Ilusi Penghapusan Kemiskinan Ekstrim 0% Pada 2024


Oleh: Maknathul Aini  (Aktivis Dakwah dan Moms Preneur)

Target Ambisius Jokowi Turunkan Kemiskinan Ekstrem Nol Persen. Target waktu penghapusan kemiskinan ekstrem hanya dalam waktu setahun sangatlah ambisius melihat faktor penyebab terjadinya kemiskinan ini, apalagi jenisnya termasuk dalam kemiskinan struktural.  Tidak  akan mampu hanya dengan beragam program, namun perubahan harus menyentuh akar persoalan, karena sistem ekonomi kapitalis memang meniscayakan terwujudnya kemiskinan.

Sebagaimana dilansir di (https://tirto.id) bahwa katanya Presiden Joko Widodo optimis untuk memasang target akan mengentaskan kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2024.  Penanggulangan kemiskinan ekstrem ini memang menjadi salah satu program di periode kedua Jokowi dengan target cukup ambisius, yakni nol persen.
      
Ambisi Jokowi untuk menghapus kemiskinan ekstrem tentunya merujuk pada tujuan pertama pembangunan berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Agenda ini menargetkan, antara lain, mengentaskan kemiskinan ekstrem bagi semua orang yang saat ini berpendapatan kurang dari 1,25 dolar Amerika per hari pada 2030. “Berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini sebetulnya sudah kita rencanakan di periode yang kedua ini agar nanti di 2024 itu sudah pada posisi 0 kemiskinan ekstrem kita. Kita akan kerja keras dan mati-matian,” kata Jokowi usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP, Jakarta Selatan, Selasa (6/6/2023).
Akan tetapi, para ahli ekonomi pesimis Jokowi akan berhasil meraih target tersebut. Target tersebut dinilai terlalu ambisius sehingga diprediksi tidak mungkin tercapai. Apalagi target tersebut jauh di atas target SDGs yaitu nol persen kemiskinan ekstrem pada 2030. (VOA Indonesia, 10-6-2023).

Kemiskinan ekstrem dikategorikan dengan adanya kemampuan daya beli (purchasing power parity/PPP) hanya mencapai US$1,9. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, mengategorikan kemiskinan ekstrem dengan adanya pengeluaran di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan. Berdasarkan kategori ini, pada Maret 2021 terdapat 2,14% atau 5,8 juta jiwa warga Indonesia yang terkategori miskin ekstrem.


Gagalnya Sistem Ekonomi Kapitalisme Mewujudkan Kesejahteraan Hakiki

Fakta sejatinya, yang terjadi di Indonesia adalah kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo Soemardjan, 1980). Alhasil, kemiskinan terjadi karena salah urus oleh negara, yakni sistem yang diterapkan negara gagal mewujudkan kesejahteraan.

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan sumber daya alam dikuasai para kapitalis sehingga kekayaan berputar pada segelintir orang saja. Sementara itu, mayoritas rakyat tetap miskin. Rakyat tidak mampu mengakses sumber daya alam yang melimpah. Meski sudah bekerja keras, rakyat tetap saja miskin. Ini terjadi pada masyarakat secara umum. Adapun pada golongan lemah, seperti perempuan, lansia, penyandang disabilitas, dan warga pelosok, kemiskinan terjadi dalam level yang ekstrem. Oleh karenanya, selama sistem kapitalisme masih diterapkan di Indonesia, kemiskinan dan kemiskinan ekstrem tidak akan terselesaikan. Kebijakan bantuan sosial dengan pemberian uang ataupun modal usaha tidak efektif menghapus kemiskinan ekstrem karena hanya merupakan kebijakan tambal sulam. Sedangkan masalah utamanya, yaitu ketimpangan ekonomi, tidak terselesaikan. Kondisi ini berkebalikan dengan sistem Islam.


Hanya Penerapan Islam Totalitas yang Akan Mampu Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem dan Menjamin Kebutuhan Secara Menyeluruh

Kemiskinan pada hakikatnya adalah tidak terpenuhinya kebutuhan primer manusia. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam sangat berbeda dengan kebijakan tambal sulam pada sistem kapitalisme. Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada tiap-tiap individu secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya. Dengan demikian, jaminan pemenuhan kebutuhan primer merupakan dasar politik ekonomi Islam. (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).

Islam membolehkan kepemilikan dan berusaha agar memungkinkan tiap-tiap individu merealisasikan pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersiernya. Namun, kebolehan kepemilikan dan berusaha saja tidak akan merealisasikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer secara menyeluruh, melainkan individu yang kuat dan memiliki kapital saja yang bisa berusaha.  Oleh karena itu, Islam dilengkapi dengan berbagai hukum yang menjamin terpenuhinya kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu rakyat secara menyeluruh, di samping memungkinkan pemenuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuannya.

Hukum-hukum ini merupakan bagian integral dari sistem Islam secara keseluruhan, bukan solusi tambal sulam atas masalah tertentu sebagaimana lazim ada dalam kapitalisme. Hukum-hukum tersebut akan mampu memecahkan setiap masalah, tidak hanya pada masalah tertentu. Hukum tersebut juga ditujukan untuk seluruh rakyat, bukan kalangan tertentu, misalnya khusus perempuan, lansia, dan lainnya.


Pemenuhan Kebutuhan Primer Tiap Individu

Kebutuhan primer terbagi menjadi dua. Pertama, kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu, yaitu sandang, pangan, dan papan. Kedua, kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dalil bagi kebutuhan primer yang pertama banyak terdapat di Al-Qur’an, di antaranya firman Allah Taala, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.” (TQS Al-Baqarah: 233). “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal.” (TQS Ath-Thalaq: 6).

Islam menjamin pemenuhan kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu dengan mewajibkan para lelaki yang mampu untuk bekerja. Rasulullah saw. bersabda, “Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya) sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.” (HR Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi). 

Islam juga mengatur kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara (Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam). Tiap-tiap rakyat boleh berusaha dan punya kepemilikan individu. Sedangkan kepemilikan umum seperti hutan, tambang, sungai, laut, gunung, dll. merupakan hak jemaah manusia sehingga negara yang mengelolanya untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Kepemilikan umum ini tidak boleh dikuasai individu/swasta karena akan mengakibatkan penguasaan sumber daya alam yang berujung ketimpangan ekonomi. Sedangkan kepemilikan negara dikelola oleh negara dan hasilnya untuk keperluan negara. Dengan pengaturan kepemilikan ini, tidak ada penguasaan sumber daya alam oleh segelintir kapitalis sebagaimana terjadi dalam kapitalisme. Setiap orang bisa merasakan kesejahteraan sebagai hasil pengelolaan sumber daya alam.


Kewajiban Nafkah

Di samping kewajiban bekerja bagi laki-laki yang mampu, syarak mewajibkan pemberian nafkah sebagai berikut, yakni suami kepada istri, ayah kepada anak-anaknya, anak kepada orang tuanya, dan keluarga dekat kepada keluarga dekat yang menjadi tanggungannya. Dengan menjamin pemberian nafkah kepada istri, anak, orang tua, dan keluarga dekat, pemenuhan kebutuhan primer tiap-tiap individu benar-benar terjamin, kecuali orang yang tidak punya keluarga dekat dan yang tidak mampu mencari nafkah. Jika pada dua pihak ini tidak ada seorang pun yang menafkahinya, syarak mewajibkan baitulmal (negara) untuk menafkahinya.

Adapun pendidikan, Rasulullah saw. telah mencontohkan, beliau saw. menentukan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak-anak kaum muslim. Umar bin Khaththab memberi gaji kepada guru yang ada di Madinah sebesar 15 dinar setiap bulan. Terkait kesehatan, Rasulullah saw. pernah dihadiahi dokter, lalu beliau menjadikannya untuk kaum muslim. Semua ini membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan primer, berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan, merupakan kewajiban negara. Khilafah akan menyediakan sekolah gratis, lengkap dengan semua fasilitas pendukungnya. 


Sumber Pendanaan

Lantas dari mana sumber dana baitulmal untuk membiayai jaminan pemenuhan kebutuhan primer tersebut? Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Muqaddimah ad-Dustur Pasal 149 menyatakan, “Sumber pemasukan tetap baitulmal adalah fai, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz, dan zakat. Harta-harta ini diambil secara kontinu (tetap), sama saja apakah ada keperluan atau tidak.”

Dengan pengaturan yang integral tersebut, Khilafah akan mampu menjamin setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan primernya dan penghapusan kemiskinan ekstrem bukan lagi ilusi. Wallahualam. [MNews/Gz]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar