KEKERINGAN: DAMPAK TATA KELOLA KAPITALIS


Oleh : Hani Agustina

Penelitian yang dilakukan oleh Bapppenas tahun 2007 menunjukkan adanya defisit air pada musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Salah satu kekeringan terparah yang pernah terjadi di Indonesia adalah kekeringan tahun 2018 yang melanda permukiman di 4.053 desa (Suhedi, 2018). Data BPS pada 2021 menyebut sebanyak 83.843 desa masih belum mendapatkan layanan air minum bersih. Dari jumlah itu, tercatat 47.915 desa/kelurahan di antaranya bahkan belum memiliki akses air minum bersih.

Sementara itu, pada 2035 nanti, ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia diperkirakan hanya akan tersisa 181.498 meter kubik yang berkurang jauh dibanding 2010 (265.420 meter kubik). Dengan penurunan ini, tentu makin besar jumlah penduduk yang bertambah sulit mendapat air bersih. Begitu pula pemenuhan akses air bersih melalui perpipaan yang saat ini baru terwujud sebesar 22%, menyebabkan ketimpangan masyarakat perkotaan mendapat air bersih.


AKAR MASALAH

Saat ini, konsep pengelolaan sumber daya air dijalankan dengan prinsip sekuler kapitalisme yang melahirkan kebijakan politik demokrasi neoliberal dan politik ekonomi kapitalistik. Paradigma kapitalisme neoliberal memosisikan air sebagai komoditas ekonomi. Akibatnya, air menjadi objek bisnis yang bisa dikelola siapa pun untuk mencari untung. 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan angin surga bagi para investor yang melihat potensi hasil ekonomi yang besar pada tahun-tahun mendatang. Apalagi pada tahun 2025 diprediksi Indonesia akan kelangkaan air bersih.Melihat peluang ini, maka tak heran investor baik yang kecil maupun besar berlomba-lomba mendapatkan Hak Guna Usaha atas Air di berbagai sumber air. Akibatnya akses masyarakat daerah aliran sumber mata air akan kehilangan hak nya. Air akan semakin mahal dan pengusaha mendapatkan keuntungan yang luar biasa.

Namun, pada tahun 2015 diputuskan pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 adalah kembali pada UU Nomor 11 Tahun 1974, dimana prinsip pengelolaan air dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dengan model koperasi. Namun, tahun 2019 pemerintah kembali membuat kebijakan dengan membuat UU No. 17 tahun 2019 tentang pemberdayaan sumber daya air. Akan tetapi, hal ini sama saja memperlihatkan bahwa sumber daya air dijadikan sebagai lahan bisnis penguasa dan pengusaha kepada rakyat.


SOLUSI DALAM ISLAM

Penyelesaian krisis air bersih ini hanya akan teratasi dengan konsep Islam yang tampak dalam kebijakan politik dan ekonominya. Secara politik, Islam menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pengurus/penanggung jawab dan pelindung umat. Rasulullah saw. bersabda,
«Ø§Ù„Ø¥ِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Islam menetapkan bahwa air termasuk harta milik publik sebagaimana halnya energi, hutan, laut, sungai, dan sebagainya. Harta tersebut adalah milik seluruh rakyat dan negara wajib bertindak sebagai pengelolanya supaya harta tersebut bisa dinikmati rakyat. Prinsip pengelolaan ini semata-mata untuk pelayanan bukan berbisnis sehingga negara tidak diperbolehkan menyerahkan pengelolaan apalagi kepemilikannya kepada swasta yang akhirnya digunakan untuk kepentingannya saja. Tanggung jawab ini meniscayakan negara melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi ataupun mengatasi kesulitan air, mulai dari membiayai risetnya, pengembangan teknologi, hingga pengimplementasiannya untuk mengatasi masalah. 

Dengan menggunakan paradigma dan prinsip pengelolaan sumber daya air dan lingkungan sesuai Islam, ditambah peran politik negara yang sahih, sumber daya air berlimpah yang dianugerahkan Allah akan termanfaatkan secara optimal dan kebutuhan rakyat pun akan terpenuhi.

Wallohu a’lam bi shawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar