Islam Beri Solusi Tuntas Atas Dilematik Dunia Kerja


Oleh : Wina Apriani

Berbicara dunia kerja selalu menarik untuk dikupas karena tidak akan ada habisnya, terutama bagi para remaja yang baru lulus sekolah kebanyakan mereka akan berbondong-bondong mencari pekerjaan. Tidak sedikit yang berasal dari kampung pergi ke kota besar hanya untuk mencari kerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun keluarganya.

Berbagai cara dilakukan untuk melamar kerja, termasuk mendatangi joob fear (lowongan pekerjaan). Yang cenderung banyak adalah para remaja perempuan yang baru lulus, dan mereka langsung terjun ke dunia kerja, salah satunya di PT maupun pabrik-pabrik besar.

Khususnya di Sumedang sendiri tak ketinggalan dalam menyediakan (job fair), seperti yang disampaikan radar Sumedang.id. Ribuan pencari kerja (job seekers) memadati halaman belakang Pusat Pemerintahan Sumedang (PPS) untuk mencari pekerjaan. Pasalnya bertepatan dengan kelulusan pelajar tingkat SMA/SMK sederajat tahun ini, Pemerintah Kabupaten Sumedang melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) menyelenggarakan bursa kerja (job fair) 2023. Sedikitnya ada 28 perusahaan yang berpartisipasi pada bursa kerja tersebut, dengan total 6.700 lowongan kerja. Baik BUMN maupun Swasta, termasuk beberapa di antaranya ada perusahaan yang menyalurkan tenaga kerja di luar negeri.

Salah seorang pencari kerja asal Desa Girimukti, Sumedang Utara, Faisal mengatakan, dirinya sengaja datang ke bursa kerja lantaran baru saja lulus sekolah. “Kebetulan saya lagi scroll di Instagram kemudian ada informasi mengenai job fair. Kebetulan saya baru lulus dari SMK Informatika kemarin, dan sudah saya putuskan saya ingin cari kerja saja,” kata Faisal kepada RADARSUMEDANG.ID, Rabu (21/6). 

Adapun kata dia, sebagai lulusan yang mempunyai skill IT, dirinya sudah melamar ke beberapa perusahaan yang membutuhkan tenaga ahli IT. “Semuanya sudah saya lamar, meskipun ada yang nampaknya tidak cocok. Tapi saya lamar yang ada posisi staff IT. Ternyata memang yang datang kesini juga kebanyakan rekan seangkatan yang baru lulus sekolah, semoga ada rejekinya keterima di perusahaan dan bisa dapat gaji bulanan sesuai UMR,” ujarnya.

Sebelumnya Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir mengatakan, Job Fair Sumedang akan diagendakan ada setiap tahun. “Pemkab Sumedang memfasilitasi antara pencari kerja dengan perusahaan-perusahaan. Selain melalui Job Fair, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun Balai Latihan Kerja (BLK) juga selalu mengabarkan info lowongan kerja melalui akun media sosial. Insya Allah kami berikan kesempatan selama dua hari sampai hari Kamis, semoga berhasil bagi para pencari kerja,” jelas Dony.

Kembali lagi adanya joob fair, setidaknya bisa menolong bagi warga yang mencari pekerjaan, tapi kita ketahui bahwa lowongan yang ada job cuma 10%  diterimanya, miris ketika yang sudah mengantri berjam jam tapi tidak diterima ini yang disayangkan.

Selain dari data hasil data pencari kerja di Indonesia jauh di atas lowongan kerja yang tersedia. BPS mencatat pada 2022, jumlah pencari kerja sebanyak 937.176 orang, sedangkan lowongan kerja hanya berjumlah 59.276. Artinya 1 lowongan kerja diperebutkan oleh sekitar 16 warga. Jumlah tersebut belum ditambah pekerja asing yang keberadaannya makin didukung oleh sistem sekarang. Data Februari 2023, BPS mencatat masih terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Memang dari tahun ke tahun pencari kerja makin turun, tapi jumlah lowongan kerja pun jauh makin menurun.

Kesenjangan ini tentu terus menambah jumlah keluarga miskin dan kian menurunkan tingkat kesejahteraan. Ketika kita melihat mengapa pengangguran makin tinggi hampir setiap tahun? Sedangkan Kenapa lowongan kerja justru kian langka, padahal jumlah pencari kerja terus meningkat?. Padahal negara kita sumber daya banyak tapi belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan hingga rakyatnya makin banyak yang miskin. Inilah problem PR yang setiap tahun terjadi.

Walau Pemerintah berdalih dan mengeklaim penyebab makin berkurangnya lowongan kerja adalah karena perubahan teknologi informasi. Cepatnya perkembangan digitalisasi menjadi ancaman nyata bagi pasar tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja unskilled-workers. Selain lagi adanya faktor terbesar tingginya pengangguran di Indonesia adalah karena kompetisi tenaga kerja yang ada sangat rendah. Sedangkan solusi dari pemerintah yang dari dulu tidak berhasil adalah dengan terus mengadakan pelatihan-pelatihan untuk menekan pengangguran.

Melihat tingkat pengangguran terbuka, pelatihan tidak memberikan solusi yang pasti. Kita ketahui bahwa pendidikan Indonesia sendiri yang didominasi oleh tingkat pendidikan SMK dan SMA, kini pemerintah tengah menggencarkan pelatihan vokasi. Ke depan, pelatihan dan pendidikan vokasi harus berjalan beriringan.

Namun tadi, tidak ada solusi pemerintah yang menggencarkan pelatihan vokasi untuk menekan pengangguran dianggap klise dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah pengangguran. Alasannya, selain karena pemborosan dana untuk program vokasi. Juga karena program pendidikan dan pelatihan vokasi yang sudah lama berjalan ini dianggap tidak menuai hasil, bahkan menjadikan lulusan SMK malah menjadi warga terbanyak menganggur.

Kalau kita telaah lebih dalam, ternyata salah satu penyebab polemik dunia kerja saat ini adalah sistem kapitalisme yang diemban sistem sekarang yang sangat menyusahkan terutama menciptakan kesenjangan. Persoalan klasik yang tidak bisa dijawab oleh sistem ekonomi kapitalisme salah satunya adalah tingginya pengangguran.

Sebab pengangguran yang terus menjadi persoalan di sistem ini adalah sistem ini hanya fokus kepada keuntungan individu pemilik modal. Sebuah perusahaan akan terus menekan biaya produksi agar mencapai keuntungan yang maksimal, sedangkan biaya produksi yang paling mudah untuk ditekan adalah upah pekerja. Alhasi upah yang rendah dan PHK disebut sebagai bentuk efisiensi perusahaan. Inilah yang akan makin mengurangi jumlah lowongan kerja. 

Selain itu pula ada persaingan bebas antarperusahaan akan menciptakan kondisi “saling caplok”. Perusahaan yang memiliki modal besar akan mencaplok perusahaan kecil sehingga dunia usaha hanya dikuasai oleh segelintir orang. Pengusaha kecil yang perusahaannya diakuisisi, pada akhirnya akan mengantri untuk menjadi pekerja. Salah satu contoh yang sering terjadi di masyarakat  yaitu  bangkrutnya warung kelontong/tradisional di tengah menjamurnya pasar modern/supermarket. Modal besar yang dimiliki supermarket akan mampu menekan harga jual barang menjadi sangat murah. Berbeda dengan warung kelontong yang memiliki modal terbatas, tentu ia tidak akan bisa menjual barangnya dengan murah. Konsumen yang memiliki pendapatan pas-pasan tentu akan mencari harga murah. Akhirnya, warung tersebut bangkrut dan pemiliknya mau tidak mau akan mengantri untuk menjadi pekerja. Inilah yang menjadikan jumlah pekerja makin tinggi.

Yang paling penting negara abai. Sistem kapitalisme menyerahkan seluruh urusan umat kepada swasta termasuk lapangan pekerjaan. Walhasil, kebijakan untuk menyerap tenaga kerja fokus pada pertumbuhan satu perusahaan. Bisa kita lihat saat pemulihan ekonomi pasca-Pandemi Covid-19, pemerintah lebih banyak menggelontorkan dana kepada perusahaan besar dengan alasan agar perusahaan tersebut mampu bertahan dan tidak mem-PHK karyawannya ketimbang menggelontorkan dana untuk rakyat yang butuh suntikan dana untuk modal usaha.

Sudah sangat jelas jadi ketika dikatakan rakyat Indonesia sulit untuk menciptakan wirausaha, sejatinya karena iklim usahanya tidak mendukung. Rakyat dengan keterbatasan modalnya tentu akan kesulitan bersaing dengan perusahaan besar yang dengan mudah mengakses modal untuk menambah skala usahanya. Dari sini, jelaslah bahwa yang menyebabkan kesenjangan yang makin parah antara jumlah pencari kerja dan tersedianya lowongan kerja adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini tidak menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam terpenuhinya kebutuhan rakyatnya. 

Selain itu, sistem ini fokus pada pertumbuhan ekonomi dengan teori trickle down effect-nya. Akhirnya pemerintah fokus untuk memperbesar perusahaan agar lapangan pekerjaan terbuka lebar. Padahal, teori ini penuh manipulasi dan tidak akan pernah menjadi realitas. Ini karena perusahaan yang makin tinggi akan terus mengalirkan keuntungan melimpah kepada pemiliknya. Sementara itu, percikan yang diharapkan kepada rakyat hanya sedikit dan tidak sebanding dengan mudharat yang ditimbulkannya. Mudharatnya bukan hanya berbicara lingkungan yang rusak karena kerakusan pemilik modal, tetapi juga terciptanya kemiskinan yang makin akut. Dari kemiskinan akan lahir persoalan lainnya, seperti kelaparan, kebodohan, hingga kriminalitas.

Berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi Islam yang sudah terbukti mampu menyejahterakan seluruh masyarakatnya hingga berabad-abad lamanya. Islam memiliki regulasi kepemilikan yang itu tidak dimiliki oleh kapitalisme. Kapitalisme menganggap bahwa setiap manusia berhak memiliki apa pun sehingga barang milik umum, seperti air dan barang tambang yang melimpah, boleh dikuasai siapa pun, termasuk asing.

Sistem Islam mengharamkan barang milik umum dikuasai individu sebab barang tersebut milik seluruh rakyat. Barang tersebut harus dinikmati oleh rakyat. Negara hanya boleh mengelolanya dan harus dikembalikan kepada rakyat. Dari sini, sebenarnya persoalan kemiskinan akan terselesaikan karena SDA yang melimpah dan dikelola negara akan benar-benar disalurkan kepada rakyat. Jika pengelolaan SDA yang melimpah ada di tangan negara, hal ini akan sangat menyerap lapangan pekerjaan. Eksplorasi bahan mentah sangat membutuhkan tenaga kerja. Saat ini, tersebab pengelolaan diserahkan pada swasta, swasta bebas menentukan asal tenaga kerjanya. Salah satunya dengan tenaga kerja asing masuk pada saat warga negara menganggur.

Selain pengaturan upah dalam sistem Islam sangat berbeda dengan kapitalisme. Sistem Islam tidak menjadikan upah sebagai biaya produksi. Ini karena upah bukan berdasarkan hitung-hitungan biaya produksi, melainkan kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau sering disebut upah sepadan. Walhasil, tidak akan ada demonstrasi penuntutan kenaikan upah sebab hal demikian telah disepakati.

Adapun terkait dengan kesejahteraan pekerja, ini bukan tanggungjawab majikan, melainkan negara. Jika dengan upah sekian, pekerja tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, negaralah yang akan bertanggung jawab. Negara sebagai pihak pertama dalam menyelesaikan persoalan umat, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan. Negara akan memastikan para laki-laki bekerja dan mampu memenuhi kebutuhan tanggungannya. Dari sini akan lahir kesejahteraan bagi semua.

Sungguh, hal demikian telah terukir dalam sejarah betapa Islam mampu menyejahterakan rakyatnya hingga berabad-abad lamanya. Teringat  saat kisah saat khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadikan rakyatnya tidak ada yang berhak menerima zakat. Juga kisah kegemilangan Khalifah Harun Arrasyid yang mengosongkan baitulmal hingga tidak ada satu pun rakyatnya yang kelaparan. Maka dari sini marilah kita bersama-sama untuk untuk menegakkan sistem Islam dimuka bumi supaya memberikan kesejahteraan kemakmuran bagi masyarakatnya. Wallahu alam bi ash shawab []





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar