Kepercayaan Masyarakat Pada Partai Politik dan DPR Rendah, Mengapa?


Oleh: Setyowati Ratna Santoso, S.Si (Guru Madrasah)

Peneliti utama indikator politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi membeberkan bahwa kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR dan partai politik masih rendah dalam survei indikator politik Indonesia masyarakat yang cukup percaya pada DPR mencapai 61,4% yang sangat percaya sebesar 7,1% dan kurang percaya sebesar 26,6% DPR berada di urutan kedua terbawah dalam tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga sedangkan kepercayaan publik terhadap partai politik menjadi yang paling rendah diantara lembaga lainnya. Burhanudin menyampaikan hanya 6,6% masyarakat yang sangat percaya terhadap partai politik sedangkan yang cukup percaya sebesar 58,7% dan kurang percaya 29,5%.

Munculnya ketidakpercayaan terhadap parpol dan DPR sudah menjadi konsekuensi logis sebab realita parpol maupun DPR yang digadang-gadang sebagai wakil aspirasi rakyat justru tidak membela kepentingan rakyat, sudah banyak bukti terkait hal ini diantaranya kebijakan undang-undang ciptaker yang begitu kontroversial. Rakyat telah bertahun-tahun melakukan penolakan sejak masih menjadi RUU, RUU ini pun mendapat banyak kritik terkait substansinya dan proses pengajuannya namun faktanya DPR tetap melegalkan RUU ini menjadi undang-undang bahkan sangat kentara anggota dewan yang diklaim sebagai wakil rakyat justru hanya menjalankan amanah partai sebagai petugas partai belum lagi parpol saat ini tidak lebih hanya pendulang suara saat pemilu padahal tugas mereka seharusnya adalah mendidik kesadaran politik umat. Publik bisa melihat betapa banyak parpol yang masih melakukan rekrutmen dengan kaderisasi politikus instan agar partai politiknya masuk kualifikasi KPU, alhasil politikus yang ada bukan karena kapabilitasnya melainkan modal dan popularitasnya.

Inilah konsekuensi penerapan sistem sekularisme demokrasi, sebuah sistem yang memisahkan aturan Allah ta'ala dalam kehidupan manusia dan justru memberikan kedaulatan hukum di tangan manusia. Sangat berbeda dengan sistem Khilafah yang merupakan sistem pemerintahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, keberadaan Khilafah adalah bentuk praktis dari penerapan syariat Islam oleh sebuah negara Islam diturunkan Allah ta'ala sebagai sistem kehidupan manusia maka syariat di dalamnya begitu menyeluruh dan sempurna yang harus ditaati oleh semua pihak baik rakyat maupun pemerintah, hanya saja perlu dipahami Khilafah bukan negara malaikat yang tanpa cacat Khilafah adalah daulah basyariah yakni negara yang dijalankan oleh manusia tentu potensi penyimpangan dan kekeliruan pasti ada untuk itu syariat telah mengatur agar rakyat maupun pemerintah menjalankan perannya masing-masing sehingga syariat Islam tetap ada di muka bumi.

Dari sisi negara, syariat telah menetapkan bahwa ia adalah pihak yang paling bertanggung jawab menetapkan menerapkan dan mengawasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan syariat Islam. Hal ini terlihat dari salah satu pilar negara Khilafah yang dijelaskan dalam buku bunga rampai pemikiran intelektual muslim seputar syariah dan Khilafah, pilar tersebut ialah hanya khalifahlah yang berhak melegalisasikan hukum-hukum syara dan melegalisasi undang-undang dasar dan segenap undang-undang. Pilar ini berkaitan dengan wewenang Khilafah dalam mengatur undang-undang yang berlaku. Semua orang pasti paham bahwa kedaulatan hukum ada di tangan Asy'ari yakni Allah ta'ala, khalifah hanya pelaksana saja karena itu tugas khalifah sebatas melegalisasikan hukum syara menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat. Khalifah berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi, inilah yang membedakan produk hukum Khilafah dengan produk hukum demokrasi

Dalam Khilafah hukum bersumber dari Alquran dan as-sunnah yang ditetapkan oleh khalifah sedangkan dalam demokrasi hukum berdasarkan kesepakatan bersama sesuai kepentingan pihak tertentu, inilah yang menyebabkan perpecahan dan ketidakpuasan antara rakyat dan pemerintah. Meski hak legalisasi hukum ada di tangan khalifah namun rakyat juga memiliki peran dalam proses berjalannya negara agar tetap dalam koridor syariat, syariat menetapkan bahwa wajib ada amar ma'ruf nahi mungkar yang dilakukan oleh partai politik, majelis Ummah dan segenap warga negara Khilafah, perintah ini adalah bentuk check and balance berjalannya pemerintahan Islam. Partai politik dalam Khilafah bukanlah seperti partai politik dalam demokrasi, tugas utama partai politik dalam khilafah adalah mendidik kesadaran politik umat Islam, selain itu mereka juga akan melakukan kontrol dan muhasabah terhadap negara agar negara selalu menerapkan syariat Islam di dalam negeri maupun kebijakan-kebijakan luar negerinya.

Jika Khilafah melakukan penyimpangan-penyimpangan maka partai politik Islam akan melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa, bahkan ia akan mengerahkan kekuatan rakyat untuk melakukan koreksi atau muhasabah penguasa. Hanya saja meski partai politik melakukan koreksi dan muhasabah mereka tidak menjadikan diri mereka sebagai kekuatan oposisi yang menentang kebijakan khalifah atau mendudukkan diri mereka sebagai pendukung kebijakan negara.

Parpol hanya melakukan koreksi ketika khalifah menyimpang dari syariat, begitu pula dengan majelis umat sebagai tempat aspirasi warga Khilafah hak anggota majelis umat dari perwakilan warga muslim ialah menyampaikan kebutuhan warga dan mengoreksi kebijakan negara sedangkan anggota majelis umat dari perwakilan warga ialah menyampaikan apakah kebijakan khilafah yang berlaku bagi mereka membawa keadilan atau malah justru menzalimi mereka, bahkan syariat juga menetapkan ada pengadilan mahkamah mazholim yang akan menuntaskan perkara antara rakyat dan negara. Hal ini semua wajib dilakukan agar syariat Islam terus-menerus ada dan diterapkan dalam kehidupan sehingga keadilan yang dijanjikan oleh Allah ta'ala dapat terwujud seperti inilah mekanisme check and balance antara penguasa dalam khilafah dan warga negaranya karena itu sangat wajar selama 1300 tahun berdiri Khilafah mampu memberikan kepuasan kesejahteraan bagi warga negaranya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar