivitas waktu, dan mencegah terjadinya politik uang, transaksional dan korupsi.
Pada kasus korupsi, Islam memiliki cara-cara untuk memberantas korupsi hingga tuntas serta membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan, yaitu ketakwaan oleh setiap individu.
Selain itu, di dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan bersandar kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, tidak berasas kepentingan kelompok, golongan, apalagi kerabat/ keluarga. Pemimpin-pemimpin tingkat pusat sampai desa menjalankan tugas dan amanah yang diberikan untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.
Nabi Saw bersabda, "Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dipimpin" (HR Al-Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).
Optimalisasi Badan Pengawas Keuangan
Mengapa kasus korupsi selalu terjadi? Salah satu faktornya adalah sedikitnya pengawas dari negara. Pada sistem Khilafah, ada badan Pengawas/Pemeriksa dan pengawas kekayaan para pejabat negara. Peraturan dan undang-undang yang berlaku pada hukum Islam hingga tidak ada celah untuk membuat, merancang atau jual beli hukum karena hukum Islam bersifat mutlak dan baku.
Menegakkan sistem sanksi Islam mampu memberi efek jera dan pelajaran bagi mereka yang memiliki niat untuk korupsi dan bertindak kriminal dan lain sebagainya. Hukumnya tergantung wewenang khilafah, yaitu takzir dengan pemberian sanksi sesuai kadar kejahatannya. Bisa sanksi penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.
Dengan penerapan Islam secara kaffah, korupsi dapat diselesaikan tanpa banyak drama dan berlarut-larut. Untuk membabat habis korupsi harus dengan mencabut akar masalahnya, yaitu mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan Islam sebagai solusi satu-satunya dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang saat ini kian pelik.
Wallahu a'lam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar